Hukum Sungai dan Laut Orang Mentawai

Hukum Sungai dan Laut Orang Mentawai Sungai Mentawai

Sungai (bat oinan) bagi orang Mentawai berperan penting dalam kehidupan mereka, baik dalam hal pelintasan (lalu lintas) maupun sumber hidup berupa mencari ikan dan sebagai tempat melakukan kegiatan ritual adatnya.

Sebelum zaman kemerdekaan, atau sebelum Mentawai terintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, hampir seluruh kampung-kampung di Mentawai terletak di pinggir sungai dari hulu sampai ke hilir.

Sungai itu menjadi jalur transportasi utama yang menghubungkan kampung (pulaggajat) dengan kampung lain. Kampung tersebut dihuni oleh beberapa suku atau uma. Sungai juga menghubungkan kampung yang terletak di hulu dengan laut.

Tiap sungai yang melingkupi sebuah kampung telah memiliki kepemilikan yang diklaim atas dasar uma. Uma di sini bermakna sebagai persekutuan hukum oleh orang-orang yang terikat hubungan kekeluargaan berdasarkan garis keturunan ayah atau patrilineal.

Sungai ini juga berfungsi sebagai batas teritorial kekuasaan antara satu uma dengan uma lain yang membatasi kepemilikan sebuah wilayah tanah, lembah dan bukit. Dahulu sangat jarang ditemukan dua perkampungan di sepanjang sungai

Jika dalam satu kampung (pulaggajat) terdapat beberapa sungai, sedangkan hanya satu kampung saja yang dalam teritorium kampung itu, maka sungai itu dikuasai oleh masing-masing uma yang pertama kali menemukan sungai tersebut atau dikenal dengan Sibakkat Laggai. Sibakkat Laggai ini adalah klan yang menjadi penemu atau penguasa sungai itu pertama kali sebelum uma lain masuk ke dalam daerah tersebut.

Meski penguasa atau hak milik sungai itu oleh Sibakkat laggai namun orang sekampung bebas mempergunakan sungai tersebut sebagai jalur lalu lintas tanpa dipungut pajak maupun mengambil air untuk minum atau mandi.

Dalam buku Mentawai (1979: 88-89), pakar hukum adat Herman Sihombing menuliskan  bagi orang bukan sekampung yang tapi memiliki pertalian keluarga atau kenalan dengan kampung lainnya dalam hal melewati sungai itu sebagai jalan (sampan) adalah bebas, tidak ada larangan apa-apa tapi menangkap ikan atau mengambil hasil air sungai tidak diperkenankan, kalau tidak mendapat izin dari Simabajak laggai. Simabajak laggai diterjemahkan Sihombing sebagai sinonim dengan Sibakkat laggai.

Sungai tersebut tulis Sihombing, tidak diperkenankan dilalui kampung lain untuk tujuan peperangan dengan kampung lain. Jika itu terjadi maka kampung yang mengizinkan tadi dianggap telah bersekutu memihak kepada orang kampung yang diperkenankan.

Sungai menurut orang Mentawai adalah termasuk suci bagi mereka, lebih-lebih waktu Orang Mentawai masih menganut kepercayaan tradisional (sabulungan), setiap anak yang baru lahir diharuskan mandi di sungai.

Aturan yang masih hidup di kalangan Orang Mentawai berupa larangan keras membuang buang air kecil maupun besar ke dalam sungai dan sangat pantang mengotori sungai.

Sebagai penghormatannya, pada umumnya rumah-rumah mereka harus menghadap ke sungai untuk menghormat penghuni dan kesucian sungai. Akan tetapi telah ada penyimpangan dari peraturan ini seperti yang dikemukakan oleh Reimar Schefold dalam bukunya Mainan Bagi Roh (1991:51)

Menurut Schefold,  uma orang Sakuddei terletak sejajar dengan sungai Kuddei (anak Sungai Gulubbe’) yang di tempat itu mengalir ke arah selatan, sedangkan jalan masuk sebelah ke depannya menghadap ke utara. Letak demikian itu disebabkan karena keadaan medan dan tidak merupakan ketentuan : di Siberut, uma dapat menghadap ke mana saja, sehingga posisi boleh saja sejajar atau dapat juga tegak lurus terhadap batang sungai.

Sungai juga pada zaman dahulu berfungsi sebagai penanda atau seseorang atau sejenis pengenal alamat antara satu uma dengan uma lain. Pengenalan uma dan lembah tempat tinggal itu untuk menghindari terjadinya pengayauan dengan sekutu yang tinggal satu lembah pada zaman sebelum masa penjajahan.

Terlepas dalam hukum laut yang berlaku di Indonesia, orang Mentawai telah memiliki aturan sendiri terkait teritori laut. 

Laut di sepanjang teritorial daratan sepanjang sungai masih nampak berbekas pada air laut adalah termasuk daerah kampung dan dikuasai oleh Sibakkat laggai  atau sebuah uma atau klan. 

Semua orang kampung leluasa untuk melintasinya namun umumnya terlarang untuk mengambil ikan dan hasil lainnya tanpa izin dari kampung yang menguasai laut yang bersangkutan. Jika terjadi pelanggaran akan hal itu, maka sipelaku akan diberi sanksi oleh Sibakkat laggai dengan menuntut pembayaran beberapa benda atau barang atau dikenal dengan tulou.

BACA JUGA