PADANG-Masyarakat Jurnalis Lingkungan
Hidup Indonesia (SIEJ) simpul Sumatera Barat adakan diskusi publik dan nonton
bareng hasil liputan soal pembabatan hutan Kalimantan secara besar-besaran,
Jum'at (31/05/2024).
Diskusi ini juga membahas kondisi hutan di Sumbar dengan
melihat apa yang telah terjadi di Kalimantan Barat hari ini.
Ketua Bidang Data dan Kampanye SIEJ Aidil Ichlas mengatakan, liputan ini diinisiasi oleh Depati Project berkolaborasi dengan enam media. Depati Project kata Aidil saat ini menginisiasi kerja kolaboratif untuk melakukan investigasi perusakan lingkungan yang ada di Indonesia.
Media yang ikut dalam mengungkap salah satu tindakan deforestasi terbesar di pulau Borneo itu diantaranya CNN Indonesia. Hasil liputan itu bisa disaksikan di kanal YouTube CNN Indonesia dengan judul "Melawan Penjagal Hutan Kalimantan".
Aidil berharap kerja-kerja perlindungan lingkungan berbasis jurnalisme ini tidak hanya dilakukan di tingkat pusat. Tapi juga bisa di daerah seperti Sumatera Barat. "Kami berharap, dengan bantuan teman-teman pegiat lingkungan, masyarakat sipil, dan NGO, kita bisa berkolaborasi untuk melestarikan hutan," katanya membuka diskusi di Pustaka Steva.
Koordinator SIEJ simpul Sumbar Jaka Hendra Baitri mengatakan, Padang adalah salah kota yang melakukan desiminasi hasil liputan kolaborasi ini. "Kegiatan ini diselenggarakan juga di sepuluh kota lain dari Sumatra hingga Papua. Semua tempat itu juga memiliki problem yang sama soal deforestasi dan kerusakan lingkungan," katanya.
Ia mengatakan Sumatera Barat hari ini menghadapi krisis ekologis karena pembabatan hutan. Khususnya pada konsesi-konsesi lahan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi kawasan hutan.
Diskusi ini dimoderatori oleh wartawan MentawaiKita.com Rus Akbar dan dibedah oleh tiga orang narasumber. Salah satunya Arief Nugroho jurnalis kolaborator dari Pontianak Post.
Arief yang hadir secara virtual menjelaskan kondisi hutan Kalbar yang saat ini menghadapi tantangan besar. "Kalimantan saat ini sedang dicabik-cabik," katanya.
Dalam liputan yang dia lakukan, Perusahaan bernama PT
Mayawana Persada, salah satu perusahaan pemegang konsensi HTI adalah yang
paling massif menggerus hutan. Kalimantan Barat sendiri kehilangan 1,25 juta
hektar hutan primer sejak 2002-2020. "Masyarakat
yang hidup di sekitar hutan memilih melawan mempertahankan hutan yang tersisa.
Mereka menghadapi berbagai ancaman termasuk pidana," kata Arief.
Menyambung Arief, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar Wengki Purwanto, mengatakan hal senada. Sumbar kata Wengki tak luput dari deforestasi hutan akibat investasi oleh perizinan usaha. Itu semua berdampak pada kerusakan lingkungan serta terjadinya bencana ekologis. "Awal Januari 2024 kemarin kita sama-sama melihat bencana banjir/galodo yang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan. Peristiwa itu tak sekadar kejadian alamiah yang terjadi di alam. Tapi juga karena pembabatan hutan secara ugal-ugalan yang terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Pesisir Selatan," katanya.
Kerusakan dan deforestasi itu massif terjadi di Sumbar. Selain di pesisir, di Solok Selatan penebangan hutan dengan skala besar. Bahkan pemerintah provinsi kata Wengki baru mengeluarkan izin HTI sebesar 43 ribuan hektar di Solsel. Ia takut banyaknya izin di Sumbar dibidang kehutanan ini makin mengeksploitasi hutan yang ada.
Pembicara lain Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai menceritakan hal senada. Dia sedari dulu hutan-hutan adat Mentawai sudah dieksploitasi untuk kebutuhan industri. Dia mengatakan Kerusakan ini tidak hanya berpengaruh terhadap alam, tapi juga pada kehidupan satwa endemik dan masyarakat adat. Ia berharap penayangan liputan investigasi serupa harus terus dilakukan. "Lewat kerja-kerja jurnalis lah apa yang sering terlupakan dan diberitakan di Mentawai bisa diangkat," katanya.