Dalam tingkatan sosial pengobatan ini sebenarnya ada tiga tingkat, sikerei, sirua mata dan siagai laggek. Sirua mata bisa menjadi mediator atau shaman, perantara roh untuk mendapatkan jenis obat-obatan. Namun kenyataan yang terjadi di Matotonan jarang sekali terjadi hal tersebut memang ada yang si rua mata tapi mereka tidak bisa mengobati. Kemudian sikerei bisa dikatakan sebagai siagai laggek karena sikerei juga memiliki pengetahuan dalam menggunakan dan mengolah tumbuh–tumbuhan sebagai obat tradisional. Sikerei juga si rua mata bisa melihat alam lain, itulah salah satu yang membedakan antara sikerei dan siagai laggek. Siagai laggek juga tidak melakukan lia seperti yang dilakukan sikerei.
Menurut Prof. Dr. Zainul Daulay, Siagai Laggek bagian dari masyarakat yang memiliki pengetahuan obat melebihi dari pengetahuan masyarakat pada umumnya, mereka mendapatkan pengetahuan itu dari mimpi maupun dari pengamatan dan pengalaman dalam membantu sikerei mengobati orang sakit, mereka dapar mengobati orang sakit yang tidak bersumber dari kekuatan alam gaib. Tulius juga menjelaskan simatak Siagai Laggek berarti orang yang mengerti atau paham obat, mengetahui tentang tumbuh - tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat- obatan. Seseorang bisa dikatakan sebagai siagai laggek apabila ia memiliki pengetahuan dalam meracik tumbuh-tumbuhan menjadi obat dan menyembuhkan orang yang sakit.
Siagai laggek berasal dari orang biasa yang berasal masyarakat biasa bisa keturunan sikerei tapi bisa juga masyarakat biasa. Walaupun tidak memiliki status sebagai sikerei tetapi siagai laggek memiliki pengetahuan untuk menyembuhkan orang sakit dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang tumbuh- tumbuhan sebagai obat. Selain itu perbedaan ini juga terlihat antara sikerei dan siagai laggek, konsentrasi terhadap tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan lebih banyak digeluti oleh siagai laggek. Hal ini karena siagai laggek secara khusus melakukan penyembuhan dengan satu cara yaitu pemberian ramuan tumbuh-tumbuhan sebagai obat kepada simabesik. Sedangkan sikerei dapat melakukan berbagai cara penyembuhan orang yang sakit khususnya melalui ritual. Tumbuh-tumbuhan yang digunakan ini bermacam, ada pengobatan yang dilakukan hanya dengan satu jenis tumbuhan saja ada juga yang dicampur dengan berbagai macam tumbuhan, baik itu dari daun, akar dan batang semua itu tergantung dari jenis penyakit yang diderita si pasien.
Salah satu warga mengambil bunga untuk mengobati anaknya. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
Zaidin, 57 tahun Siaggai Laggek dan menjabat sebagai Ketua Lembaga Adat Matotonan, menuturkan, Saya kenal obat setelah dibilang sama saya oleh almahum orang tua saya, termasuk jenis-jenis penyakit, kalau jenis ini sakit ini obatnya. Tapi saya hanya tahu nama daun dan kayunya bentuknya belum tahu meski dibilang. Pada tahun 1987 baru saya praktekkan mengambil obat. Selain dari orang tua saya, saya juga menanya-nanyakan obat ditempat lain seperti di Sagubulubbek, kemudian saya padukan dengan ramuan yang saya ketahui sehingga muncul obat baru.
Zaidin ini menguji keampuhan obat yang diberikan itu tidaklah memakai laboratarium seperti medis, tapi dia mengobati istrinya setelah sakit bertahun-tahun, dengan keterbatasan materil seperti babi dan ayam akhirnya dia mengobati istrinya dengan pengetahuan obat tradisional yang dia ketahui hingga sembuh.
“Kita kan tidak mau minta tolong terus kepada orang lain, apalagi dengan sikerei, kalau sikerei mengobati hanya sekali mengambil seperti kita, kalau sudah kali itu tidak bisa lagi kita harus mu lia (ritual) untuk kesembuhan istri saya, sementara kita sendiri tidak memiliki babi dan ayam terpaksa kita coba mengobati pakai obat tradisional, sakit istri saya ini adalah kurus, lesuh tidak bisa bangun-bangun dari tempat tidur, sekarang ini sudah sembuh,” ulasnya.
Obat-obat yang digunakan itu dari daun-daun, pucuk tumbuh-tumbuhan, akar-akaran, umbi-umbian, kulit tumbuhan, kayu tumbuhan serta bunga-bunga, semuanya itu tersedia di berbagai lokasi, ada di suksuk (semak belukar), onaja (rawa-rawa), bebet oinan (pinggir sungai), derek leleu (kaki bukit), iggrit leleu (lereng bukit) dan udddut leleu (puncak bukit), semua tanaman tersebut tersedia di kawasan Matotonan.
Dalam etika mengobati orang sakit, siagai laggek juga melaksanakan keikei (pantangan) yang sama dengan Sikerei, namun waktu yang dipakai tersebut tidak lama waktunya, kalau Sikerei itu melaksanakan pantangan ada seumur hidup dan seminggu, bagi Siaggai Laggek hanya melaksanakan pantangan selama dua hari yang dimulai saat mengambil obat dan satu hari setelah memberikan obat kepada yang sakit.
Referensi:
Andreas
Rino Sitanggang, Skripsi: “SIAGAI LAGGEK” Pengetahuan Penyembuh Mentawai Dalam
Penggunaan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional (Padang: Unand, 2019).
Bambang Rudito, Bebetei Uma, Kebangkitan Orang Mentawai Sebuah Etnografi (Yogyakarta: Gading
dan ICSD, 2013).
Ermayanti,
Peranan Kerei Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Mentawai, dalam “Erwin,
Etnografi Mentawai,” (Padang, Labor Antropologi Unand).
Maskota
Delfi, “SIPUISILAM DALAM SELIMUT ARAT SABULUNGAN PENGANUT ISLAM MENTAWAI DI
SIBERUT” (2012).
Rijel
Samaoloisa, “Pemerintahan Laggai Paham “Arat Sabulungan” di Kabupaten Kepulauan
Mentawai Provinsi Sumatera Barat” dalam jurnal Ilmu Pemerintahan Semesta,
Volume 1, No 1, Juni 2020 (Jakarta: Governitas).
Reimar
Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai (Jakarta, Balai Pustaka: 1991).
Tarida,
Keterkaitan Manusia Dengan Alam (Padang: Yayasan Citra Mandiri, 2007).
Zainul Daulay, Pengetahuan Pengobatan Tradisional Kajian Teoretis-Empiris dan Tawaran Perlindungan Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2020).