Muunjuik, Akhir Masa Berkabung di Sikabaluan

Muunjuik Akhir Masa Berkabung di Sikabaluan Mateus Siribere melapas anak panah dalam upacara adat muunjuik di Sikabaluan, Siberut Utara, Mentawai. (Foto: Bambang/Mentawaikita.com)

SIKABALUAN-Dari tali busur yang ditarik Mateus Siribere, anak panah meluncur jauh ke arah hutan. Anak panah yang bermata soirat, mata anak panah yang berbentuk runcing dilepas pada acara adat muunjuik. Muunjuik merupakan akhir masa berkabung di Dusun Nangnang Desa Muara Sikabaluan Kecamatan Siberut Utara, Mentawai.

Muunjuik di Sikabaluan dilakukan bila dalam anggota keluarga ada yang meninggal dunia. Bila dalam anggota keluarga ada yang meninggal maka aktifitas berat anggota keluarga seperti membangun rumah, membuat sampan, membuka ladang serta masuk ke dalam hutan belum boleh dilakukan hingga sampai pada acara muunjuik.

"Bila pantangan itu dilanggar maka anggota keluarga ada yang kena dampaknya. Misalnya jatuh sakit, terluka atau dampak lainnya," kata Yosia Sikaraja (45), salah seorang anggota Uma Sikaraja pada Mentawaikita.com, Rabu (6/10/2021).

Upacara adat muunjuik diawali kegiatan mencuci pakaian orang yang telah meninggal di sungai atau telaga, dilanjutkan melepaskan salah satu anak panah bila orang yang meninggal seorang laki-laki dewasa.

"Bila dia seorang perempuan maka rambak (tangguk) diceburkan ke sungai untuk membersihkannya dari jiwa orang yang meninggal,” katanya.

Dijelaskan Yosia, arti dari melepas anak panah, mencuci pakaian dan lainnya yang berkaitan dengan peralatan dan pakaian orang yang meninggal untuk melepaskan jiwa orang yang meninggal pada pakaian dan peralatan yang dimiliki sehingga ketika dipakai oleh orang yang masih hidup tidak menjadi masalah.

"Artinya anggota keluarga yang memakai sudah merasa aman," katanya.

Setelah acara pencucian pakaian dan peralatan orang meninggal dilanjutkan dengan acara mandi bersama semua anggota suku di sungai atau di danau tempat dilakukannya pencucian pakaian orang meninggal. Ini bertujuan untuk membersihkan diri dan melepaskan diri dari anggota keluarga yang meninggal.

"Ini juga sebagai bentuk penyucian diri dimana seseorang itu seperti terlahir kembali dan tidak lagi ada dendam dan masalah antara satu orang dengan orang lain terutama didalam anggota suku itu sendiri," kata Sutanto Hilarius, katekis Katolik di Sikabaluan.

Sehabis mencuci dan mandi dilanjutkan dengan makan dan minum daging serta air kelapa secara bersama. Buah kelapa yang muda dibuka untuk ditampung airnya. Kemudian daging kelapanya dikupas dan dipotong kecil-kecil yang jumlah potongannya disesuaikan dengan anggota keluarga yang meninggal.

Air dan daging kelapa yang dimasukkan dalam wadah diletakkan di tengah-tengah dengan dikelilingi semua anggota suku. Setelah ketua atau sikembukan uma mengucapkan sukat semua anggota suku mengambil air kelapa dan mengambil daging untuk diminum dan dimakan.

Ini mengartikan kalau air kelapa adalah darah orang yang membunuh keluarga mereka yang meninggal sementara daging buah kelapa diibaratkan sebagai tubuh orang yang membunuh anggota keluarga uma yang meninggal.

Dulu, di Mentawai pembunuhan antar suku kerap terjadi termasuk persoalan dalam anggota suku. Bila ada anggota suku yang dibunuh karena sesuatu hal maka suku tersebut akan membalas dengan membunuh anggota keluarga orang tersebut.

"Makanya sekarang diibaratkan dalam buah kelapa," kata Merei Sagurung (58), salah seorang anggota uma Sagurung.

Dikatakan Merei, dulunya untuk pergi muunjuik hanya kaum laki-laki dewasa. Dan mereka berangkat untuk mencuci pakaian dan peralatan orang yang meninggal di daerah yang jauh dan tidak diketahui orang. Mereka mencuci dan menjemur pakai orang meninggal hingga kering dan membawanya pulang.

"Karena sekarang sudah tidak sama dengan dulu sehingga semua anggota suku dilibatkan dalam acara muunjuik mulai dari anak-anak hingga orangtua," katanya. 

BACA JUGA