Bersenjatakan parang, tombak dan panah, puluhan warga Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia merangsek masuk ke dalam kapal pukat yang diketahui milik seorang pengusaha ikan dari Padang.
Kapten dan awak kapal pukat tersebut mereka giring ke darat. Di darat awak kapal itu ditahan dan didenda secara adat untuk membayar sejumlah uang karena perbuatan mereka melakukan penangkapan ikan di wilayah perikanan tradisional mereka yang terletak di Teluk Tanopo. Menurut warga setempat tindakan kapal-kapal ikan dari luar Mentawai itu sebagai bentuk pencurian kekayaan ikan mereka.
Maas Sababalat (47), salah seorang warga Sinaka masih mengenang kejadian yang terjadi sekitar tahun 1990-an itu dengan tersenyum. “Kami semua turun dengan nekad kala itu,” kata Maas saat ditemui 17 Juni 2023. Tindakan berani itu mereka ambil karena beberapa kapal pencari ikan yang memasuki wilayah perairan tradisional Sinaka sering melakukan pemboman saat menangkap ikan. Kapal-kapal pukat itu pada umumnya berasal dari Sibolga (Sumatera Utara), Bengkulu, Pesisirselatan dan Jakarta.
Akibat bom di laut, banyak ikan kecil dan besar mati dan terdampar di sepanjang pantai Sinaka dan pulau-pulau kecil yang tersebar di daerah itu. “Jika pemboman itu dibiarkan terus menerus maka hasil laut Sinaka akan habis, banyak karang juga yang rusak akibat ledakan, sehingga kami mengambil inisiatif sendiri melakukan penangkapan,” kata Maas.
Maas yang sehari-hari mencari ikan dengan jaring di Teluk Sinaka menyebutkan tindak kejahatan di laut Sinaka itu pernah dilaporkan kepada aparat penegak hukum namun belum ada pelakunya yang berhasil ditangkap hal ini disebabkan peralatan yang dimiliki aparat penegak hukum sangat terbatas.
Selain bom, kapal-kapal dari luar menggunakan peralatan yang lebih canggih sehingga hasil tangkapan mereka lebih banyak ketimbang nelayan lokal yang hanya menggunakan perahu dari kayu saat melaut. Menurut dia warga sudah sering melakukan pengejaran kapal-kapal nelayan dari luar Mentawai yang memasuki perairan Sinaka namun hanya sebagian kecil yang berhasil mereka tangkap sebab daya mesin kapal nelayan luar itu lebih besar sehingga dengan mudah meloloskan diri.
Kepala Desa Sinaka, Tarsan Samaloisa membenarkan dulu warga pernah mengusir nelayan dari Padang yang melakukan penangkapan ikan di Sinaka. Itu merupakan bentuk mempertahankan wilayah tangkap perikanan tradisional dari pencurian. Apalagi di antara kapal-kapal itu juga melakukan pemboman ikan.
Kapal-kapal pembom itu biasanya beroperasi saat masyarakat tidak melaut seperti hari Minggu sebab warga kebanyakan ke gereja. Tindakan seperti inilah kemudian memicu pengusiran seluruh kapal bagan dan pukat yang masuk ke perairan Sinaka. Hasilnya timbul konflik antara nelayan yang berasal dari Padang dengan nelayan Sinaka.
Sekarang kapal-kapal besar itu tidak berani melakukan penangkapan ke wilayah tangkap tradisional Desa Sinaka yang berjarak 2 mil dari pantai ke laut. Sesekali masih ada yang masuk namun hanya menumpang berlabuh akibat cuaca buruk.
Pemboman ikan tidak hanya terjadi di Desa Sinaka, kejadian serupa juga terjadi di Kecamatan Siberut Barat Daya (Mentawai) pada Januari 2013. Pelaku melakukan pemboman ikan di dekat Pulau Mainuk, sebuah pulau kecil di Siberut Barat Daya. Hal ini kontan menjadi perhatian publik sebab selain menjadi areal yang kaya ikan, lokasi ini juga menjadi tempat wisata surfing kelas dunia.
Kemudian pada 4 Februari 2021, Kepolisian Resort Kepulauan Mentawai berhasil menangkap 7 pelaku pemboman ikan dari Sibolga (Sumatera Barat) yang menjalankan aksinya di perairan Sipora dengan menggunakan kapal KM. Kasih Sayang.
