Energi Biomassa Bambu, Solusi Palsu Energi Baru Terbarukan

Energi Biomassa Bambu Solusi Palsu Energi Baru Terbarukan Suasana diskusi dan nobar di laboratorium UNP. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

PADANG-Tidak beroperasinya tiga PLTBM (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa) di tiga desa di Kabupaten Kepulauan Mentawai contoh program gagal program energi terbarukan pemerintah. 

Dalam kegiatan nonton bareng dan diskusi terkait topik ini di Laboratorium Sosiologi Universitas Negeri Padang, Kamis (19/10/2023), terungkap megaproyek ini diklaim sebagai yang pertama berbahan bakar bambu di Asia Pasifik dengan biaya pembangunan hibah dari Amerika sebesar 12,4 juta USD.  

Merujuk pemberitaan Mentawaikita sebelumnya, PLTBM ini berada di Desa Madobag, Matotonan dan Saliguma mulai diluncurkan Maret 2017 dengan kontraktor pelaksana PT. Clean Power Indonesia (CPI) yang menggandeng PT Inti Karya Persada Teknik (IKPT) sebagai kontraktor dan PT. Indopower International untuk konsultan penyusun UKL/UPL serta Ekologika sebagai konsultan feedstock, pembibitan dan penanaman bambu. 


Setelah melalui serangkaian uji coba hampir setahun, PLTBM diresmikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada 17 September 2019. Kapasitas pembangkit Plant Saliguma, 250 Kilo Watt (KW), Plant Madobag 303 KW, dan Plant Matotonan 350 KW masing-masing menyuplai listrik kepada 388 Kepala Keluarga (KK) di Saliguma, 468 KK di Madobag, dan 245 KK di Matotonan. Tiap rumah warga mendapat listrik kapasitas 450 VA.

Namun menurut Gerson Merari Saleleubaja, seorang jurnalis dan staf Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), peresmian biomasa di Desa Saliguma yang menggunakan bahan bakar bambu untuk jadi bahan bakar pembangkit listrik tapi ternyata tidak memakai bambu melainkan kayu.  

“Karena tidak ada bambu di Saliguma, kayu jadi gantinya dan agar tidak ketahuan media, kayu-kayu tersebut dikubur,” kata Gerson yang beberapa kali meliput soal PLTBM ini.

Saat beroperasi, kondisi biomassa beroperasi tidak stabil. Banyak alat-alat elektronik warga di desa yang rusak. Bahkan anggaran untuk biomassa tersebut sangat besar dibandingkan pemasukan yang didapat. Banyak arus yang terbuang daripada arus yang terpakai, dan akhirnya menimbulkan kerugian dari pemerintah.

Kemudian lanjut Gerson, untuk menghasilkan bahan bakar, masyarakat diberikan bibit bambu dari luar kota yang mengakibatkan masyarakat harus membuka lahan. “Harapannya bambu tersebut bisa dijual dan dibeli oleh perusahaan biomassa untuk pembangkit listrik. Akan tetapi, karena operasional PLTBM yang tidak stabil akhirnya bambu tersebut tidak laku dan hanya menjadi hama.


Kini ketiga PLTBM tidak lagi beroperasi, listrik warga disuplai PLN menggunakan diesel namun jaringannya menggunakan jaringan listrik milik PLTBM.

Di sisi lain, Pemerintah mengeluarkan izin Hutan Tanaman Industri pada 2017 untuk PT. Biomas Andalan Energi di Pulau Siberut (Siberut Utara dan Siberut Tengah) seluas hampir 20.000 hektar. Perusahaan ini akan menanam kaliandra untuk dijadikan kayu pellet dan dijual sebagai bahan bakar energi. 

“Lahan-lahan yang disasar PT BAE adalah lahan-lahan produktif masyarakat. Lahan-lahan yang disasar juga dilihat dari lingkungan hidup adalah daerah rawan banjir dan cepat kekeringan. Peruntukan untuk izin-izin di Mentawai yang menjadi izin-izin konsesi tapi tidak menguntungkan di Mentawai,” katanya.

