Saat ini perusahaan kayu mengancam hutan tempat tanaman obat tumbuh
Perempuan berusia 40 tahun itu terkenal sebagai ahli pengobatan tradisional di Dusun Bake, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai. Redawati, mewarisi pengetahuan pengobatan berbagai penyakit menggunakan tumbuhan dari neneknya, Tak Mabesik. Sang nenek mewarisi pengetahuan secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
Redawati tinggal di pemukiman baru yang merupakan kampung relokasi korban tsunami. Ia pindah setelah rumahnya hancur diterjang tsunami pada 25 Oktober 2010. “Dulu tidak ada kampung di sini, pemerintah memindahkan kami ke sini,” katanya.
Setelah neneknya meninggal, Reda, nama pendeknya, melanjutkan peran neneknya meramu tumbuhan obat untuk warga yang membutuhkan pertolongan. Bahkan ia mengatakan kemampuannya melebihi neneknya, karena ia juga seorang indigo – panggilan untuk seseorang yang dipercayai bisa melihat hal gaib yang tidak bisa dilihat orang lain.
“Dulu belum dewasa, tidak bisa menahan emosi, sekarang kan sudah bisa mengontrol emosi, sebab syarat untuk mengobati orang itu harus sabar,” ujarnya.
Meski Reda satu dari tujuh bersaudara, namun hanya ia yang mewarisi kemampuan pengobatan tradisional dari neneknya.
Reda percaya roh neneknya selalu menuntunnya lewat pemberitahuan atau pamoliat saat melakukan pengobatan. Kalau ada yang sakit atau ada yang mau diobati, neneknya membisikkan obat apa saja yang harus diberikan kepada orang yang diobati.
Awalnya pemberitahuan itu diterimanya lewat mimpi, lalu terakhir lewat bisikan. “Dulu kebanyakan lewat mimpi, tapi sekarang nenek sendiri yang memberitahukan itu kepada saya. Saya kan bisa melihat roh nenek,” ujarnya.
Pengetahuan pengobatan tradisional yang dimiliki Reda bisa untuk menyembuhkan seseorang dari penyakit yang berkaitan dengan supranatural dan bisa juga untuk penyakit biasa. Yang berkaitan dengan supranatural atau hal yang gaib, seperti kena bajou (paparan energi lain), terkena taek (santet dan guna-guna), dan kisei (tasapo atau disebabkan oleh roh). Sedangkan penyakit biasa seperti kejuk (mag), koklo (batuk), besik baga (sakit perut), digigit ular, dan lain-lain.
Resep ramuan tradisional
Reda tidak sungkan berbagi resep tumbuhan tradisionalnya. Ia menjelaskan, daun bekeu atau daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) yang bunganya bulat atau bukan daun kembang sepatu biasa bagus untuk obat paru-paru dan bisa mendinginkan perut.
Redawati sedang menjelaskan obat tradisional yang diwariskan lelehurnya. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
Daun itu juga digunakan untuk melawan penyakit batuk yang bersumber dari “alam lain”. Caranya, daun itu sekali ambil sebanyak “dua ngan deat siba” atau dua kali sembilan (2x9) atau 18 helai. Kemudian ditambah dengan bunganya yang belum mekar dua buah.
Ramuan itu mesti ditambah dengan bahan lainnya, seperti silalabo (Curcuma longa), daun jahe (Zingiber officinale), daun kencur (Kaempferia galanga), daun aileppet atau daun ungu (Graptophyllum pictum) dan daun hanjuang (Cordyline terminalis).
Semua bahan itu diiris-iris tipis, direndam dengan air panas, disaring, ditetesi dua sendok kecil lemon (Citrus lemon), diminum kepada si sakit, dan ampasnya dioleskan ke perut. “Ini menyedot bajou,” ujarnya.