Penangkapan terjadi saat aparat kepolisian melakukan patrol rutin di perairan Sipora. Barang bukti yang ditemukan di kapal itu berupa mesiu satu botol minuman energi, 39 botol kosong, 68 buah Hio untuk alat pembakar, 2 buah drum, 2 unit mesin kompresor, 3 dakor selam, 1 buah fiber ikan, kemudian jaring penangkap ikan. Polres Kepulauan Mentawa juga mengamankan ikan seberat 1,5 ton yang sudah dilelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Tuapeijat.
Para pelaku kini sudah ditahan di Mapolres Kepulauan Mentawai untuk mengikuti proses hukum lebih lanjut, para pelaku dijerat pasal 84 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 atas perubahan UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun dan denda Rp 1,2 miliar
Kehadiran kapal-kapal nelayan dari luar ke Mentawai disebabkan potensi sumber daya perikanan yang besar sebab daerah ini merupakan wilayah kepulauan. Khusus di Desa Sinaka yang berada di Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki luas 265,87 Km persegi dengan garis pantai terpanjang sekecamatan Pagai Selatan yakni 200 km.
Dengan keunggulan garis pantai dan luas laut ini, Sinaka memiliki potensi sumber daya perikanan yamg cukup besar di Mentawai. Tidak mengherankan nelayan dari luar Desa Sinaka termasuk dari luar Kepulauan Mentawai mencari sumber daya perikanan ke perairan Sinaka yang berada di ujung selatan Kepulauan Mentawai.
Wilayah Perikanan Tradisional Desa Sinaka (Foto : Adi Prima)
Akibat kedatangan kapal-kapal nelayan dari luar itu hasil tangkapan nelayan Sinaka turun drastis dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1980-an perairan di sekitar Desa Sinaka terkenal memiliki potensi teripang yang sangat banyak. Menurut Idris Maulana (35), warga Desa Sinaka yang sekaligus menjadi pengumpul lokal, hasil pencarian teripang yang dilakukan warga Sinaka pada dekade tahun itu berdasarkan cerita orang tua dulu mencapai ratusan kilogram per hari.
Jenis teripang yang diambil berupa gamat (Stichopus noctivagus), bakau dan gajah. Masing-masing teripang ini memiliki harga yang berbeda. Namun harga dulu tak sama dengan sekarang.
Pada tahun 1980-an harga teripang hanya rata-rata Rp1000 per kg. Biasanya pengumpul dari Sikakap, kecamatan tetangga Sinaka datang ke Sinaka membeli hasil tangkapan nelayan. Ada juga kapal dari luar yang ikut membeli hasil tangkapan nelayan di Sinaka.
Pada 2010 harga teripang mulai naik yang rata-rata Rp250 ribu per kilogram. Ini kemudian memicu penangkapan yang terlalu eksploitatif dengan harapan mendapat untung dari sisi ekonomi yang lebih besar menyebabkan masa keemasan teripang di Sinaka memudar. Dampaknya kini dirasakan warga sebab hasil pencarian teripang mereka jauh berkurang. Pada tahun 2012, jika sedang beruntung teripang yang mereka dapat hanya mencapai 1 atau 2 kilogram per hari.
Teripang yang berhasil didapat nelayan Sinaka (Foto : Adi Prima)
“Sekarang (2023) jumlah teripang sangat jauh berkurang, saya yang menjadi pengumpul lokal dalam 2 minggu hanya berhasil mendapatkan 5-10 kilogram,” kata Idris Maulana kepada MentawaiKita,com, Sabtu 17 Juni 2023.
Harga teripang saat ini melejit yakni mencapai Rp800 ribu per kg jenis gamat dan Rp1,3 juta per kg untuk teripang bakau. Secara pribadi, Idris menyadari penangkapan yang terlalu agresif tanpa disertai dengan budidaya menyebabkan teripang di Sinaka menuju kepunahan.
Selain teripang, di Sinaka pernah mengalami booming lobster. Untuk satu pengumpul saja pada tahun 2010 seperti Idris tiap minggu mampu menampung lobster 100-200 kilogram. Harga jual pada pengumpul lokal sekira Rp100 ribu-200 ribu per kilogram tergantung ukuran dari lobster.
Senasib dengan teripang, penangkapan lobster lebih merusak, nelayan yang tergiur hasil tangkapan banyak menggunakan potasium secara ‘diam-diam’. Potasium itu berfungsi untuk membuat lobster pusing dan keluar dari lubang persembunyiannya. Akibatnya selain lobster yang masih kecil, terumbu karang yang terkena potas ikut mati.
