Sekitar awal Mei 2020 Mentawai dihebohkan oleh kasus “AN” seorang oknum kepala desa Mentawai yang diduga melakukan pencabulan kepada Bunga (16 tahun), salah seorang pelajar kelas I di salah satu SMP di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kasus ini pertama kali menjadi perhatian publik pasca pemberitaan Mentawaikita.com pada 5 Mei 2020, Bunga (nama samaran) saat itu didampingi pamannya melaporkan oknum kepala desa atas nama “AN” kepada kepolisian sekitar (Polsek) Sikabaluan.
Polsek Sikabaluan menjelasakan berdasarkan keterangan dari Bunga selaku korban, kejadian dugaan pencabulan ini terjadi pada 14 April 2020 dimana terduga mengajak korban ke sebuah pondok dan mempertontonkan video yang diduga bermuatan porno dan mencoba melampiaskan nafsunya pada korban, namun karena ada perlawanan yang dilakukan oleh Bunga kepada oknum AN sehingga pasca mempertontonkan video tersebut pelampiasan nafsu AN tidak terlaksana.
Informasi terakhir yang beredar, kasus ini akhirnya ditangani oleh Kepolisian Resor (Polres) Kabupaten Kepulauan Mentawai di Tuapejat. Polres sudah menetapkan status tersangka kepada AN pada 15 Mei 2020 dengan dugaan melanggar Undang-Undang No. 4 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), dan saat ini AN tidak ditahan, karena meminta penangguhan penahanan atas statusnya sebagai tersangka.
Lalu apa kabarkah kasus yang dialami Bunga saat ini? Maka melalui tulisan ini kita akan mengingat-ngingat kembali kasus yang dialami oleh Bunga dan mungkin dialami oleh banyak anak-anak dibawah umur yang mengalami hal yang sama dengan Bunga.
Apakah Tindakan AN Kepada Bunga Dapat Dikategorikan Kekerasan Terhadap Anak?
Istilah pelecehan seksual memang tidak pernah dikenal dalam semua peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul.
Istilah perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293).
Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo (hal. 212), istilah perbuatan cabul dijelaskan “sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.
Pasal 290 KUHP menyatakan: Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun
1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Sementara itu, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment (pelecehan seksual) diartikan sebagai unwelcome attention (perhatian yang tidak diinginkan) (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments" (pengenaan tuntutan seksual yang tidak dikehendaki atau penciptaan lingkungan ofensif seksual).
Berdasarkan 2 pengertian di atas, seharusnya perbuatan cabul dapat dikategorikan sama dengan perbuatan pelecehan seksual dan termasuk dalam ranah kekerasan.
Komnas Perempuan pernah mengeluarkan modul berjudul “15 Bentuk Kekerasan Seksual” dalam modul tersebut Komnas Perempuan menjelaskan bahwa pencabulan/pelecehan seksual termasuk dalam bentuk kekerasan seksual, maka apabila dilakukan kepada anak termasuk kekerasan terhadap anak dan melanggar UU Perlindungan Anak.
Tentu tindakan yang diduga mencoba melampiaskan nafsu AN kepada Bunga dapat dikategorikan pencabulan/pelecehan seksual yang termasuk dalam kekerasan seksual yang dilakukan kepada Bunga (16 tahun) yang notabenenya adalah anak di bawah umur.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”) menjelaskan : “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” Pasal 76D UU Perlindungan Anak.
Apabila ada yang melanggar Pasal 81 UU Perlindungan menyatakan “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Kasus Bunga, berdasarkan kronologis kejadian bahwa ada tindakan dimana terduga mengajak korban ke sebuah pondok dan mempertontonkan video yang diduga bermuatan porno dan mencoba melampiaskan nafsunya pada korban, namun karena ada perlawanan yang dilakukan oleh Bunga kepada oknum AN sehingga pasca mempertontonkan video tersebut pelampiasan nafsu AN tidak terlaksana.
Maka berdasarkan analisis dengan premis-premis di atas maka seharusnya AN seharusnya ditetapkan sebagai tersangka dengan melanggar UU Perlindungan Anak, bukan dengan UU Pornografi, kalaupun memang ada UU Pornografi yang dilanggar maka seharusnya kedua UU tersebut ditujukan kepada AN sebagai tersangka.
Mengenal Hak-Hak Bunga Sebagai Korban
Sebagai korban kekerasan Bunga dalam penanganan kasus pencabulan/kekerasan seksual terhadap anak memiliki hak-hak yang harusnya dikenal oleh berbagai pihak. Sebelumnya kita tentu harus mengenal dulu apa yang dimaksud korban berdasarkan Peraturan Perundang - Undangan.
Pengertian korban seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan bahwa “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Korban suatu tindak pidana (kejahatan) seringkali dibuat kecewa oleh praktik-praktik penyelenggaraan hukum yang lebih condong memperhatikan dan bahkan melindungi hak-hak asasi tersangka, sedangkan hak-hak asasi korban lebih banyak diabaikan
Sementara untuk pelapor dilindungi oleh Pasal 22 UU Perlindungan Saksi dan Korban “Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”
Beberapa bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak sebagai korban sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang terdapat pada Pasal 64 ayat (3), bahwa anak sebagai korban mendapatkan:
a. Rehabilitasi baik dalam lembaga maupun luar lembaga.
b. Upaya perlindungan dan pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi.
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial.
d. Pemberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Pasal 64 UU Perlindungan Anak, Perlindungan Khusus bagi Anak menurut yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
b. Pemisahan dari orang dewasa.
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.
d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional.
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya.
f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup.
g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
h. Pemberian keadilan di muka Pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.
i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
j. Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak.
k. Pemberian advokasi sosial.
l. Pemberian kehidupan pribadi.
m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas.
n. Pemberian pendidikan.
o. Pemberian pelayanan kesehatan. dan
p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.