Rumah Boboca, Upaya Pelestarian Habitat Gurita di Minahasa Utara

Rumah Boboca Upaya Pelestarian Habitat Gurita di Minahasa Utara Seorang nelayan di Desa Bulutui, Minahasa Utara mendapatkan gurita saat pembukaan Rumah Boboca, Selasa (22/11/2023). (Foto: Yanti)

MINAHASA–Langit cerah dan laut terlihat tenang di perairan Desa Bulutui, Rabu pagi (22/11/2023).  Ada 20 lebih perahu nelayan sedang menunggu aba-aba dari Ketua Kelompok Nelayan Napo Ila Indah, Aswadi Sahari. Tepat pukul 07.00 WITA, Aswadi meneriakkan kata-kata mulai. Nelayan yang berada di perahu masing-masing mulai beraksi, menurunkan umpan untuk menangkap gurita. Tak lama, Bilai Laipora, seorang nelayan, berteriak sambil mengangkat umpannya yang sudah dibelit seekor gurita. 


Hari itu sedang pembukaan Rumah Boboca di Desa Bulutui, desa pesisir di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Boboca merupakan nama lokal untuk gurita di Minahasa. Nelayannya disebut nelayan boboca. Gurita termasuk salah satu hasil perikanan Minahasa Utara selain ikan. Sudah tiga bulan lamanya, Rumah Boboca di desa itu ditutup dari aktivitas penangkapan gurita.


Rumah Boboca merupakan areal laut di depan Desa Bulutui seluas kurang lebih 22 hektar. Disebut rumah karena menjadi lokasi penangkapan gurita masyarakat Bulutui sejak dulu. Untuk menjaga keberlanjutan produksi gurita di sana, warga desa melalui kelompok nelayan Napo Ila Indah dan dukungan Pemerintah Desa atau disebut Hukum Tua melaksanakan penutupan sementara secara berkala, dengan pendampingan dari Yapeka, sejak 2019.


Seremonial pembukaan penutupan hari itu berlangsung selama dua jam saja, dengan hasil tangkapan gurita total 109 kg, dan gurita terberat yang dihasilkan ukuran 3 kg lebih.


Sandi (35) adalah nelayan peraih hasil tangkap terbanyak hari itu, total 16 kg. Dia pun gembira karena berhasil memboyong hadiah styrofoam fiber dan tali pancing. Ya, memang seremonial pembukaan Rumah Boboca berlangsung meriah karena ada kompetisi nelayan penangkap gurita terbanyak dan terberat.

Sandi baru setahun menjadi nelayan gurita. Sebelumnya hanya menangkap ikan, namun merasa pendapatan yang dihasilkan tidak cukup untuk menghidupi keluarga, dia pun beralih. “Kalau gurita, kita kan menangkap sendiri, hasilnya dinikmati sendiri dan tentu lebih banyak,” katanya.


Setiap melaut atau per hari, rata-rata Sandi bisa menghasilkan Rp250 ribu saat musim gurita. Saat menurun, dia bisa membawa uang pulang sekira Rp100 ribu, dengan harga gurita di tingkat pengepul Rp45 ribu ukuran grade A.


Tantangan yang dihadapi nelayan gurita menurut Sandi adalah semakin sulitnya mencari gurita. Jika dulu para nelayan bisa menangkap di perairan depan pemukiman, sekarang harus pergi 2-3 jam jauhnya ke lokasi lain. “Ini akibat perilaku juga, dulu kadang ada yang memakai cara tangkap tidak ramah lingkungan, misal karang sarang gurita dicongkel, atau pakai bius maupun bom sehingga rusak habitat kita di sini,” kata Sandi.


Tidak mau hal itu terus terjadi, warga Bulutui yang 98 persen nelayan bersepakat untuk melindungi dan memulihkan rumah gurita di perairan mereka. Melalui pendampingan intensif Yapeka, proses buka tutup Rumah Boboca sudah berlangsung sejak 2019. “Hasilnya cukup signifikan, mungkin di tahun awal belum kelihatan, namun sekarang terlihat, di pembukaan sebelumnya tiga bulan lalu, hasilnya 40-an kilo, sekarang 100 kg lebih, sangat jauh meningkatnya,” jelas William Seak, salah satu staf Yapeka yang mendampingi perjalanan kami selama di Bulutui.


Saya dan Kepala Desa Sinaka, Pagai Selatan, Mentawai dan Pokmaswas Sijago Koat berkunjung ke desa dampingan Yapeka selama tiga hari, pada 20-23 November 2023 untuk saling belajar pengelolaan perikanan skala kecil khususnya gurita.


Desa Sinaka juga memiliki program sama yang didampingi Yayasan Citra Mandiri Mentawai/YCMM sejak 2021.  Yapeka dan YCMM merupakan dua mitra yang mendapat dukungan Blue Ventures untuk program ini.


Menurut William, Yapeka sudah bekerja di Minahasa Utara sejak 2017 dengan tiga desa dampingan. Selain Bulutui, ada Desa Likupang 2 dan Gangga 1. Di desa Likupang 2, luas rumah Boboca yang dibuka tutup kurang lebih 19,1 hektar, Bulutui 22 hektar dan Gangga 1 paling luas, 63,4 hektar.