Nelayan yang tidak memiliki potas memilih menggunakan alat tangkap berbahaya lainnya seperti sabun atau deterjen terkadang memakai bensin untuk membuat ikan dan lobster yang akan mereka tangkap pusing sehingga mudah ditangkap.
Lobster hasil tangkapan nelayan Desa Sinaka. (Foto : Adi Prima)
Perilaku itu menurut Idris menyebabkan jumlah lobster yang ditangkap berkurang drastis pada 2012 dan semakin menurun pada 2014. “Pada tahun 2023 lobster sulit didapat meski sudah menggunakan kompresor dengan menyelam sampai 10-20 meter di bawah laut, hasil tangkapan seminggu hanya 5-10 kilogram,” ujarnya.
Harga lobster saat ini naik sekitar Rp400 ribu per kg namun jumlah yang berhasil ditangkap sangat sedikit karena lobster juga sulit didapat.
Menata Pengelolaan Perikanan
Menyadari potensi ancaman berkurangnya sumber daya perikanan di Mentawai, masyarakat dan Pemerintah Desa Sinaka kemudian mulai mengambil inisiatif untuk menyusun tata kelola pemanfaatan yang lebih berkelanjutan di tingkat desa mereka.
Kepala Desa Sinaka, Tarsan Samaloisa menyebutkan tindakan penyelamatan sumber daya perikanan perlu dilakukan sebab dari 14 dusun dengan penduduk 2.246 jiwa yang ada di desa itu, 11 dusun diantaranya menggantungkan hidup dari hasil laut.
“Sinaka dulu penghasil teripang, kini tinggal cerita, di Sinaka dulu pernah booming lobster sekarang tidak ada lagi, penyebabnya salah kelola terutama penangkapan yang tidak selektif dan cenderung merusak dengan alat tangkap yang berbahaya,” kata Tarsan.
Kepala Desa Sinaka, Tarsan Samaloisa. (Foto : Gerson/MentawaiKita)
Untuk memastikan tata kelola wilayah perikanan yang baik dan berkelanjutan, Pemerintah Desa Sinaka kemudian menggandeng Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) untuk bersama-sama melakukan penyadaran kepada nelayan tentang perlunya menghentikan penangkapan yang eksploitatif, tidak selektif dan merusak.
Menurut Tarsan, ada pemahaman yang keliru pada tingkat nelayan bahwa hasil laut dapat pulih padahal untuk memulihkan sumber daya itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebagai langkah awal, Tarsan dengan jajaran pemerintahannya bersama YCMM serta dukungan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sinaka mulai menyusun peraturan desa (perdes) yang bertujuan mengatur pengelolaan wilayah perikanan sekaligus perlindungan biota laut pada tahun 2022.
Proses pembuatan perdes tersebut dimulai dengan tahap penjaringan isi perdes yang dilakukan dalam muswarah desa yang melibatkan perwakilan nelayan dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Desa Sinaka pada Mei 2022. Kemudian dilanjutkan dengan konsultasi publik rancangan perdes pada 22 Oktober 2022.
Menurut Tarsan, meski telah ada berbagai peraturan perundang-undangan dari Pemerintah Indonesia yang mengatur soal cara dan pembatasan penangkapan di laut beserta sanksi jika menggunakan alat tangkap yang berbahaya namun hal tersebut tidak efektif sebab rentang kontrol aparat penegak hukum apalagi di Sinaka sangat jauh. Sehingga menurutnya harus ada inisiatif lokal yang melibatkan seluruh warga dan nelayan desa agar saat peraturan dijalankan semua warga mengetahuinya dan mengambil peran pengamanan swadaya menurut kapasitasnya masing-masing.
Setelah melewati proses panjang perdes tentang tata kelola wilayah perikanan tradisional berkelanjutan Desa Sinaka yang disusun itu disahkan dalam rapat paripurna BPD Sinaka pada 13 Februari 2023.
Penetapan Perdes Tata Kelola Wilayah Perikanan. (Foto : Gerson/MentawaiKita)
Dalam Perdes tersebut diatur lokasi wilayah perikanan tradisional Desa Sinaka adalah perairan laut sejauh 2 mil yang diukur dari pasang surut terendah pesisir daratan desa dan pulau terluar yang menjadi wilayah administratif desa ke arah laut lepas. Peraturan itu juga mengakui penguasaan wilayah perairan dusun atau kampung berdasarkan kebiasaan adat setempat yakni daerah dengan radius 500 meter ke depan dan ke samping kiri dan kanan muara sungai yang terdapat di dusun.
