SILABU-Kehadiran perusahaan kayu di Mentawai kerap kali mengundang konflik
antar masyarakat bahkan sesama klan atau ulayat karena kepemilikan tanah yang
umumnya komunal. Tak jarang dalam satu klan bisa muncul pertikaian bahkan
permusuhan.
Konflik inilah yang
sekarang sedang dialami Rita Warti (53), seorang guru yang tinggal di Sikakap.
Kini dia harus berselisih dengan adik kandung dan saudara sepupunya karena tak
sepakat mengizinkan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai menebang kayu di hutan
milik klannya di Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai.
Rita sejak awal menolak tanahnya
dikelola Koperasi yang mendapatkan izin membuka kebun tanaman minyak atsiri
seluas 1.500 hektar di Silabu. Untuk
membuka kebun, Koperasi mendapatkan izin pemanfaatan kayu non kehutanan dari
Dinas Kehutanan Sumatera Barat pada 2021. Pohon-pohon ditebang dan kayunya dijual
keluar Mentawai. Masyarakat pemilik kayu hanya mendapat penggantian Rp25 ribu
per kubik.
“Saat ini di Mentawai sudah minim kayu,
sementara kita hidup harus memikirkan berkelanjutan, saya berharap
kayu ini akan diolah anak cucu kita untuk rumahnya dan bisa dijual, bisa
untuk sekolahkan anak-anak kita, mereka punya ilmu bagaimana mereka
olah kayu nantinya,” kata Rita
membeberkan alasannya menolak kepada
Mentawaikita.com, Kamis (10/3/2022)
Rita merasa kayu-kayu itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang dan papan keluarga misal material membangun rumah, sampan, perabot bahkan peti mati. Selain itu dia juga khawatir pembukaan hutan akan berdampak buruk pada lingkungan sekitar Silabu seperti banjir atau ketersediaan air bersih.
Warga yang menolak PKKNK memasang palang di lokasi Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. (Foto: Meyer Rubeyan)
Di awal Koperasi melakukan sosialisi di Silabu pada
2019, Rita dan adiknya Viktor Luan menolak menyerahkan lahan namun
belakangan adik kandungnya diam-diam menyetujui koperasi tersebut bersama
saudara sepupunya, Surya
Darma Sakerebau (60). Bahkan satu
unit motor bebek diperoleh Surya Darma dari koperasi.
“Sebenarnya ada dua motor, satu itu untuk saudara
Surya Darma satu untuk saya, itu sebagai ganti kebun kelapa saya di Polimo mau
digusur untuk jalan menuju logpond (dermaga), tapi karena saya tolak dan tidak
mau kelapa saya digusur makanya motor diberikan kepada saudara saya yang lain,”
katanya.
Rita masih ingat pada 27 Juli 2019,
bersama adiknya
Rina Rista dan Viktor
Luan ke Tak Irik, Silabu
melihat kondisi tanah mereka yang akan dijadikan kebun perusahaan. Saat itu banyak kayu-kayu yang sudah diberi label oleh tim survei Koperasi, bahkan menurutnya kayu-kayu kecil yang tidak
layak diproduksi juga dilabel.
Saat
berada di lokasi, Rita didatangi Surya Darma. Mereka sempat beradu argumen soal penyerahan lahan ke Koperasi. Sehari
setelahnya, Rita mendapat panggilan dari
keponakannya untuk ikut rapat Koperasi.
“Selama rapat sosialisasi yang didapat hanya kejengkelan saja karena banyak
janji dan selama rapat bertolak belakang dengan pemikiran saya,” katanya.
Menurut Rita, mengutip pernyataan pihak Koperasi, anggota koperasi yang tidak memiliki tanah di lokasi izin perkebunan akan mendapatkan sumbangan lahan dari anggota yang memiliki tanah. Pembagian akan dilakukan setelah proses land clearing atau penebangan kayu selesai. “Selama rapat memang seperti
promo dengan iming-iming untuk
kesejahteraan,” ujarnya.
