Majan Siritoitet seorang kerei (tabib) di Dusun Marui Baga, Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai yang sedang melakukan eeruk uma (ritual pembersihan uma). Bunyi gajeumak (gendang dari batang ruyung dan kulit ulat piton dan biawak) diikuti oleh hentakan kaki di papan uma menjadi sebuah irama khas tarian Mentawai yang dikenal dengan turuk.
Ada sembilan Sikerei ikut muturuk termasuk pemilik uma, bajak Majan atau sebutan untuk paman ikut menari dengan memakai atribut-atribut ritual Sikerei, bersama tiga penabuh gajeumak. Tiba-tiba seorang perempuan yang sudah berumur bergerak-gerak sambil duduk mengikuti irama, kemudian berdiri ikut memegang bambu yang sudah diisi oleh daun-daun sebagai pembersih roh-roh yang penyebab penyakit. Namun tiba-tiba tubuhnya menggigil dan meronta-ronta, kemudian datanglah Majan Siritoitet memercikkan air dalam bambu dan seketika ibu yang sudah kesurupan tersebut sadar dan langsung ikut muturuk.
Baca juga:
Matotonan Negeri Peramu Obat Tradisional
Ritual ini masih berjalan di Matotonan meski semua warganya telah menganut agama resmi pemerintah. Dari data penduduk Matotonan, pemeluk Islam ada 1.118 jiwa dan Katolik 291 jiwa namun kepercayaan warisan leluhur masyarakat setempat terhadap alam dan lingkungan tempat tinggal mereka masih dianut dan dijalankan seperti ritual pengobatan, perkawinan, serta norma-norma adat.
Salah satu masjid terbesar di Matotonan.
Menurut Herman Sihombing dalam bukunya “Mentawai”, yang diperkuat oleh Maskota Delfi, seorang antropolog, kepercayaan yang masih dianut adalah Arat Sabulungan. Arat disebut dengan agama, seperti arat Katolik, arat Islam, arat Protestan, tapi arat sendiri bisa juga diartikan adat. Sedangkan Sabulungan berasal dari kata bulug yang berarti daun. Adapun penambahan awalan (sa) dan akhiran (an) itu menunjukkan suatu keadaan yang berarti sekumpulan. Sabulungan berarti kumpulan daun-daunan atau tumbuh-tumbuhan yang sering digunakan dalam praktik-praktik ritual mereka.
Sementara Juniator Tulius, antropolog asal Mentawai dalam bukunya “Komunitas Adat Nusantara, Mitigasi Tradisional dan Epistemologi Lokal dalam Menghadapi Wabah: Kasus dari Komunitas Adat Mentawai” Sabulungan berasal dari dua kata sa, bentuk plural dari satu kesatuan, dan bulungan mengacu sebuah kekuatan dan buluat atau persembahan kata sabulangan sendiri merujuk kepada kumpulan roh sehingga tradisi sabulungan mengandung unsur keyakinan akan roh-roh yang dihormati dengan berbagai ritual persembahan. Buluat itu mengandung unsur-unsur daun-daun yang dipakai sebagai persembahan.
Gereja Katolik Santo Lukas di Matotonan
Karena itu meski sudah menganut agama resmi, masyarakatnya masih mempraktikkan ritual tersebut. Hal itu menurut Majan karena umumnya warga Matotonan masih mempercayai Sabulungan sehingga jika ada ritual yang tidak dilakukan atau pantangan yang dilanggar maka akan berdampak kepada uma atau anggota umanya (klan) misalnya saja sakit. “Kalau tidak kami bersihkan (lia eeruk) uma ini, kami bisa sakit, karena masih ada roh-roh (roh tumbuhan) dalam uma ini, mereka harus dilepaskan,” tuturnya.
Hal itu juga diperkuat Ali Umran, Kepala Desa Matotonan. Dia mengakui bahwa ada kekuatan lain di alam ini, meski awalnya kurang percaya, namun pada saat ritual meninggal ayahnya, Ali roh aneh yang membuat dia tidak sadarkan diri. “Awalnya kita tidak percaya tapi pada saat ritual meninggalnya ayah saya, saya tiba-tiba tidak sadarkan diri seperti dibawa roh. Untung saat itu saya dikerubungi atau dilindungi keluarga saya sehingga saya tidak ikut terbawa,” ujarnya.
Kilabo Siritoitet (53) warga Matotonan yang juga kerei, mengatakan, sabulungan adalah nama lain Pagetasabbau sebagai pemberi kerek (kesaktian) kepada kerei, nama lain dari Pagetasabbau adalah ukkui sibara katibbalet. Itu dinyanyikan dalam bahasa halus Seperti yang mantra kerei dalam ritual eeruk. Kawat-kawat sabulungan ale tagalai pameruk…Ukkui sibara ka tibbalet, kap te kutetekak kabaraijat pameruk mai kerei, sinukat akenen. (mari-marilah sabulungan (pagetabbau) kita mau mengerjakan pengobatan/perbaikan…Bapak dari Tibbalet, kalian yang kami sapa, asal dari pengobatan/perbaikan kami kerei, yang telah diurapi).