“Hukum adat warga kampung atau dusun setempat harus kita akomodir dalam peraturan agar tidak muncul konflik antar dusun,” ujarnya.
Untuk memastikan setiap nelayan di Desa Sinaka tidak menggunakan alat tangkap yang berbahaya bagi biota maupun ekosistem yang ada, Perdes juga mengatur pemakaian alat tangkap yang diperbolehkan berupa pancing, gancu, jaring, bubu, panah serta alat tangkap lain yang penggunaannya dipastikan tidak akan mengakibatkan pencemaran dan kerusakan habitat serta terancamnya populasi spesies penting. Sekaligus melarang alat tangkap yang berbahaya yakni potas, sabun atau deterjen, bensin dan bom serta jaring yang tidak ramah lingkungan.
Tarsan menyebutkan pihaknya dalam peraturan juga mengatur penutupan sementara pada titik lokasi tangkap. Penutupan sementara artinya selama waktu tertentu suatu titik lokasi penangkapan tidak boleh dilakukan pengelolaan sumber daya perikanan baik menangkap ikan, lobster, teripang maupun kegiatan lain.
Di Sinaka sendiri terdapat 34 titik lokasi penangkapan dengan total luas keseluruhan 3.125 hektar.
Penutupan sementara ini menurut Tarsan bertujuan untuk memberi tenggat waktu biota laut untuk berkembang baik dari segi jumlah maupun berat. Hal ini bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan nelayan sebab bobot yang mereka tangkap lebih besar.
Pemasangan rambu penutupan sementara lokasi tangkap perikanan di Pulau Beriulou Desa Sinaka. (Foto : Gerson/MentawaiKita)
Di sisi lain, penutupan sementara ini juga untuk menjamin sumber daya perikanan seperti lobster, ikan dan terutama gurita tidak habis karena diberi tenggat waktu tumbuh. Tempo penutupan sementara ini diputuskan bersama warga desa minimal 3 bulan untuk satu atau lebih titik lokasi penutupan.
Soal penutupan sementara ini, Desa Sinaka telah memulai menutup lokasi penangkapan yang terletak di Pulau Beriulou pada 17 Juni 2023. Radius penutupan 100 meter dari pantai di sekeliling pulau tersebut. Penutupan ini akan berlangsung kurang lebih 3 bulan dan akan kembali dibuka untuk aktivitas nelayan pada 26 Agustus 2023. Keputusan penutupan sementara itu diambil pada Musyawarah Desa pada 15 Mei 2023.
“Saat masa penutupan setiap orang tidak diperbolehkan melakukan pengelolaan sumber daya pada titik lokasi yang ditutup, jika melanggar akan dikenakan sanksi seperti yang tercantum dalam Perdes kita,” kata Tarsan.
Warga setempat maupun orang luar juga dilarang membuang sampah maupun melakukan pencemaran di laut agar tidak mengganggu ekosistem laut. Selain itu warga dilarang menebang kayu disepanjang sempadan sungai. Tujuannya untuk mencegah terjadinya sedimentasi pada aliran sungai yang bermuara ke lokasi tangkap perikanan.
Untuk memaksimalkan pengawasan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah tersebut, Kepala Desa Sinaka bersama tokoh masyarakat telah membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas yang mereka namakan Sijago Koat yang dalam bahasa Indonesia berarti penjaga laut. Sijago koat ini beranggotakan 10 orang yang terdiri dari unsur nelayan, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda.
Tugas Sijago Koat ini adalah melakukan patroli kawasan wilayah perikanan tradisional secara periodik. Dan jika terjadi pelanggaran maka laporannya akan ditindaklanjuti kepada kepala desa agar pelaku pelanggaran dijatuhi sanksi sesuai dengan peraturan desa yang berlaku.
“Pada salah satu poin peraturan tersebut juga mengatur soal nelayan luar Sinaka, mereka tidak sembarang masuk jika tidak mengantongi izin dari Pemerintah Desa Sinaka, pembatasan ini sengaja dilakukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya perikanan untuk warga kami,” jelas Tarsan.
