Pangarita, Menjadi Sikerei Untuk Mengobati Orang Banyak

Pangarita Menjadi Sikerei Untuk Mengobati Orang Banyak Yohannes Pangarita Siritoitet, seorang sikerei yang sedang melakukan ritual (Foto : Hendrikus/MentawaiKita.com)

Yohannes Pangarita Siritoitet, pria kelahiran Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 21 Agustus 1958 telah menjadi sikerei sejak 1985.

Sikerei dalam kehidupan orang Mentawai merupakan orang yang memiliki kemampuan khusus melakukan pengobatan dan berkomunikasi dengan roh dalam rangka pengobatan orang sakit.

Pertama kali diangkat menjadi sikerei, Yohannes Pangarita Siritoitet masih berdomisili di Madobag bersama keluarganya. Kini ia telah menetap di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan.

Sejak kecil Pangarita telah memiliki niat menjadi sikerei, dulu hal itu merupakan tuntutan untuk meneruskan generasi sikerei di Mentawai. Pangarita menyebutkan tak mudah menjadi sikerei, ia mesti melalui proses upacara panjang belum lagi biaya yang banyak. Sikerei di Mentawai merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan walaupun saat ini keberadaannya mulai terkikis dengan perubahan zaman.

Selain melanjutkan generasi sikerei, tujuan Pangarita menjadi sikerei ingin menyembuhkan orang sakit. Konsep penyakit sendiri dalam masyarakat tradisional Mentawai disebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jasmani (tubu) dan rohani atau jiwa (simagere) seseorang oleh sebab itu dalam setiap upacara penyembuhan tidak hanya jasmani yang diobati tetapi juga rohani disembuhkan.

Menurut dia, tak seluruh jenis penyakit yang dapat diobati oleh medis di Mentawai seperti penyakit yang berhubungan dengan dunia roh seperti kisei. Jika sudah menyangkut dengan hal gaib maka sikerei yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan roh mengambil peran penyembuhan.

Media yang digunakan oleh Pangarita saat mengobati orang sakit berupa daun-daun khusus yang digabungkan dengan perapalan mantra yang diyakni memberi khasiat penyembuhan.

Sikerei, kata Pangarita tak ubahnya dengan petugas kesehatan, kalau ada pasien pada malam hari atau dini hari yang butuh pertolongan segera maka dirinya akan datang karena menjadi sebuah tanggungjawab moral memberikan pengobatan.

“Jika kami sikerei tidak pergi mengobati pasien maka sikerei juga akan mengalami penyakit atau sakit karena membatalkan tidak mengobati kecuali sakit atau ada kendala lain,” kata Pangarita kepada MentawaiKita.com, Kamis (11/7/2019).

Tanggung jawab sikerei kata dia tak sekadar sebagai ‘dokter’ di Mentawai namun juga menjadi pemimpin ritual dalam uma saat ia menjabat sebagai sikebbukat uma.

“Semua apapun yang dilakukan di uma harus restu dari sikebbukat uma atau sikerei dan setiap perjalanan pesta dan aktivitas lainnya di hutan apa pantangan dan pantangan itulah yang harus disampaikan kepada anggota suku agar tidak terjadi sesuatu dan nasihat itu pun juga akan sampai kepada anak cucu mereka nanti,” ujarnya.

Meski fungsi dan tugas utama sikerei sebagai penyembuh orang sakit namun dirinya tak diberi imbalan oleh pasien maupun keluarga pasien. Paling dalam upacara penyembuhan, sikerei mendapat daging khusus yang terbaik menjadi santapan saat ritual itu. Ia juga mendapat otcai (pembagian) berupa daging babi maupun ayam seperti yang didapat keluarga dalam uma (suku) si sakit.

“Kalau untuk uang, sikerei seperti saya belum pernah dikasih namun itu tergantung keluarga pasien,” ucapnya.

Pangarita mengatakan, dirinya tak berani mematok tarif seperti dokter atau ahli pengobatan lain untuk melakukan ritual sebab pantang bagi ilmu sikerei. Tarif hanya dipatok jika melakukan ritual khusus. Namun ia menolak menyebutkan jenis ritual tersebut.

Dalam sebulan jasa pengobatan Yohannes Pangarita Siritoitet digunakan oleh warga sekitar sebanyak dua kali. Warga yang butuh pertolongan Pangarita terkadang datang pada malam, ada juga yang pagi hari.

Ia mengaku tak semua yang dia obati sembuh, namun dalam banyak kasus telah banyak orang yang tertolong berkat kelihaiannya meramu obat. Intinya, jika penyakit yang diduga tepat obatnya maka sipasien pasti akan sembuh.

Permintaan pengobatan biasanya berasal dari daerah Madobag, Matotonan, Rogdok, Muntei, Muara Siberut dan Maileppet. Ketika mengobati orang semua peralatan sikerei akan dibawa, tempat peralatan sikerei itu dinamakan baklu (tas terbuat dari pelepah sagu) semua ada di dalamnya seperti jejeneng (lonceng), luat (ikat kepala), lekkau (ikat lengan), singenget yang tidak bisa dimasukkan tokgro/kabit (cawat sikerei di Mentawai yang terbuat dari kulit baiko) karena langsung dipakai.

Sepulang melakukan ritual pengobatan, Pangarita dan istrinya tak boleh bekerja di ladang. Tidak boleh berhubungan suami istri. Aktivitas pribadi tersebut baru dapat dilakukan setelah daun yang digunakan untuk pengobatan oleh sikerei layu. Kemudian kunyit yang dioleskan di tangan dan beberapa pada bagian tubuh sikerei saat mengobati orang sakit hilang dengan sendirinya. Hal itu biasanya memakan waktu 2 hari.

“Kalau belum layu dan kunyit belum hilang, itu belum bisa bekerja keluar dan bekerja,” jelasnya.

Ia mengaku kesulitan yang sering dialami dirinya maupun sikerei lain yakni mendapatkan daun-daun obat seperti mumunen, pelekak dan daun lainnya. Daun itu harus dicari jauh ke dalam hutan yang berjarak sekitar 2-3 kilometer dari perkampungannya di Muntei. Di sekitar kampung sudah mulai jarang karena aktivitas perladangan masyarakat. Tumbuhan yang terdekat berupa aileleppet, simakkainak dan daun surak (puring) karena biasa ditanam di pekarangan rumah.

Oleh sebab itu, menurut Yohannes Pangarita Siritoitet hutan sangat penting bagi mereka sebagai apotek hidup. Maka untuk itu, dirinya beserta anggota sukunya menolak kehadiran Hutan Tanaman Energi (THE) yang dibuka oleh PT. Biomass Andalan Energi (BAE) di hutan Siberut.

Menurut Yohannes Pangarita Siritoitet, dirinya memiliki hak menolak kehadiran HTE sebab mereka miliki tanah suku seluas 100 hektar di Sua, Desa Saibi, Kecamatan Siberut Tengah lokasi izin HTE PT. BAE

“Kami Siritoitet atau Sagouk gouk, HTE  tidak kami bolehkan kehidupan orang Mentawai semua di hutan, di hutan ada buluat, daun pelekak, dan daun lainnya, di sana tanahnya masih kosong belum ada tanaman masyarakat, informasi akan dimasukkan HTE di tanah kami sebelumnya belum dikasih tahu yang jelas apapun bentuknya kami tidak suka,” tegasnya.


BACA JUGA