Sedangkan untuk sakit kepala karena terik matahari, menurut Reda obatnya adalah buah totonan atau kecombrang (Etlingera elatior) dan umbi sikopuk atau kencur (Kaempferia galanga). Keduanya diparut dan diletakkan di atas daun aileppet atau daun ungu (Graptophyllum pictum), dan ditempelkan ke jidat dengan mengikatnya pakai kain.
“Ini bisa mendinginkan kepala dan mencairkan darah beku,” ujar Reda yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Puskesmas Bulasat tersebut.
“Saya baru dikasih tahu daun-daun dan umbi-umbian di sekitar kita saja, belum kelas beratnya seperti obat menyambung tulang yang patah, itu obatnya ada di hutan tapi susah didapat dan kita belum dikasih tahu,” ujarnya, menambahkan bahwa dia belum mendapatkan bisikan dari roh neneknya.
Reda tidak pernah menuliskan pengetahuan pengobatan yang dimilikinya. Ia hanya mengandalkan ingatan nya saja.
Peramu obat dari Pulau Simatapi
Di kebun belakang rumahnya, Marinus Samaloisa (53), memetik pucuk daun poula atau daun enau. Ia juga mengambil seruas umbi sikopuk atau kencur. Pagi itu ia akan meramu obat untuk cucunya yang kulitnya kemerahan. Marianus Samaloisa adalah ahli peramu tanaman obat di Pulau Simatapi, Dusun Sinaka di Kecamatan Pagai Selatan.
Marinus Samaloisa sedang di kebun tempat dia menanam tumbuhan obat. (Foto: Febrianti/Mentawaikita.com)
Di kebunnya ia menunjukkan beberapa tanaman obat yang ia tanam. Ada sibulagat (Graptophylum pictum) yang daunnya ia gunakan untuk obat demam dan sakit kepala. Ada saileu (Zingiber casumnar Roxb) dari keluarga jahe, rimpangnya untuk mengobati kulit yang lecet atau kemerahan akibat lama berjalan di dalam air.
Ada serumpun kainauk atau gandasuli (Curcuma longa L) yang bunganya putih dan wangi, bisa dilumatkan bersama minyak kelapa dan dikompres ke kening untuk mengobati sakit kepala. Ada juga serumpun kukuet (Achasma megalocheilos Griff) dari keluarga jahe-jahean, perasan air rimpangnya untuk mengobati sakit pinggang dan sakit perut. Sedangkan perasan air batangnya diminum untuk mengatasi gatal-gatal pada kulit akibat alergi.
Di kebun itu ada tanaman yang menarik. Tingginya 1,5 meter dengan daun yang panjang menjuntai berwarna merah tua keunguan.
“Ini boblo, obat untuk demam, sakit kepala, dan juga mengobati sakit kena guna-guna dari orang lain,” kata Marianus menunjuk sebatang Cordyline fruticosa Geopp, tumbuhan dari family Agavaceae.
Ia menceritakan jika sekeluarga akan meninggalkan rumah dalam waktu yang lama, misalnya berpergian ke Sikakap atau ke Padang, maka ia mengambil pucuknya dan membawanya kemana pun pergi. Itu kepercayaan lama yang masih dijalaninya agar tidak sakit saat di dalam perjalanan.
“Saat pulang ke rumah, pucuk daun itu harus dikembalikan lagi ke tanaman boblo agar roh-roh leluhur yang ada di sini tidak marah, kalau marah nanti kita bisa demam atau sakit,” ujarnya.
Ia banyak menanam boblo, selain di belakang rumah juga di ladangnya, sesuai dengan kepercayaan. “Ini tanaman yang penting,” ujarnya.
Marianus membawa dua jenis tanaman obat yang baru ia petik ke rumahnya. Sebelumnya ia telah memetik pucuk daun sagu dan tobat leleu, sejenis tanaman berduri dari ladangnya di Pulau Sinakak, di seberang Pulau Simatapi. Kini di hadapannya sudah terkumpul empat macam tumbuhan untuk membuat ramuan olesan untuk penyakit kulit.
