NEMNEMLELEU-Ur bocah berusia 8 tahun dengan sosok pendiam. Dia tak banyak berbicara. Ketika Mentawaikita.com datang ke rumahnya di Desa Nemnemleleu, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, dia sedang bermain sendiri.
Saat ini Ur sudah duduk di kelas 2 SD namun belum bisa membaca dan menulis seperti teman-temannya. Dengan kondisi seperti itu dia juga menjadi korban perundungan (bully) sama teman-temannya saat pulang sekolah. “Saya sering mengalami itu,” kata Ur, Rabu (10/7/2024).
Ibunya N (identitas dirahasiakan) membenarkan kejadian itu, bahwa anaknya juga mengalami perundungan dari teman-temannya. “Saat pulang sekolah buku-bukunya sudah dirobek teman-temannya, baju dan tasnya mereka buang. Tak hanya itu saja, teman-temannya juga memukul dan menendang Ur,” tuturnya.
Salah seorang ibu-ibu yang tidak mau menyebutkan namanya juga mengakui, bahwa dia pernah melihat kejadian tersebut dan memarahi anak-anak teman sebayanya yang merundungnya. “Bukan di sekolah mereka menganiaya si Ur tapi di jalan saat pulang sekolah, saya melihat langsung dan memarahi anak-anak tersebut,” katanya.
Ur memiliki keinginan sekolah, meski dia tidak tahu bagaimana menulis dan membaca, tapi dia merasa trauma terhadap perbuatan teman-temannya. Akibatnya kadang dia masuk kadang tidak masuk sekolah. “Kuobak musikolah tapoi malotok aku (saya mau sekolah tapi saya takut),” tuturnya.
Awalnya Ur memang tidak mau sekolah, namun atas bujukan Kepala SDN 02 Nemnemleleu, Bifelsian, Umar bersemangat untuk sekolah, bahkan Ur mengidolakan kepala sekolah tersebut. “Itu guruku yang baik,” kata Umar.
Kemauan untuk sekolah tersebut tidak tumbuh begitu saja, tapi didorong oleh kepala sekolah sendiri, meski Ur memiliki kekurangan dalam penerimaan pelajaran yang diajarkan oleh guru.
Kepala SDN 02 Nemnemleleu, Bifelsian (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Kepala SDN 02 Nemnemleleu, Bifelsian, di kediamannya bercerita tentang awal mula empatinya pada Ur. Awalnya dia sering mendapat laporan Ur sering dipukuli teman-temannya. Mendapat laporan tersebut dia menasehati teman-teman Ur, kemudian dia juga mengeluarkan himbauan kepala guru-guru untuk memberikan hak yang sama kepada semua murid meski ada yang sulit dalam menerima pelajaran. “Saya mengeluarkan himbauan kepada guru-guru juga jangan terjadi kesenjangan kepada peserta didik,” katanya, Selasa (9/7/2024).
Meski Bifelsian sibuk dengan tugas sebagai kepala sekolah, namun perhatiannya terhadap Ur tidak terputus, dia juga sering menanyakan kehadiran Ur kepada gurunya. Pada saat dia menduduki kelas I, Bifelsian sendiri mendatangi rumah Ur yang masih kurang layak ditempati.
“Saya datangi rumahnya dengan melakukan pendekatan kepada Ur dan keluarganya, bahkan saya datangi rumahnya saya gunting rambutnya biar bisa masuk sekolah,”ujarnya.
Pendekatan dilakukan tidak langsung jadi, kata Bifelsian itu, pendekatan itu dilakukan berulang kali, akhirnya Ur mau masuk kembali ke sekolah, namun itu itu hanya sekali-kali, karena persoalan tidak memiliki seragam sekolah.
Akhirnya Bifelsian memutuskan untuk membelikan baju seragam termasuk buku, alat tulis dan tas sekolah untuk Ur. “Saya pernah ingatkan para guru, kalau ada siswa tidak pakai seragam, sepatu jangan usir mereka,” ujarnya.
Perjuangan Bifelsian terhadap Ur tidak hanya sampai di situ, dia ingin Ur mendapat beasiswa Indonesia pintar. Namun saat itu dia terkendala, untuk mendapatkan beasiswa tersebut, lantaran Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak ada. “Saat itu bahkan saya telepon teman-teman guru di desa asal ibu Ur, namun jawabanya teman-teman tersebut belum ada NIK,” katanya.
