Tulisan ini dibuat untuk Keisa Luvianti Aritonang (KL) Korban Kekerasan Seksual Perkosaan yang Meninggal Dunia karena Depresi
Duka mendalam dialami Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 28 Juli 2019, setelah korban kekerasan seksual perkosaan bernama Keisa Luvianti Aritonang alias KL (14) – berdasarkan surat baptis yang dikeluarkan april 2019, meninggal dunia diduga karena depresi setelah korban diperkosa oleh salah seorang oknum pemuka agama di Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Penulis sengaja menuliskan nama terang korban agar kasus ini menjadi terang benderang dan diusut tuntas oleh Aparant Penegak Hukum, karena alasan-alasan untuk menyembunyikan identitas korban seperti betrayal, traumatic sexualization, powerlessness, stigmatization, reviktimisasi dan victim blaiming sudah hapus karena korban sudah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
KL pertama kali diadopsi oleh RP (46) – (tersangka kasus pemerkosaan terhadap KL pada Januari 2020), dari salah satu panti asuhan yang diduga beralamat di Jln. Tanah Boroyo, belakang tangsi, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang untuk merawat ibunda pelaku di Mentawai.
Dalam hal nama pelaku penulis tidak menuliskan nama jelas karena berdasarkan, Pasal 82 Ayat 5 UU Perlindungan Anak “pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku”, maka dalam pasal ini yang dimaknai pidana adalah keputusan hakim, maka ke depan apabila kasus ini diputus, maka hakim harus mengumumkan identitas korban secara terang benderang sesuai amanat UU Perlindungan Anak, hal ini akan penulis jelaskan dalam sub bab tulisan ini, pemberatan sanksi pidana pelaku kekerasan seksual pemerkosaan.
Pelaku RP diduga telah memperkosa KL berkali-kali di rumahnya dari Januari hingga Mei 2020. Kasus ini kemudian terungkap karena ada masyarakat di Sioban, Sipora Selatan yang mengetahui informasi dari korban, korban juga pernah bercerita kepada seorang bidan. Informasi itu terus tersebar dari sang bidan.
Lalu pada 10 Juni KL diduga depresi karena tekanan-tekanan yang ia hadapi dan memutuskan meminum racun roundup jenis Intoksikasi glisophate lalu dilarikan ke RSUD Mentawai, hingga akhirnya pada 28 Juni 2020 Korban KL akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Saat ini Polres Mentawai yang menangani kasus ini menjerat tersangka RP dengan UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah oleh UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 dan telah ditetapkan sebagai UU dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak.
Pemberatan Sanksi Pidana
Secara hukum Indonesia, kita tidak pernah mengenal adanya istilah kekerasan seksual dalam semua peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP hanya mengenal perbuatan yang lebih spesifik seperti perbuatan cabul dan pemerkosaan.
Sementara apabila kita merujuk kepada UU Perlindungan Anak kita mengenal istilah kekerasan terhadap anak dan pemerkosaan termasuk kejahatan terhadap anak yang diatur secara khusus hukumannya dalam UU Perlindungan Anak, perkosaan terhadap anak termasuk kerjahatan yang diancam dengan sanksi-sanki pidana pemberat.
Dalam UU Perlindungan Anak, bentuk perbuatan perkosaan yang dilarang lebih luas dari KUHP dengan sanksi yang jauh lebih berat dari sebelumnya dan perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban.
Khusus untuk kasus KL, analisis penulis pelaku RP hanya dijerat dangan pidana pokok dalam Pasal 81 Ayat (1) UU Perlindungan Anak, yaitu jika korbannya perkosaan adalah anak maka pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Padahal kalau kita merujuk kepada UU perlindungan anak pasca tiga kali perubahan, Pasal 81 ayat (1) UU perlindungan anak tidaklah berdiri sendiri, namun ada sanksi-sanksi pemberat yang turut diatur dan seharusnya dapat disangkakan kepada Tersangka RP yang ditahan oleh kepolisian, penulis membahas satu persatu alasan pemberat sanksi pidana yang dapat disangkakan kepada palaku RP.
Pertama Pasal 81 Ayat (3) UU Perlindungan Anak menjelaskan : pemerkosaan anak dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama. Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 81 Ayat (1).
Apabila merujuk kepada kronologis korban yang merupakan hasil adopsi RP dari salah satu panti asuhan, maka seharunya RP termasuk wali yang sah secara hukum dan memenuhi unsur pasal ini dengan pemberatana pidana sepertiga dari ancaman hukuman maksimal pasal pokoknya.
Kedua Pasal 81 Ayat (6) UU Perlindungan Anak menjelaskan : pemerkosaan terhadap anak selain dikenai pidana pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Maka dengan dasar ini pelaku RP layak untuk diumumkan identitasnya kepada publik apabila sudah mendapatkan keputusan yang ingkrah dari hakim di pengadilan.
Ketiga Pasal 81 Ayat (7) UU Perlindungan Anak menjelaskan : terhadap pelaku yang merupakan orang terdekat korban seperti dijelaskan Pasal 81 Ayat (3) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Keempat Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak menjelaskan : Dalam hal tindak pidana pemerkosaan anak menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal ini yang menjadi kunci saat ini kita dapat menilai apakah aparat penegak hukum serius menangani kasus yang menjerat KL hingga menyebabkan KL harus meninggal dunia, yakni pelaku pemerkosaan terhadap anak yang menyebabkan korban meninggal dunia dapat disangkakan/dituntut dengan hukuman maksimal seumur hidup.
Pertanyaannya saat ini apakah aparat penegak hukum (saat ini kasus masih di kepolisian resor Mentawai) akan mencari hubangan kausalitas (sebab akibat) dan mencarikan bukti-bukti pendukung, apakah korban meninggal memang karena disebabkan oleh kasus pemerkosaan yang dia alami. apabila iya, maka seharusnya RP dapat dihukum dengan hukuman maksimal yakni seumur hidup.
*Surya Purnama, penulis saat ini bekerja sebagai Legal Officer di Yayasan Citra Mandiri Mentawai, penulis juga tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan untuk advokasi kasus-kasus Kekerasan Seksual.