“Bahkan abang saya sendiri Surya Darma marah karena dia tidak puas apa yang saya katakan, namun dilerai
bapak-bapak lain yang ikut rapat. Kemudian ketika saya sambung pembicaraan saya, datang lagi Surya Darma, dia tidak mau saya bicara
saat rapat,” katanya.
Surya
Darma Sakerebau (60),
membenarkan telah
menerima sepeda motor dari Koperasi. “Ada
dua sepeda motor
diterima saat ini, sama
abang saya Sarmen di Tuapeijat, sebenarnya itu buat Bu Rita, karena
menolak akhirnya satu unit diberikan kepada abang saya,” ujarnya.
Pemberian
kendaraan tersebut lantaran kebun kelapanya akan ditebang sebanyak 16 batang
untuk jalan logpond kalau sudah beroperasi perusahaan. “Karena tidak
setuju adik kita, maka kita serahkan motor itu sama abang kita, sebab jalur
dialihkan ke kebun abang tidak lagi lewat kebun adik kita,” ujarnya.
Surya
Darma mengaku meski sudah menjadi
anggota koperasi, bahkan termasuk salah
satu pendiri namun sebenarnya tak ada
penyerahan lahan ke koperasi, yang ada itu lahan dikelola koperasi. “Dulu
kita memang menyerahkan KTP tapi bukan untuk persetujuan penyerahan lahan, (KTP) itu
hanya untuk kebutuhan
administrasi anggota koperasi. Kalau koperasi rencananya akan
memberikan modal untuk membangun kebun tanaman atsiri namun tidak tahu
jumlahnya,” katanya.
Menurut dia, luas tanah sukunya ada sekira 50 hektar, bekas garapan perusahaan kayu juga tempo dulu.
Lokasi sengketa antara Estranus dan Meyer. (Foto: Rus/Mentawaikita.com) |
Konflik juga dialami Meyer
Rumbeyan (26), warga Desa Silabu yang bertikai dengan bajaknya (paman)
gara-gara tidak sepakat soal pemberian izin penggunaan lahan untuk areal
perkebunan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai.
Meyer menolak tanah milik
kaumnya dikelola Koperasi apalagi di atasnya ada pohon-pohon besar, sementara Estranus Siritoitet yang merupakan kakak dari bapak Meyer menyetujui penebangan kayu di
lahan mereka.
Meyer mengaku menolak
karena tak setuju hutan milik kaumnya ditebang dan diambil kayunya. Apalagi
koperasi menghargai kayu dengan harga sangat murah. “Harga kayu koperasi tidak sesuai dengan diharapkan pihak kaum, kami tidak
mau lahan kami harga kayu dipakai satu kubik Rp35 ribu per kubik dikasih
kepemilikan kayu dan itu pun tidak begitu, malah hanya diterima bersih Rp25 ribu per kubik kayu, Rp10 ribu itu
dipakai untuk fasilitas umum, seperti perbaikan gereja,” katanya kepada Mentawaikita.com, Rabu (9/3/2022).
Meyer yang lantang menolak sejak awal Koperasi
masuk bahkan sempat memasang palang di hutan milik kaumnya agar tidak dimasuki
koperasi, namun ternyata dia mendapati pohon sudah ditebang dan palang sudah
dibuka.
Setelah ditelusuri Meyer, ternyata alat berat
Koperasi berani masuk ke areal tanah mereka dengan seizin pamannya. Padahal
menurut Meyer, keluarganya tak setuju. “Kalau keluarga kami kan tidak mau karena si bajak yang dituakan. Kami sempat usulkan supaya ada pertemuan tapi karena si bajak, sehingga kami tidak bertemu,” ujarnya.
Selain tak sepakat soal harga kayu yang
dibeli Koperasi, Meyer lebih ingin kayu di hutan sukunya dimanfaatkan untuk
kepentingan memenuhi sandang dan papan keluarga, misal material membuat rumah
atau perabot maupun untuk sampan. “Kami tidak mau mencari kayu yang jauh makanya kami
ngotot supaya lahan ini jangan ada penumbangan (kayu) lagi,” ujarnya.
