SALIGUMA-Daun bambu yang mulai tumbuh kembali di ladang Malaikat Sarogdok (67), warga Dusun Rogdok, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Sebelumnya bambu itu telah ditebang oleh Malaikat beberapa bulan yang lalu karena mengganggu tanaman yang ada di ladangnya.
“Sudah saya tebang, sebab gara-gara bambu pinang saya tertutup cahaya matahari, seluruh bambu yang ada di ladang habis,” kata Malaikat Sarogdok (67), warga Dusun Rogdok, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan.
Bambu itu merupakan bahan bakar Pembangkit ListrikTenaga Biomassa Bambu (PLTBm) yang dibangun oleh pemerintah di Rogdog sejak 2017 dan baru beroperasi pada tahun 2019.
Setelah beroperasi pada 2019, mesin PLTBM mulai mengalami masalah, lampu menyala dan padam tidak menentu. Sekira 2020, pembangkit yang awalnya diproyeksikan dari tenaga bambu diganti dengan solar.
Warga yang sudah patah semangat memutuskan menebang bambu yang sebelumnya mereka tanam di ladang masing-masing. Selain karena tidak ada yang membeli, pokok bambu yang mulai menyebar di ladang menjadi penghalang tanaman warga yang sebelumnya ditanam seperti durian, pinang, pisang dan tanaman lain.
Malaikat mendapat bibit bambu dari pengelola PLTBm yang didatangkan dari Jawa, jumlahnya bervariasi, ada yang mendapat 100 bibit ada juga yang lebih. Ia sendiri mendapat bibit sebanyak 100.
Sebelum bambu yang ditanam warga dapat dipanen, PLTBm menggunakan bambu lokal yang ada di Siberut. Meski membutuhkan 1 ton lebih tiap bambu untuk menyalakan mesin namun pasokan bambu yang diberi warga tidak kurang.
Bambu yang sudah ditebang oleh Malaikat Sarogdok, warga Dusun Rogdok, Siberut Selatan. (Foto: Gerson/MentawaiKita)
Dengan harapan
mendapat penerangan, mulailah ia menanam bambu di sela-sela tanaman yang ada di
ladangnya. Selang dua tahun bambu itu makin besar. Ketika bambu sudah dapat
dipanen, PLTBm sudah menghentikan pembelian bambu yang dulu Rp700 per kg sebab bahan
bakar mesin diganti dengan solar.
“Sekarang tidak ada lagi, tinggal tunggulnya lagi yang mulai tumbuh lagi,” ujarnya.
Pada awal menyala, Malaikat bersama warga lain di Rogdok punya harapan besar selain mendapatkan penerangan pada malam hari juga membantu pekerjaan lain yang memakai alat bertenaga listrik.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Saliguma, Mateus Sakubou (47), salah seorang warga Saliguma menyebutkan, pada awal beroperasi bahan bakar yang dipakai pada PLTBm di Saliguma adalah kayu yang dipotong kecil-kecil dengan ukuran panjang sekira 8 cm dan lebar 3 cm. Warga cukup terbantu saat itu karena mendapat pendapatan tambahan sebab potongan kayu dibeli Rp700 per kg yang semula hanya Rp300.
Namun operasional PLTBm hanya dapat bertahan sekira sebulan sejak diresmikan sebab setelah itu mulai tidak menyala tidak normal.
“Listrik menyala selama 2 jam kemudian tiba-tiba padang, selang 1 jam atau 2 jam kemudian setelah padam, menyala kembali, begitu seterusnya,” katanya.
Menurut informasi yang didapat Mateus dari teknisinya menyebutkan beberapa bagian mesin rusak sehingga listrik tidak dapat menyala.
Cacahan kayu siap jual yang dimiliki warga tidak laku yang membuat mereka dua kali frustasi, pertama listrik tidak menyala, kedua kayu cincang tidak dibeli.
Sekira 2022, PLN mulai mengambil alih operasional listrik namun mereka menggunakan mesin sendiri bukan milik PLTBm
Bambu yang sempat ditanam oleh Mateus kini dibabat habis karena merusak bagi tanaman lain. “Bukan hanya saya juga warga lain mulai menebang bambu itu karena tidak laku lagi dan mengganggu tanaman kami yang ada sebelumnya,” kata Mateus.
Soal kayu cacahan buat bahan bakar mesin, Rupiella Samonganrimau paling kecewa.
"Ada 10 ton kayu yang saya cincang bersama suami tidak laku, kini sudah membusuk dan sebagian hanyut, kami benar-benar rugi akibat listrik biomassa bambu ini (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Bambu), rugi tenaga, waktu dan uang,” kata Rupiella Samonganrimau, salah seorang warga Dusun Silabok Abak, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah, Kabupaten Kepulauan Mentawai kepada MentawaiKita.com, Jumat (2/12/2022).
