SIPORA--Beberapa perempuan sedang berendam di Sungai Goisooinan,
Sipora Utara, Kepulauan Mentawai. Mereka akan memanen toek
(Bactronophorus sp), moluska dari kelas bibalvia yang hidup di dalam potongan
batang kayu pohon tumung yang direndam di sungai yang berair payau. Seorang di antaranya
mengangkat potongan batang tumung yang terapung dan terikat tali itu.
Di atas batu sungai, batang kayu yang telah menjadi sarang toek
itu mereka kampak hingga terbelah. Di dalamnya menggeliat-geliat moluska
seperti cacing berwarna putih dan bening. Toek telah menjadikan kayu itu
sebagai liang sarangnya. Panjang toek 10 hingga 30 cm. Di ujung ekornya
ada cangkang seperti cangkang kerang berwarna putih dan berukuran kecil.
Para perempuan itu bekerja dengan cepat mengeluarkan toek
dari sarangnya satu persatu dan menaruhnya di wadah plastik, siap dijual.
Peminat toek kebanyakan langsung datang ke sungai, bahkan banyak yang
ikut berendam dalam sungai mengambil toek dari sarangnya dan langsung
memakan toek segar. Satu potong kayu sarang toek itu harganya
Rp150 ribu hingga Rp200 ribu.
Dian Novita yang membudidayakan toek (Foto: Febrianti)
Dian Novita, 30 tahun, salah seorang perempuan yang
membudidayakan toek itu mengatakan setiap keluarga di Desa Goisooinan
memiliki batang kayu sarang toek di sungai. “Selain untuk kebutuhan
sendiri, ini juga untuk tambahan ekonomi bagi perempuan Mentawai di sini,
karena yang mengurus toek ini perempuan,” ujarnya.
Laki-laki hanya menolong mengambil batang pohonnya di hutan
dan menggulingkannya ke tepi sungai. Selebihnya untuk membuat rumah toek
dikerjakan perempuan.
Sekali panen toek, dari sebatang pohon Dian bisa
mendapat Rp1,5 juta.
Warga sedang panen toek dan kayu tumung di belakang mereka ditanam dipinggir sungai. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Perempuan di Pulau Sipora, terutama di perkampungan yang
dekat dengan laut, secara turun-temurun memiliki keterampilan membudidayakan
toek.
Pohon yang dipotong-potong sepanjang 50 cm itu terlebih dulu
dijemur selama dua minggu. Setelah masing-masing diikat dengan tali yang
dipakukan, lalu direndam di dalam sungai yang tenang. Selama enam bulan
direndam maka toek akan bersarang di dalamnya. Pohon yang biasa digunakan untuk
toek adalah pohon tumung (Arthrophyloum diversifollium) dan pohon bakbak
(Campnosperma auriculata).
“Tapi yang paling enak dan harum itu toek di dalam
pohon bakbak,“ kata Dian.
Batang kayu tumung yang sedang dijemur sebelum direndam. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Pengambilan pohon untuk toek juga tidak bisa
sembarangan. Saat musim buah tiba, pohon tumung di dalam hutan tidak boleh
ditebang.
“Karena buah-buahan yang sedang mulai berbuah dan berbunga
itu akan rontok, jadi selama musim buah tidak bisa mengambil pohon tumung di
hutan,” katanya.
Di hutan masyarakat biasanya punya banyak pohon buah seperti
durian, toktuk (durian hutan), rambutan, duku, kuini, dan manggis. Musim
buah datang setiap dua tahun.
Pohon yang paling banyak dijadikan sarang toek adalah
pohon tumung, karena lebih banyak di hutan. Agar pohon tumung tidak cepat
habis, para perempuan mulai menanamnya di pinggir sungai.
“Bibitnya dari biji yang tumbuh di sekitar pohon tumung di
hutan, kami tanam di tepi sungai agar dekat mengambilnya, tidak perlu lagi ke
hutan, tumung ini tumbuhnya juga cepat, lima tahun sudah bisa digunakan untuk
sarang toek,” kata Dian.
Kayu tumung direndam untuk menghasilkan toek. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Di Pulau Sipora toek adalah makanan yang sangat
popular dan unik. Banyak orang berburu toek di sungai Goisooinan maupun
Sungai Saurenuk. Jenis makanan tradisional masyarakat adat Mentawai di Saurenuk
dan Goisooinan itu, kini makin banyak penggemarnya.
“Yang paling mencemaskan kami kalau sungai ini banjir, toeknya
tidak putih lagi, tapi warnanya berubah menjadi kotor dan merah, itu tidak bisa
dijual,” katanya.
Dian menceritakan saat ini banjir lebih sering terjadi.
Hujan satu hari saja menyebabkan sungai Goisooinan banjir yang datang dari hulu
di SP 3 Tuapeijat.
“Ini yang kami takutkan, apalagi toek ini menjadi
sumber ekonomi perempuan di Gosooinan,” ujarnya.
Kayu tumung yang sudah berisi toek. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)
Desa Goisooinan dan Saurenuk menjadi pusat penjualan toek
di Pulau Sipora. Sebab kedua desa memiliki sungai dan anak sungai yang dekat
dengan muara di laut, tempat hidup toek yang paling ideal. Kayu tumung
yang diikat dan dilintangkan memenuhi sungai, terlihat seperti jembatan apung
dari balok kayu.
Namun saat ini hutan di hulu kedua sungai yang berada di Desa
SP3 Tuapejat ditebang melalui izin Hutan Hak Akses oleh pemiliknya, Aser
Sababalat dan Jasa Simangilailai.
Kepala Desa Saurenuk Tirjelius Taikatubutoinan mengatakan
semua pohon-pohon di hulu sungai Saurenuk dan Goisoinan yang berada di daerah
SP3 sudah banyak ditebang untuk pembukaan jalan keperluan loging tersebut.
“Dampaknya, sungai di Saurenuk dan Goisooinan menjadi keruh
karena hulu sungainya sudah rusak akibat penebangan, pengaruhnya pada toek,
isinya tidak bagus, lokan juga banyak yang busuk, padahal itu sumber pendapatan
kaum perempuan di sini,” katanya.
Menurut Tirje, saat ini setiap kali hujan sungai menjadi
banjir dan keruh, akibat bercampur tanah yang hanyut dari hulu.
“Banjirnya beda, sekarang keruh karena sedimen tanah, toek
terganggu, lokan banyak busuk, dan air bersih kami juga terganggu, sebab sungai
itu sumber kehidupan,” kata Tirje.
Indra Junaidi, dosen Biologi Laut dari Universitas Andalas
menjelaskan toek hidup dari memakan kayu tempat hidupnya. Toek
juga sangat bergantung pada perairan yang bersih agar bisa tumbuh dengan baik.
“Kalau ada penebangan di hulu sungai sangat berpengaruh
terhadap toek, bisa saja bibit toek yang ada di perairan juga
tidak bisa tumbuh karena sedimentasi di perairan itu,” katanya.
Jika sedimentasi tinggi, tambahnya, cahaya matahari juga
tidak bisa masuk ke perairan yang menyebabkan toek tidak bisa tumbuh dan
reproduksinya juga akan terganggu.
Tulisan ini kolaborasi Rus Akbar (jurnalis Mentawaikita.com) dengan Febrianti (jurnalis Tempo)
Diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan
Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center