Beruntung pada saat itu, ada Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) , lewat program Estungkara bekerja sama dengan Kemitraan, mendampingi wilayah Desa Nemnemleleu hingga akhirnya pada Mei 2023, YCMM membantu mengurus surat kebutuhan Ur. “Saat itu ada teman-teman YCMM datang, mereka menawarkan untuk membantu Ur untuk mendapatkan NIK dan kartu keluarga, akhirnya keluar,” ujar Bifelsian.
Lanjut Bifelsian, setelah mendapatkan NIK tersebut, akhirnya dia mendaftarkan Ur ke Dapodik Dinas Pendidikan untuk mendapatkan beasiswa Indonesia Pintar. “Setelah saya masukan dalam Dapodik akhirnya Ur mendapatkan beasiswa, satu tahun Rp400 ribu, tapi itu tidak saya kasih uang, tapi saya belikan baju, dan alat tulisnya dan kebutuhan lainnya,” katanya.
Untuk mendidik Ur kata, Bifelsian, harus ada sekolah khusus, kalau di sekolah disini tentu umumnya. “Dulu ada guru yang ikut pelatihan khusus, namun gurunya mungkin ada kendala sehingga tidak diterapkan,” katanya
Dua kali berkunjung ke rumah Ur, kondisinya rumahnya yang ditempatinya itu, semi permanen dengan ukuran 7 x 5 meter, dindingnya dari papan sebagian hanya ditempel dengan seng dan papan bekas, lantainya dari semen cor yang sudah mulai retak, atap rumahnya sebagian seng yang sudah karatan dan bagian depannya hanya atap daun sagu yang disambung dengan seng.
Rumah tempat tinggal Umar bersama dengan orang tuanya. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Umar tinggal dengan ibu dan ayah tirinya bersama empat orang anggota keluarga lain. Ibunya seorang penyintas korban kekerasan seksual dengan empat orang anak, satu anaknya laki-laki bekerja sebagai pemanjat kelapa, satu lagi anaknya sudah diadopsi oleh saudara laki-lakinya, kemudian satu anaknya perempuan dan terakhir adalah Ur.
Meski penyintas, ibu Ur diterima dengan baik oleh warga di lingkungan mereka tinggal.
Seperti yang dituturkan Nirmawati, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Nemnemleleu, awalnya Ibu Ur sosok yang tertutup, namun dengan pendekatan intensif, dia bisa terbuka. “Kami kasihan sama dia, cara mendekatinya juga tidak langsung tapi berlahan-lahan, main-main ke rumahnya, mengajak dia setiap kegiatan,” katanya.
Setelah bisa dekat, kata Nirmawati ini, langsung mengajak berkebun, tapi itupun tidak langsung paham berkebun, ibu-ibu mengajarinya. “Dia kadang kalau sudah berkebun kemudian lupa lagi dia ke lokasi akhirnya dia kembali di ajari,” tuturnya.
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kesetaraan gender, kata Nirmawati, pihaknya bersama YCMM mengajak dia ke Siberut Selatan untuk ikut pelatihan keterampilan. “Tujuannya ini untuk meningkatkan pengetahuan dan membuat usaha mandiri ketrampilan seperti tempurung menjadi perhiasan,” katanya.
Nantinya kata Nirmawati, pelatihan itu akan dikembangkan di Sagitci, apalagi saat ini banyak wisatawan turis mancanegara melintas di sini menuju daerah Katiet dengan mobil dan kendaraan. “Kini dia masih kita terus membinanya untuk bisa menyatu dengan masyarakat,” tuturnya.
Kepala Desa Nemnemleleu, Basalnus (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Kepala Desa Nemnemleleu, Basalnus, untuk data desa yang masuk disabilitas itu ada 29 orang, baik itu disabilitas sejak lahir, lansia, penyakit menahun. “Untuk satu keluarga itu mendapat bantuan dari desa Rp300 ribu per bulan, ada juga bantuan kursi roda dua unit tahun ini,” katanya, Kamis (11/7/2024).
Namun itu ada juga bantuan dari Kementrian Sosial, bagi masyarakat yang tidak masuk dalam bantuan dari dana desa. “Kita masih terus melakukan pendataan untuk pelayanan ini, kita juga terbantu adanya teman-teman Yayasan Citra Mandiri Mentawai dalam hal membuat kebijakan,” katanya.