Sebenarnya menurut Meyer, banyak juga warga
yang tak mau menyerahkan lahannya ke koperasi namun karena diiming-iming dapat
pekerjaan dan motor, akhirnya banyak yang bersedia. “Kami dari generasi
muda tidak mau dibodohi, ada pelanggaran yang mereka (koperasi) lakukan,
dikasih harga per kubik murah, itu pun mereka menebang tanpa sepengetahuan
kami,” ujarnya.
Lokasi yang dibabat perusahaan itu, kata Meyer, tempat menanam cengkeh dan jengkol sebagai tanaman ekonomis yang menghasilkan.
Sementara Estranus Siritoitet (66), paman Meyer yang tinggal di Dusun Maguirik, Desa Silabu mengaku kesal keponakannya menolak Koperasi. “Ekeu lepoi
sikebbukat kawan ruruk akek kai saamam sangamberimai, lulut ekeu lepoi ukkuimai
(Karena kamu yang dituakan ayolah kamu kumpulkan kami semua, karena kamulah
bapak kami),” gerutu Estranus.
Estranus menambahkan, jika Meyer dan
keluarganya masih tak setuju, maka lahannya dibagi saja. Sementara di lahan
yang berkonflik tersebut sudah banyak balok-balok kayu yang ditumpuk, kemudian
bagian ujung balok tersebut dicat warna putuh dengan huruf ES singkatan
Estranus. “Di lokasi ini sudah tidak tahu lagi berapa batang yang sudah
ditebang,” ujarnya.
Estranus mengklaim untuk level Meyer tidak perlu didengarkan karena dia
masih anak-anak, kesepakatan untuk menebang kayu di lokasi mereka itu adalah
kesepakatan bersama dengan ayah Mayer. “Jadi kalau anak-anak tidak ada artinya
karena statusnya masih anak-anak. Karena kesepakatan kami dengan berdua dengan
adik saya,” ujarnya.
Sejauh ini, Estranus mengaku sudah menerima Rp10
juta dari Koperasi. Uang itu pinjaman, yang diajukan pada 2021 sebesar Rp300
juta, namun hanya cair Rp10 juta pada Januari lalu.
“Jadi uang Rp10 juta itu kami bagi dua, saya Rp5 juta dan adik saya Rp5
juta. Kalau sama keluarga Meyer kami tidak tahu, mereka bilang belum dibagi, kalau sama kami setelah
dibagi-bagi dapat Rp300 ribu,” katanya.
Sampai saat ini Estranus dengan keluarga Meyer yang tinggal di Silabu jarang berkomunikasi karena
lahan yang digarap koperasi tidak kesepakatan bersama. “Saya pernah tanya bapak
Meyer, dia hanya diam saja tidak ada jawaban, kami tidak tahu, anak-anaknya
yang menolak sehingga kami seperti diam saja. Sampai ada pikiran saya kalau
seperti ini kita bagi saja lahan ini biarlah kami yang setuju menebang kayu,
kalau yang tidak setuju itu ada lahannya yang belum ditebang,” kata Estranus.
Hal yang sama dialami oleh Waris Sakerebau (53), salah satu pemilik lahan di dekat Pantai Polimo yang bersempadan dengan lahan dengan Estranus. Sampai 9 Maret 2022 memang belum ada penebangan
di lahannya namun Pantai Polimo dijadikan sebagai dermaga logpond
tidak ada pemberitahuan kepadanya.
“Kayu di lahan saya tidak ditebang, lahan saya di Polimo, sempadan dengan di Mangaungau, itu milik kaum belum setuju, kaum kami
banyak keturunan nenek moyang Pomanyang termasuk logpond tidak ada mereka minta izin, saya sendiri tidak tahu. Karang juga sudah
diambil tempat kami memancing, rencana koperasi di samping pantai itu mau di
dam tapi tidak jadi,” ujarnya.