Kencur, pucuk daun enau, pucuk sagu, dan pucuk tobatleleu ia parut dengan gigiok, parutan dari pelepah enau yang berduri kemudian ia campur dengan sedikit minyak kelapa. Ia memeras, menyaring, dan menyimpannya di dalam wadah. Ramuan itu siap dioleskan ke kulit cucunya yang masih berumur 6 bulan yang punggungnya gatal kemerahan.
“Kulit punggungnya kemerahan, gatal-gatal, di sini namanya sinasokut (bahasa Mentawai) , dengan ramuan ini dia akan sembuh. Saya sudah biasa menggunakan obat ini untuk cucu saya yang lain,” katanya.
Marianus adalah ahli tanaman obat yang diandalkan warga di Desa Sinakak. Dibandingkan dengan Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai yang masih banyak memiliki sikerei atau ahli pengobatan, di Pulau Pagai Selatan sudah sangat jarang ada ahli tanaman obat.
Sikerei terakhir
Marianus mewarisi keahlian mengobati dari ayahnya,Toila Sibuat yang dulu merupakan seorang sikerei di Dusun Bubuget, Desa Sinakak.
“Bapak saya dulunya mengobati orang sama dengan sikerei di Siberut, saat memetik tanaman dia menyenandungkan urai (nyanyian) sikerei, saat mengobati juga pakai lonceng dan muturuk (menari) seperti sikerei dari Siberut,” ujarnya.
Tanaman obat yang sudah ditanam Marinus. (Foto: Febrianti/Mentawaikita.com)
Marianus mengenang saat ia kecil bersama orang tuanya di Dusun Bubuget. Mereka masih memiliki uma atau rumah tradisional Mentawai. Uma itu besar dan dilengkapi peralatan budaya Mentawai. Di sana sering diadakan punen atau pesta adat. Ayahnya, sebagai seorang sikerei, memiliki beberapa tato tradisional di tubuhnya.
Namun saat ayahnya mulai memeluk agama Protestan pada 1978, uma itu dirobohkan sendiri oleh keluarganya karena dianggap masih melambangkan kepercayaan Arat Sabulungan, kepercayaan tradisional orang Mentawai yang dinilai banyak bertentangan dengan ajaran baru.
“Kayu uma dan juga perlengkapan uma, termasuk perlengkapan kerei milik ayah saya dibagi-bagikan untuk semua anaknya untuk kenang-kenangan bahwa kami semua pernah memiliki itu semua, tapi agama baru melarangnya,” kata Marianus.
Setelah itu, penduduk di desa itu tidak ada lagi yang boleh ditato. Warga yang memiliki tato dihukum polisi untuk bekerja membuat jalan dan bangunan di Sikakap, pusat kecamatan Pagai Utara dan Selatan.
Namun untuk mengobati orang sakit, ayahnya masih boleh mengobati dengan cara lama, seperti yang digunakan para kerei mengobati orang sakit memakai ritual. Ketika ayahnya sudah tua dan menjelang meninggal dunia, semua ilmu pengobatannya diajarkan kepada Marianus, anak ketiganya.
“Kami ada enam bersaudara, saya anak keempat, kedua kakak laki-laki saya menurut bapak orangnya ada yang pemarah dan ada yang suka bepergian jauh. Jadi pada sayalah ia merasa ilmunya bisa ia berikan, karena saya katanya lebih tenang,” kata Marianus. Marianus mulai menjadi ahli pengobatan pada 1989, dua tahun sebelum ayahnya meninggal dunia.