“Pemerintah yang mau membangkitkan listrik dengan membakar hutan Mentawai, tapi ini menjadi pencemaran untuk kesehatan masyarakat, membunuh ekonomi, dan merusak lingkungan hidup,” ucapnya menambahkan.

Sementara Kepala Bidang SDA LBH Padang Diki Rafiqi mengatakan seharusnya ada dilakukan pelacakan apa energi yang pas untuk di Mentawai. “Energi yang dibangun di Mentawai hanya sebatas untuk investasi. Awalnya PLTBM dijargonkan  nol polusi karena berasal dari biomassa atau bambu itu sendiri tapi berubah dengan adanya energi fosil seperti solar,” katanya.

Kata Diki, itu tidak berjalan terus menerus dan adanya persoalan diawal yang disepakati dengan masyarakat tidak sesuai, terutama tentang alih fungsi lahan. Transisi energi yang ada hari ini hanya untuk sistem ekonomi. 

“Bagaimana energi yang ada di Mentawai tidak kontekstual, tidak sesuai kebutuhan masyarakat, dan investasi yang ada tidak sesuai dengan kesepakatan yang ada. Energi di Mentawai harus dikaji ulang sesuai kebutuhan,” ucapnya.

Yosafat Saumanuk, Wakil Ketua Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) Sumatera Barat mengatakan setelah semua persoalan yang ditumbulkan akibat masuknya biomassa ke Mentawai, pemerintah terkesan tidak bertanggung jawab. 

“Bambu yang digunakan untuk pembangkit listrik tidak cukup, dan masyarakat disuruh menanam kembali dan butuh waktu untuk bisa dipanen, jadilah penebangan pohon untuk pengganti bahan bakar dari bambu.” ujarnya.

Yosafat mengajak anak-anak muda lebih peduli denga napa yang terjadi di masyarakat, terutama hal-hal terkait tanah, lahan dan kelestarian lingkungan. “Ayolah kawan-kawan kita lebih peduli dengan lingkungan kita,” katanya.

Khairul Fahmi, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Padang (UNP) sebagai tuan rumah sejak awal negara sudah menganut pandangan antroposentris dilihat dari UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, Pasal 1 ayat 1 (2) perspektif bahwa semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini sama pentingnya, alias setara untuk keseimbangan alam semesta. Maka terjadilah saling menjaga dan menihilkan aspek-aspek biotik (3) perspektif ekosentris, yaitu mengkritik pandangan antroposentris, memusatkan seluruh ekologi baik yang hidup maupun yang mati, dan alam semesta saling ketergantungan. 


“Akan tetapi pemerintah lebih memakai perspektif antroposentris. Harapannya kita semua bisa melihat perspektif ekosentris. Nilai yang ada di satu daerah dengan daerah lain berbeda, kebutuhan di Mentawai berbeda dengan daerah lain, maka dari itu butuh kajian-kajian yang konkrit,” ujarnya.

Rekomendasi untuk Mentawai adalah gunakan stakeholder yang ada di masyarakat secara seimbang, di Mentawai ada proses yang terputus antara masyarakat dengan pemerintah dan itu harus dikoordinasikan kembali. “Mindset pembuat kebijakan harus berlandasan lingkungan, jadi di advokasi kepala daerah, dan lain-lain yang harus berwawasan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan,” katanya.

Acara nobar tersebut diikuti oleh 40 lebih mahasiswa UNP serta mahasiswa luar seperti Unand dan kampus swasta, selain itu dalam sesi dialog banyak pertanyaan yang dilayangkan ke narasumber mengenai dampak energi terbarukan. 

Acara bertema Berebut Ruang dan Terang di Bumi Sikerei, digelar oleh Trend Asia bersama The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), YCMM, LBH Padang dan Formma Sumbar.  Acara ini dimulai di Kampus Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Muhammadiyah dan rencana akan dilanjutkan ke Universitas Andalas Padang.

BACA JUGA