SIKABALUAN- Tingginya angka kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, di Kepulauan Mentawai menjadi latar belakang pelatihan yang diadakan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), kepada kelompok perempuan, pemuda, dan tokoh masyarakat dari Desa Muntei dan Desa Malancan di Gedung Serba Guna milik Balai Taman Nasional Siberut Wilayah II di Dusun Pokai, Desa Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara, 27-29 Mei 2024.
Program Manager Sipaumat YCMM, Tarida Hernawati mengatakan, tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan hukum, kepada para peserta sehingga mereka dapat membantu penyelesaian masalah hukum di komunitasnya. “Harapannya agar para peserta dapat melakukan pembelaan dan pendampingan korban kekerasan seksual,” katanya.
Tarida menambahkan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, paralegal adalah orang yang terlatih dan memiliki pengetahuan serta keterampilan di bidang hukum. “Meskipun bukan profesional di bidang hukum, paralegal memainkan peran penting dalam menjangkau akses keadilan, terutama di daerah pedesaan dan terpencil seperti Kepulauan Mentawai,” terangnya.
Tarida mengakui, di wilayah ini, kelompok marginal seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas sering menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Pelatihan paralegal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta dalam memahami mekanisme hukum penanganan kasus dan pendampingan korban kekerasan seksual. “Mereka juga diharapkan mampu mendorong dan mengawal penanganan kasus oleh aparat penegak hukum, serta mengajak seluruh unsur masyarakat untuk mencegah tindak kekerasan seksual,” katanya.
Sekretaris Desa Malancan, Ardi Sakela'asak, juga menyampaikan harapannya kepada peserta, khususnya dari Desa Malancan, untuk mengikuti pelatihan ini dengan serius. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap peningkatan kasus kekerasan seksual di desanya, dengan tujuh kasus yang dilaporkan pada tahun 2023. “Penanganan kasus-kasus ini umumnya hanya diselesaikan secara hukum adat, tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan belum mampu memberi perlindungan serta pemulihan bagi korban.” Katanya.
Pelatihan ini menghadirkan Feni Mardian dari Women Crisis Centre (WCC) Nurani Perempuan dan Dechtree Ranti dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sebagai trainer. Mereka menekankan pentingnya menciptakan "ruang aman" bagi perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Dalam pelatihan ini, peserta diajarkan berbagai materi yang bertujuan untuk memperkuat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang kekerasan berbasis gender dan peran paralegal dalam pendampingan korban. Pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta yang sebagian besar berasal dari kelompok perempuan dan pemuda.
Palentinus, seorang peserta dari Desa Muntei yang mewakili kelompok Karang Taruna, menyatakan dirinya sering terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual melalui peradilan adat, namun ingin mendorong penanganan kasus ke proses hukum formal. “Saya sangat senang bisa mengikuti pelatihan ini, kita mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang proses hukum formal.
Dian, pemudi dari Desa Malancan, mengungkapkan proses penanganan kasus kekerasan seksual di desanya sering melemahkan korban karena stigma negatif dari masyarakat. Pelaku kekerasan, sebaliknya, seringkali bebas dan diterima dengan baik oleh masyarakat, selama mereka bisa membayar denda adat.