Waris mengakui pernah ikut rapat sosialisasi sekira tahun 2018 dan 2019
namun tahunnya persisnya sudah lupa dia. Sosialisasi koperasi tersebut
dilakukan di kantor Koperasi di Sibabai, Desa Sikakap, namun setelah itu Waris tidak
mengikuti lagi sosialisasi selanjutnya.
“Awalnya kami dipanggil rapat mau mendirikan koperasi, awalnya kami
setuju dan telah membuat lubang tanam untuk serai di belakang rumah, ada 1.000 lubang disiapkan dan bibitnya dijanjikan akan diberikan Koperasi, namun setelah
lubang digali ternyata bibit serai itu tak ada datang sampai sekarang, tahu-tahunya sudah jadi izin menebang pohon,” ujarnya.
Waris mengakui ada anggota sukunya yang
setuju menyerahkan kayu ke Koperasi tanpa pembicaraan,
namun sebagian lagi tidak menyetujui. “Kami setuju soal misi koperasi awalnya
dengan cara membuat kebun atsiri di ladang warga, tapi setelah kami ketahui rencana berubah (menebang kayu) tentu kami menolak,” katanya.
Waris tegas menolak karena kayu-kayu di lahannya untuk masa depan
anak-anaknya. “Kalau kami habiskan kayu ini dimana lagi kami cari kayu untuk
rumah, sampan kami untuk melaut,” ujarnya.
Sementara Ketua Koperasi Minyak Atsiri
Mentawai, Edison Saleleubaja tak menampik ada masyarakat yang
menolak lahannya dikelola, namun dia mengaku sudah memiliki jalan keluar. “Kita
keluarkan saja mereka dari keanggotaan koperasi dan lahannya juga tidak akan
digarap,” kata Edison saat ditemui di kediamannya di Sikakap, Jumat
(11/02/2022).
Edison yakin, kebun tanaman minyak atsiri ini dapat menyejahterakan masyarakat Silabu, yang kebanyakan hidup dalam kemiskinan. ”Makanya saya katakan orang Mentawai akan berhasil walaupun sulit berpisah dengan kemalasan, ada obatnya. Kalau rajin semua orang Mentawai mungkin nggak ada yang miskin, semua punya kebun kan,” ungkapnya.
Kebun itu, jelas Edison, akan ditanam lima
macam tanaman minyak atsiri. Tak hanya serai wangi saja namun juga ada
kayu-kayuan dari Papua dan Srilanka. “Untuk mengantisipasi jika harga satu
komoditas turun maka masih ada jenis lain yang bisa dijual,” katanya.
Namun untuk membuat kebun itu, Koperasi tak punya
modal. Edison butuh Rp34 miliar dan uang itu diambil dari hasil penjualan kayu-kayu
yang ditebang di lahan masyarakat yang masuk wilayah kelola Koperasi. “Itu saja
juga masih belum cukup,” katanya.
Karena itu menurutnya, meski hasil penjualan
kayu ke perusahaan Rp135 ribu per kubik, namun yang diserahkan ke masyarakat
pemilik kayu hanya Rp25 ribu per kubik, sisanya Rp100 ribu diambil Koperasi
untuk modal kebun dan Rp10.000 untuk membangun fasilitas umum.
Sebelum mendapatkan izin penebangan kayu dari
Dinas Kehutanan Sumbar, Koperasi telah mendapatkan Izin Lingkungan untuk
perkebunan tanaman minyak atsiri seluas 1.500 hektar dari Bupati Mentawai Yudas
Sabaggalet pada 24 Juli 2019.
Dia juga membantah Koperasi akan mencaplok
tanah masyarakat. Koperasi hanya menggarap tanah masyarakat namun ke depan
tanah-tanah tersebut akan disertifikatkan atas nama pemiliknya. “Agar pemilik sertifikatnya nanti bisa menggadaikan ke bank,” katanya.
Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan
atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center