Untuk memperkuat pengelolaan Rumah Boboca ini, dibuat aturan setingkat Peraturan Kepala Desa. Saat ini, ketiga desa sedang proses membuat peraturan desa. “Agar pengelolaan bisa lebih kuat lagi,” kata William.


Penutupan sementara di tiga desa ini cukup unik. Lokasi ditutup dari aktivitas penangkapan selama tiga bulan, pembukaan hanya berlangsung beberapa hari tergantung kesepakatan, bisa tiga hari, seminggu atau paling lama 2 minggu. Setelah dibuka semua nelayan bebas menangkap gurita, tapi setelahnya ditutup kembali. Selama penutupan, nelayan akan mencari gurita di lokasi lain.


“Kami menganggap ini seperti celengan, atau tabungan. Kami tutup, kami jaga sampai guritanya banyak dan besar, lalu kami panen terbatas, setelah itu kami jaga lagi,” jelas Lisbeth Tamangge, Ketua Kelompok Nelayan Batu Woka Sejahtera di Desa Likupang 2.


Dampak penutupan ini cukup dirasakan nelayan, terutama saat pembukaan mereka cukup mencari gurita di sekitar kampung. Tak perlu pergi jauh. Selain itu, mereeka juga ingin kondisi habitatnya bisa terjaga dengan baik. 


Program Menabung Nelayan


Diskusi dengan Ketua Kelompok Nelayan Napo Ila Indah. (Foto: Yanti)


Meskipun pendapatan dari gurita cukup bisa menopang ekonomi keluarga, namun nelayan menghadapi tantangan lain, perubahan iklim dan cuaca yang tidak bisa diprediksi. Terkadang saat cuaca buruk, hasil tangkapan akan menurun drastis, bahkan bisa pulang dengan tangan hampa.


Hal itu diakui Sandi. Saat tangkapan gurita kurang maka pendapatan akan menurun juga. Karena itu, kini dia mulai menyimpan sebagian pendapatannya. “Saya sekarang ikut program menabung kelompok nelayan, ini sebagai simpanan saya dan keluarga yang bisa dipakai saat diperlukan, karena saya juga sudah ada anak,” kata Sandi. 


Program menabung ini diinisiasi Yapeka sebagai jaring pengaman sosial bagi nelayan yang rentan secara ekonomi karena pendapatan sangat bergantung dari aktivitas melaut. 


Aswadi yang juga mengurus program menabung anggota kelompoknya mengatakan, sejak program ini dimulai Desember 2022, total tabungan yang sudah ada Rp15 juta lebih, dengan jumlah anggota tujuh orang. “Kita baru mengawali, biar yang menabung baru sedikit tapi ini bisa menjadi contoh dan motivasi buat yang lain tentang pentingnya pengelolaan keuangan keluarga,” jelas mantan kepala desa yang akrab disapa Opo ini.


Menurut dia, usia produktif nelayan hanya sampai 55 tahun, setelah itu mulai tidak kuat lagi melaut. Karena itu nelayan perlu punya tabungan, termasuk dana untuk pendidikan anak dan kesehatan keluarga. “Kita nelayan ini profesi rentan, tidak bisa terus-menerus menghasilkan uang, karena itu harus pintar mengelola keuangan, mesti punya tabungan,” kata Opo Aswadi yang juga seorang pengepul.


Sementara menurut William, program menabung ini juga penting untuk memperkuat kemandirian nelayan. Program serupa juga akan dilakukan di dua desa dampingan lainnya.


Tantangan Pengelolaan dan Dukungan Pemerintah


Rumah Boboca di Desa Likupang 2 (Foto: Yanti)


Pengelolaan Rumah Boboca masih menghadapi tantangan dalam pengawasan. Para nelayan menyatakan pengawasan harus diperkuat dan diperketat untuk menjamin tidak adanya pelanggaran. Terutama butuh dukungan pemerintah untuk fasilitas atau sarana pra sarana pengawasan. “Misal untuk patroli ke lokasi-lokasi yang jauh kami juga butuh dukungan armada,” jelas Koordinator Pengawas Kelompok Nelayan Sawang Indah Desa Gangga 1, Dance.


Terkait hal itu, Pemerintah Desa Likupang 2, Bulutui maupun Gangga 1 menyampaikan dukungan dan komitmennya. Pada pertemuan kami dengan Hukum Tua (Kepala Desa) Likupang 2, Meidy Tambaritji mengapresiasi pengelolaan Rumah Boboca dan berkomitmen memberi dukungan. “Perdes pengelolaan Rumah Boboca ini sedang proses, kita komitmen dukung,” katanya.


Sementara itu, untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan Rumah Boboca, Yapeka juga memfasilitasi integrasi Rumah Boboca ke dalam rencana Zonasi Perda RZWP3K Sulawesi Utara. “Sudah terintegrasi dalam dokumen teknis draf Perda RZWP3K Sulut dimana prosesnya menunggu persetujuan teknis Menteri KKP,” jelas Bella Riskyta, staf Yapeka yang intens terlibat dengan tim teknis DKP Sulut untuk revisi Perda RZWPK3. 






BACA JUGA