Mesin PLTBm di Desa Saliguma yang terbengkalai. (Foto: Gerson/MentawaiKita)
Ibu rumah tangga berusia 40 tahun ini menumpahkan kekesalannya sebab pendapatan yang diharapkan dari menjual kayu yang telah dicincang kepada pihak Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Bambu (PLTBm) sirna karena pihak pengelola tidak mau membeli kayu yang telah diolah masyarakat sebab pembangkit berhenti beroperasi pada 2020 dengan menggunakan bambu atau kayu. Alasannya sederhana, mesin rusak sehingga bahan bakar yang awalnya menggunakan bambu diganti dengan solar.
Pada awal PLTBm beroperasi pada 2019 kayu yang mereka cencang masih dibeli dengan harga Rp700 per kilogram. Sekitar dua bulan berjalan mulailah kayu yang diolah warga tidak dibeli lagi. Sementara listrik PLTBm yang beroperasi di Desa Saliguma tidak menyala dengan lancar.
“Terkadang saat hidup selama 2 jam, tiba-tiba listrik mati, kemudian beberapa jam kemudian menyala kembali begitu seterusnya, listrik yang kami harapkan menyala dengan normal tidak kami nikmati,” ujar Rupiella.
Menurut Kepala Dusun Silabok Abak, Muksin Sakorokoinan, pengelolaan listrik sangat mengecewakan sebab sering mati dan menyala tidak teratur. “Banyak peralatan elektronik kami rusak seperti penanak nasi, televisi dan lainnya,” ujarnya.
Direktur Perusahaan Daerah Mentawai, Erik Saurei yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Unit PLTBm Bambu Siberut mengatakan, ada masa 4 bulan barang tidak disentuh usai dibangun pada tahun 2018, selama itu kemudian Bappenas turun tangan.
Setelah Bappenas mengambil ahli baru mulai dioperasikan. “Kami melihat listrik mulai dinikmati dengan bahan bakar bambu kecuali di Saliguma mereka tidak pakai bambu sebab jarak tanaman bambu dengan pusat pembangkit sangat jauh,” kata Erik kepada MentawaiKita.com, Selasa (5/12/2022).
Akhir 2018 pembangkit menyala berbahan baku bambu dan kayu. Solar pasti dibeli karena hidupnya hanya 6 jam sehari, dari jam 6 sore sampai jam 12 malam.
“Kita maunya 24 jam sebab dari segi biaya cukup murah sebab saat memanaskan mesin pembangkit itu butuh BBM yang cukup banyak. Solar harus kita datangkan hanya untuk menghidupkan, butuh 100 liter pemancing pertama. Setelah gas keluar dari bambu dari hasil pemanasan keluar baru mesin otomatis mesin solar mati,” ujarnya.
Direktur Perusda Mentawai, Erik Saurei. (Foto: Gerson/MentawaiKita)
Untuk menghidupkan mesin ini, Pemda Mentawai dibebani mengoperasikan
mesin ini sehingga Pemda harus menganggarkan uang subsidi untuk mengoperasikan
3 pembangkit ini, bukan penyertaan modal. Pembangkit ini milik Bappenas
diserahkan kepada Pemda Mentawai untuk dikelola.
“Namun ketika itu Pemda Mentawai tidak dapat mengelola secara langsung pembangkit ini, mereka harus mencari pihak lain untuk mengelola alat ini maka ditunjuklah perusahaan daerah untuk melakukan hal itu,” jelasnya.
Dana subsidi itu hanya operasional yakni membeli bahan baku, gaji karyawan dan menyalakan mesin tidak termasuk biaya perawatan. Erik mengatakan ketika ada bagian mesin yang rusak, menggantinya tidak gampang karena mesinnya dari India dan itu mahal. Masalah kedua anggaran untuk mengganti sparepart itu tidak ada, karyawan yang bekerja belum mampu melakukan penggantian sparepart ketika mesin mengalami gangguan harus mendatangkan orang luar yang butuh biaya.
Akhirnya yang terjadi adalah ketika satu mesin rusak sebagian alatnya diambil untuk memperbaiki mesin lain, begitu seterusnya hingga seluruh mesin berhenti total.
Tahun 2022 pemda tidak memiliki anggaran sehinga tidak mau memberi subsidi sementara PLTBm tidak memiliki dana mengoperasikan mesin.
“Tanggal 4 Januari 2022 saya buat surat pengunduran diri mengembalikan wewenang ke pemda,” kata Erik.
Setelah pembicaraan dengan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM) soal listrik, Erik kemudian dikontak oleh PLN Sumbar untuk membahas persoalan kelanjutan lintrik bagi masyarakat.
Pemda Mentawai yang saat itu dihadiri Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabeleake bersama Erik Saurei sepekat dengan dengan general manajer PLN Sumbar untuk melanjutkan layanan listrik.
PLN datang dengan mesin sendiri dan menjalankan namun statusnya sementara karena aset masih milik pemda mentawai. Aset itu dicatat di Dinas Pperindag Mentawai, wewenang kami hanya mengoperasikan.