Walaupun ia tidak harus menjadi sikerei seperti ayahnya, tetapi ia tetap bisa mengobati orang seperti yang dilakukan ayahnya yang seorang kerei. Sesuai tradisi masyarakat Mentawai khususnya di Siberut untuk menjadi seorang Sikerei memerlukan ritual panjang yang memakan waktu selama satu tahun bahkan bisa mencapai lima tahun. Proses ini tergantung pada persiapan keperluan ritual seperti menyiapkan puluhan ekor babi dan tanah serta kelapa, sagu dan pohon durian sebagai pembayar upah untuk sipaumat (guru).
“Saya tidak lagi menggunakan tari, atau menyanyi seperti kerei dulu, namun saat mengobati seseorang saya tetap berdoa kepada Ulau Manua,” katanya. Ulau Manua adalah penjaga alam semesta dalam kepercayaan Arat Sabulungan.
Eksploitasi hutan mengancam tanaman obat tradisional
Sebagian besar hutan di Pulau pagai Utara dan Pagai Selatan telah dikuasai izin perusahaan kayu. Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, PT. Minas Pagai Lumber (MPL) memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) seluas 78.000 hektare yang dikeluarkan Menteri Kehutanan pada 18 Juli 2013, di dua pulau tersebut. Izin tersebut baru akan berakhir pada 2056.
Ratusan kayu balok di Teluk Boriai, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, kayu tersebut ditebang di hutan Pagai Selatan di daerah APL, foto diambil 26 Oktober 2023. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
Luas IUPHHK-HA PT. MPL itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, termasuk dalam 98.059,74 hektar hutan produksi yang sudah ditetapkan pemerintah di dua pulau tersebut. Luas hutan produksi itu lebih dari separuh luas total dua pulau yaitu 154.513 hektar.
Dengan kondisi seperti Marianus khawatir penebangan hutan dan pembukaan ladang akan menghilangkan banyak tanaman obat yang tumbuh di hutan, dan lama-kelamaan membuat tradisi pengobatan Mentawai punah.
“Di hutan itu banyak tanaman obat, ada ratusan, yang saya tanam di ladang dan di dekat rumah hanya yang dibutuhkan untuk mengobati sakit sehari-hari,” ujarnya.
Menurutnya maraknya penebangan hutan di Pagai Selatan sangat merugikan, karena tanaman obat yang tumbuh di dalamnya ikut hilang.
“Ada beberapa tanaman obat yang tidak saya ketemukan lagi di hutan, kalau di tempat lain saya jumpai tanaman seperti itu maka saya langsung ingat itu tanaman apa dan apa kegunaannya,” kata Marianus.
Ahli antropologi Universitas Andalas Padang, Dr Maskota Delfi mengatakan, keberadaan perusahan kayu di Pagai Selatan mengancam tanaman obat. Obat-obat itu kebanyakan tumbuh di hutan, meskipun ada sebagian masyarakat sudah menanam di pekarangannya namun tidak semua tanaman bisa tumbuh.
“Meskipun didomestifikasi tapi kan tidak semuanya bisa tumbuh, ada tanaman obat yang tumbuh atau menempel di kayu besar. Bahkan ada ratusan tumbuhan obat ada di hutan,” katanya, Kamis (25/1/2024).
Dia juga mengatakan bahwa sebagian masyarakat di Pagai Selatan sudah mengerti pengobatan medis, namun belum sepenuhnya dapat mengakses. “Kalaupun mereka percaya ke medis, akses ke pusat pelayanan kesehatan juga membutuhkan biaya ke sana karena jauh,” ujarnya.
Hutan Siberut menyimpan ratusan tanaman obat
Di Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, pengobatan tradisional masih dijalankan oleh sikerei, para ahli pengobatan. Sikerei memiliki peran penting dalam penyembuhan, ia sebagai tabib untuk mengobati orang sakit dan juga sebagai pengusir roh jahat. Seperti di Desa Matotonan, Siberut Selatan masih memiliki 43 orang sikerei.