Jika terjadi kasus kejahatan berat di laut yang tak bisa ditangani pemerintah lokal, Tarsan mengatakan pihaknya akan melibatkan aparat kepolisian untuk menangani kasus itu.
Idris Maulana selain menjadi pengumpul lokal hasil perikanan di desa itu juga menjabat sebagai Ketua BPD Sinaka mengatakan, peraturan ini mereka susun dan setujui sebagai bentuk dukungan mereka terhadap tindakan penyelamatan wilayah perikanan tradisional Desa Sinaka.
Ketua BPD Sinaka, Idris Maulana. (Foto : Gerson/MentawaiKita)
“Ini sebagai bentuk tanggungjawab kita (BPD) dan kebutuhan masyarakat di Sinaka sehingga muncullah peraturan desa ini,” kata Idris.
Ia berharap peraturan desa ini menjadi awal yang baik untuk menata kembali pengelolaan sumber daya perikanan agar memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Dari 43 desa yang berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai, baru Desa Sinaka yang berhasil membuat peraturan tingkat desa mengenai pengelolaan wilayah perikanan tradisional meski desa yang lain mengalami persoalan yang sama.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Rifai mengatakan kegiatan pendampingan yang dilakukan bertujuan agar masyarakat pesisir baik yang menjadikan nelayan sebagai profesi sumber ekonomi atau masyarakat yang ke laut sekadar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga mendapatkan hasil laut yang baik untuk mendukung kesejahteraan mereka.
Oleh karena itu perlu wilayah perikanan mereka itu terjaga kelestariannya dan terlindungi hak-hak mereka untuk memanfaatkannya sehingga nilai manfaat dari wilayah perikanan dapat dinikmati dalam jangka waktu yang lama atau berkelanjuntan.
Sinaka menurut Rifai menjadi ini entry yang harapannya hal yang telah dilakukan di desa ini direflikasi oleh daerah-daerah yang lain di Mentawai baik itu secara mandiri atau difasilitasi oleh pihak-pihak lain.
Ia menyebutkan penutupan sementara yang telah dilakukan di Sinaka sebagai ruang belajar bersama dengan masyarakat.
“Kita sendiri sebenarnya belum tahu model tata kelola yang tepat untuk menjamin agar sumber daya perikanan ini dapat berkelanjutan. Tapi kemudian kita melihat di lapangan ada spesies tertentu yang menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Spesies itu bisa saja dinamis, sekarang mungkin gurita bisa jadi ke depan mungkin soal udang. Sepanjang itu adalah speseis utama yang menjadi sumber pendapatan utama itu kita ingin itu menjadi berkelanjutan,” kata Rifai.
YCMM kata Rifai ingin supaya kemudian masyarakat melakukan pelestarian dan melindungi sumber daya perikanan mereka termasuk membatasi mereka melakukan aktivitas yang merusak wilayah perikanan tradisional mereka termasuk mengendalikan aktivitas di daratan.
Harapan Penutupan Sementara
Albert (51), seorang nelayan di Dusun Sinaka menyambut baik adanya peraturan desa yang dibuat oleh pemerintah untuk menertibkan sekaligus melindungi kekayaan laut mereka. Terutama adanya pembatasan nelayan dari luar Sinaka sebab jika tidak ada aturan seperti itu nelayan lokal kalah saing.
“Saya menjadi nelayan sejak masih berumur belia, kalau biasanya pencarian itu bermacam-macam ada ikan, ada lobster tetapi sekarang itu tergantung musim kalau cuaca buruk kami bekerja di ladang, kalau hasil laut di Sinaka masih ada tetapi sudah jauh berkurang dibanding sebelumnya karena yang mencari sudah banyak bukan cuma warga yang tinggal di Sinaka tetapi ada nelayan dari luar,” kata Albert.
Menurutnya ini penting karena alat tangkap nelayan luar lebih modern sementara nelayan lokal masih memakai pancing sederhana, akibat kedatangan nelayan luar itu hasil tangkapan nelayan lokal jauh berkurang. Jika lima tahun lalu Albert dapat menangkap ikan sampai 10 kilogram per hari namun memasuki tahun 2023 hasil yang didapatnya hanya 2-3 kilogram. Harga jual ikan pada tingkat lokal Rp15 ribu per kg.
Terkadang dalam sehari dia tidak mendapatkan hasil saat memancing. Di usia yang sudah tua menyebabkan jarak tempuh melaut Albert jauh berkurang. Inilah membuat dirinya menyambut baik adanya tata kelola perikanan di desanya dengan harapan hasil laut kembali bertambah dan mudah ditangkap tanpa menempuh jarak yang jauh.
