Politik Bonapartisme: Dibalik Wacana Sumatera Barat Sebagai Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau

Dr. Rijel Samaloisa

Dr. Rijel Samaloisa ( Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD “APMD”) Yogyakarta )


Politik Bonapartisme  Dibalik Wacana Sumatera Barat Sebagai Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau Mahasiswa sedang melakukan aksi di Kantor Gubernur Sumatera Barat. (Foto: Rus Akbar/Mentawaikita.com)

Wacana tentang Sumatera Barat menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau yang digagas oleh politisi di Senayan yang berasal dari Sumatera Barat perlu dilihat dari dua aspek yakni arkeologi dan geneologi (Michel Foucault, 1976) : pertama dari sudut arkeologi (kesejarahan) Minangkabau yang menganut budaya matrilineal dengan segala aspek yang ada di dalamnya. Bahwa di Indonesia, bicara tentang budaya matrilineal, Minangkabau menjadi salah satu contoh yang dijadikan sebagai sumber referensinya. 

Lalu yang kedua adalah geneologi: gagasan dan ide yang disampaikan ke publik tentang keistimewaan Sumatera Barat memiliki variabel-variabel;, tentunya tidak hanya sekedar faktor sejarah (arkeologinya) namun dibalik ide atau gagassan tersebut ada variabel yang ditumpangkan, terlebih yang mewacanakannya adalah para politisi atau elit partai politik yang memiliki kepentingan yang tersembunyi dibalik gagasan tersebut.

Wacana ini sangat erat kaitannya dengan kepentingan pragmatis para elit politik untuk memperoleh dukungan politik dari bawah (grass root) untuk meraih kekuasaan yang berkaitan dengan Pemilihan Legislatif (Pileg) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres)  yang menurut Gramsci disebut politik Bonapartisme. Bisa jadi ide ini akan mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan memanfaatkan sentimen primordial yang sangat kental ketika berhadapan dengan Pemerintahan Jokowi saat ini.

Pernyataan Puan Maharani (Ketua DPR RI) yang menyebutkan  semoga Sumatera Barat mendukung Negara Pancasila (Jawa Pos, 2020), mendapatkan reaksi keras di kalangan elit politik dan tokoh masyarakat di Sumatera Barat. Hal ini menjadi salah satu contoh kasus yang terjadi seputar dinamika perpolitikan yang terjadi di Sumatera Barat. Maka berangkat dari kasus tersebut, para politisi mencoba mengusung ide tentang Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau dengan memanfaatkan sentimen primordial di kalangan masyarakat bawah untuk mencapai tujuan politik para elit partai tersebut.

Selanjutnya, bila ide ini berhasil diperjuangkan, selain untuk merebut  dan memperoleh kekuasaan, juga sangat erat kaitannya dengan politik anggaran (distribusi anggaran pusat ke daerah). Sebagaimana Yogyakarta sebagai sebuah daerah Istimewa, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperoleh dana keistimewaan berdasarkan UU Keistimewaan, yang dikucurkan dari pemerintah pusat untuk menjadi haknya DIY selain dana Perimbangan lainnya.

Namun terlepas adanya kepentingan dibalik gagasan keistimewaan tersebut, bila dilihat dari sudut pandang demokrasi, gagasan tersebut menurut hemat saya merupakan sebuah kemunduran. Bagaimana tidak, Indonesia memiliki banyak tokoh nasional yang sebagian besar berasal dari Sumatera Barat, Moh. Hatta sebagai salah seorang founding father Indonesia, M. Yamin, Soetan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya, mereka tidak berfikir untuk menjadikan Sumatera Barat sebagai Daerah Istimewa sebagaimana DIY dan Aceh. Faktor kesejarahan dan keunggulan budaya yang dimiliki Minangkabau,  bagi mereka tidak serta merta menjadikan Sumatera Barat sebagai daerah istimewa yang menghadirkan eksluvisme di kalangan masyarakat dan elitnya. Justru sejarah dan keunggulan budayanya tersebut dihimpun menjadi kekuatan untuk membangun Indonesia.

Bagaimana dengan Mentawai bila dihubungkan dengan ide para politisi untuk  menjadikan Sumatera Barat sebagai Propinsi Daerah Istimewa Minangkabau. Menurut hemat saya, ini salah satu upaya politik hegemoni (Gramsci, 1971) yang diusung elit politik Sumatera Barat melalui gagasan keistimewaan. Bagi orang Mentawai, ide tersebut sama persis dengan proses awal pembuatan Perda No. 9 tahun 2000, tentang Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, sebagai bentuk pemerintahan terendah pengganti desa di Sumatera Barat,  di mana Mentawai termasuk di dalamnya. Walau pada akhirnya Perda tersebut tidak berlaku untuk Kepulauan Mentawai, karena muncul penolakan dan perlawanan dari orang Mentawai atas kebijakan tersebut sebagai salah satu bentuk counter hegemoni  orang Mentawai kepada Propinsi Sumatera Barat.

Gagasan menjadikan Sumatera Barat sebagai Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau, merupakan sebuah bentuk gagasan sempit, ekslusivisme dan anti demokrasi dari para elit politik (partai politik) untuk kepentingan kekuasaan semata. Sumatera Barat sudah besar dan memiliki keunggulan budayanya serta sudah tidak ternilai kontribusinya bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka, yang menjadikan Sumatera Barat dan Minangkabau menjadi ISTIMEWA di perpolitikan Indonesia karena torehan sejarah emas untuk Indonesia.  Sumatera Barat memiliki kebanggaan sebagai sebuah daerah inklusif dengan segala budaya dan adat istiadatnya yang tetap bertahan hingga saat ini. Gagasan untuk menjadikan Sumatera Barat sebagai Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau adalah bentuk hegemoni kekuasaan para elit politik. Oleh karena itu masyarakat perlu menyikapinya secara cerdas dan kritis sebagai bentuk counter hegemoni atas hegemoni elit politik.

BACA JUGA