Kukru Kerei sedang meracik obat dari tumbuhan yang diramu dari hutan Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Mentawai. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
Kukru Kerei (66) adalah salah satu sikerei atau ahli pengobatan tradisional yang di Dusun Dusun Matektek, Desa Matotonan, Siberut Selatan. Ia punya kemampuan meramu berbagai jenis tanaman untuk obat. Dia belajar masih muda saat itu dia sudah menikah dengan istrinya. Namun tahun pasti Kukru Kerei tidak tahu.
“Mulai kami dididik oleh guru, kami kumpulkan di bukit, di semak-semak, kami bawa ke rumah, siap itu dilihat sipaumat, kalau sudah cocok, guru kami akan mengatakan inilah obat, tapi ada juga yang salah, kalau sudah benar sipaumat akan mengatakan jangan kalian hentikan kalau ada orang yang sakit itulah obatnya dan diteruskan,” kata Kukru Kerei.
Selain belajar dari sikrei yang lebih senior, sumber pengetahuan tentang ramuan obat juga diperoleh dari interaksi dengan sikerei lain. Itu terjadi ketika antara sikerei saling berbagi ramuan pada saat diskusi bersama melakukan pengobatan bersama. Pengetahuan obat juga bisa diperoleh dari keluarga.
Namun ancaman hutan yang hilang juga menjadi kekuatiran sikerei di Siberut. “Sudah banyak tanaman yang hilang, terutama di luar Pulau Siberut, seperti yang saya lihat di Pulau Sipora,” kata Aman Godai, seorang sikerei dari Butui, Desa Madobag.
Ia mengatakan, hanya di hutan di Siberut Selatan yang masih memiliki tanaman obat yang masih lengkap tumbuh. Tanaman obat itu tumbuh alami di bawah naungan pohon, di pinggir hutan, di pinggir sungai dan hanya beberapa yang bisa ditanam di sekitar rumah.
Aman Godai sedang mencari tanaman obat di huta Sipora untuk peresmian kebun obat kukuet di Dinas Kesehatan Mentawai, Oktober 2023 (Foto: Febrianti/Mentawaikita.com)
Ia mengkhawatirkan banyaknya penebangan hutan yang dilakukan perusahaan kayu di beberapa tempat di Kepulauan Mentawai akan menghilangkan banyak tanaman obat.
“Tanaman obat banyak tumbuh di bawah lindungan pohon di hutan, begitu pohon di tebang, tanaman di bawahnnya ikut mati, semua tanaman di hutan itu obat, tidak beberapa jenis saja, tapi ratusan, karena yang diambil untuk ramuan obat itu sedikit-sedikit, tapi dari banyak jenis tanaman,” kata Aman Godai.
Menurutnya lebih baik tidak merusakkan hutan, karena semua tanaman yang ada di dalamnya bisa digunakan untuk ramuan obat.
“Ada obat untuk membantu perempuan yang melahirkan, sakit pinggang, kena ular, dan banyak penyakit lainnya yang bisa diobati, jadi hutan jangan dihabiskan oleh perusahaan, kalau perusahaan kayu datang ke hutan saya, akan saya usir,” kata Aman Godai.
Pada 2000 Pusat Studi Tumbuhan Obat Universitas Andalas mencatat 209 jenis tumbuhan berguna sebagai obat-obatan tradisional oleh sikerei di Dusun Rokdok, Siberut Selatan.
Dari penelitian Pusat Studi Tumbuhan Obat pada 2000 di Dusun Rokdok, Siberut Selatan, dari 209 koleksi didapat 154 jenis tumbuhan yang tergabung dalam 53 famili. Sebanyak 85 persen atau 176 koleksi diketahui khasiat dan penggunaannya secara tradisional dan hanya 33 koleksi atau 15 persen tak diketahui khasiat dan penggunaannya.
“Kalau hutan nya ditebang tentu akan punah obat-obatan yang ada didalamnya” kata Maskota Delfi.**
Liputan ini dihasilkan dari dukungan Earth Journalism Network