“Dulu cukup menjaring dan memancing di teluk Sinaka ini saya sudah mendapatkan hasil yang banyak, sekarang terkadang tidak dapat apa-apa,” ujar Albert.
Jertianus Mado Gaho, nelayan Sinaka, Mentawai memperlihatkan hasil tangkapan gurita. (Foto : Gerson/MentawaiKita)
Dirinya juga menyambut baik penutupan sementara Pulau Beriulou yang telah dilakukan pada 17 Juni lalu. Sebab dari pengalaman selama ini, ketika nelayan tidak melakukan penangkapan selama 3 atau 6 bulan akibat cuaca buruk hasil yang mereka dapat saat kembali melaut pada cuaca bagus sangat banyak terutama gurita.
Senada dengan Albert, Maas, nelayan Sinaka turut senang adanya Peraturan Desa yang bertujuan menjaga lautan mereka agar tidak kekurangan hasil tangkap. Pembatasan kehadiran nelayan dari luar dan jeda tangkap seperti yang diatur dalam perdes memunculkan harapan baru bagi dia.
“Nelayan dari luar mereka punya bubuk punya racun sehingga membuat tangkapan mereka banyak tetapi habitat tempat ikan rusak gara-gara perbuatan mereka bermacam-macam alatnya,” katanya.
Dampak kerusakan itu kini telah dirasakan warga setempat yakni berkurangnya hasil tangkapan ikan.
Padahal berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai 2021 yang dilansir Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai hasil perikanan tangkap Mentawai pada tahun 2022 adalah 10.034 ton dengan nilai Rp250.850.000.000.
Bersama dengan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Mentawai tahun 2022 mencapai Rp2,61 miliar atau sebesar 48,01 persen. Dibanding sektor lapangan usaha penyumbang PDRB lain, pertumbuhan di sub kategori perikanan juga yang tertinggi yaitu sebesar 5,22 persen.
Menambah Wilayah Konservasi Laut
Harfiandri Damanhuri, akademi sekaligus peneliti perikanan dari Universitas Bung Hatta Padang mengatakan, laut Mentawai memiliki potensi perikanan yang cukup besar sebab daerah ini merupakan daerah lintasan ikan terutama tuna sirip kuning dan tuna mata besar. selain itu Mentawai memiliki laut yang luas dan terumbu karang yang masih bagus.
Untuk mempertahankan potensi perikanan Mentawai menurut dia perlu menambah wilayah konservasi laut selain Selat Bunga Laut yang telah ada. Penetapan kawasan Selat Bunga laut sebagai kawasan konservasi laut ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 22/Kepmen-Kp/2018 Tentang Kawasan Konservasi Perairan Selat Bunga Laut Kabupaten Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat.
Wilayah ini dapat menjadi tempat pemeliharaan bibit ikan dan biota laut lainnya. “Wilayah konservasi laut bukan tidak bisa dilakukan penangkapan tetapi dengan cara yang terukur begitulah kata menteri kelautan,” kata Harfiandri.
Ia menyebutkan luas wilayah konservasi laut Selat Bunga Laut masih kurang yakni 129.566 hektar. 10 persen dari luas perairan Indonesia. Sehingga jika ingin menyelamatkan potensi perikanan Mentawai perlu menambah wilayah konservasi laut yang baru.
Ia sangat mengapresiasi inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat Mentawai bagian wilayah Selatan (Sinaka) untuk melakukan penyelamatan wilayah perikanan sebab di daerah itu memiliki padang lamun yang luas dan terumbu karang. Sehingga potensi perikanan di daerah Selatan ini cukup banyak.
Menurut dia ancaman kerusakan terumbu karang dapat disebabkan kapal yang buang jangkar dan pemboman ikan. Tetapi persoalannya pengawasan sangat sulit dilakukan sebab kewenangan pengawasan perikanan berada ditangan pemerintah provinsi. Jarak yang jauh antara Mentawai dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyebabkan pengawasan sulit dilakukan.
Berbicara soal terumbu karang, Harfiandri memberikan nilai 50-75, hal ini berarti kondisi terumbu karang di Mentawai dalam kondisi menengah dan baik. Memang ada beberapa spot yang telah rusak.
Tulisan ini dihasilkan atas dukungan dari Pulitzer Center