Turuk laggai saat ritual eeruk uma di Matotonan
Dalam Arat Sabulungan, memakai daun sebagai wadah untuk mengobati dan membersihkan roh yang memberikan penyakit sesuai dengan petunjuk Pagetasabbau. Seperti lagu mantra Sikerei saat memarut daun-daun untuk ritual pamorot (memijit yang sakit dan anggota klan), itu disampaikan dengan nyanyian kerei dalam usur nyanyian itu memantrai beberapa daun-daun sebagai obat-obatan.
“Kawa-kawat
sabulungan anai kerei kabeita anai tagalai pameruk, kawat sabulungan kerek op
kabeita tagalai pameruk, pameruk mai kerei, doroi kai siklu lai, siklu bagi,
bailek simakisei nganga katubbut eruket, eruket mai kerei, ekeu dorot ba’ba’,
roro ba’ba’ oi baite roro, katubut eruket, ekeu dorot sibaubau, baubau oi
baite, katubut eneuteuw nu tuei ekerei kawat.kawat.kawat,” kata Kilabok
Siritoitet (53) seorang Kerei, saat wawancara 23 Maret 2023.
(Marilah Sabulungan, ada kesaktian di tangan kita, kita mau membuat pembersihan, marilah Sabulungan mari kita bersama-sama memperbaiki, membersihkan diri kami, kamu daun ba’ba’ darimu pembersihan, kamu daun sibaubau pada mu kami mengalirkan kerei).
Keselarasan dengan dunia tersebut mencakup keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, makhluk hidup (flora dan fauna), benda-benda mati, peristiwa-peristiwa alam serta hubungan manusia dengan roh-roh yang gaib. Arat sebagai aturan-aturan yang berasal dari nenek moyang dianggap aturan yang sangat penting dalam kehidupan orang Mentawai, terutama bagi mereka yang masih terikat dalam kehidupan komunal uma. Arat juga dianggap sebagai warisan yang suci dan menjadi norma bagi kehidupan manusia secara pribadi, dalam keluarga dan juga uma (klan) dan karenanya Arat tersebut bagi orang Mentawai adalah keselarasan dengan dunia dan pemersatu dengan uma.
Dalam sabulungan mempercayai adanya penguasa alam, dimana penguasa alam tersebut mengatur semua yang ada, penguasa alam tersebut dinamakan kamanua tinggal di angkasa memberi cahaya kepada manusia, memberikan hujan, memberikan cuaca yang baik dan buruk bagi manusia. Taikabaga atau penguasa isi perut bumi yang memberikan gempa dan kesuburan tanah. Taikabakat koat penguasa laut, hewan dan tumbuhan di laut termasuk lautnya. Roh penguasa hutan disebut juga Taikaleleu, penguasa pohon Tai katengan loinak. Taikabagat oinan/sikamenan menghuni, kemudian ada roh manusia yang sudah meninggal yang disebut saukkui/sakalimeu.
Pakaian adat perempuan istri sikerei saat lia eeruk uma di Matotonan.
Dunia lain yang disebut itu sama dengan dunia yang manusia tempati saat ini serta melakukan aktivitas seperti manusia. Pada prinsipnya Arat Sabulungan merupakan suatu sistem pengetahuan, nilai, norma, dan aturan hidup yang dipegang kuat oleh masyarakat Mentawai dalam memahami serta menginterpretasi lingkungan yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola interaksi manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara dan juga benda-benda hasil buatan manusia. Maka pengelolaan terhadap lingkungan alam seperti hutan, sungai dan lahan harus mendapat izin roh-roh penghuni alam tersebut.
Namun ada roh lain di luar kelompok, roh tersebut tidak berwujud dia hanya digambarkan dalam bentuk cahaya roh tersebut disebut dengan Ulaumanua, roh ini memiliki kekuatan menghidupkan dan mematikan. Ulaumanua elemen yang memiliki kekuatan besar, tidak berbentuk namun ada, tidak kelihatan namun dirasakan seperti udara, hawa panas, atau dingin atau energi yang bercahaya atau kegelapan yang berkekuatan. Dalam agama Katolik sering menyebut Tuhan itu adalah Ulaumanua, karena menurut masyarakat Siberut kalau memakai ukkui sebagai penyebutan terhadap Tuhan kurang tepat, karena ukkui dapat artinya roh orang yang sudah mati.
Roh-roh tersebut kembali dibagi lagi, bagi hewan, tumbuhan dan benda-benda yang ada dialam ini disebut dengan kina. Sementara roh manusia itu ada dua, roh fisik dinamakan simagre, rohnya simagre adalah ketcat. “Simagre sering keluar dari tubuh manusia, jika keluar dari roh tubuh manusia maka fisiknya akan sakit, yang harus dilakukan adalah Siagai Laggek dan Sikerei akan memanggil simagre tersebut untuk kembali fisik. Kalau fisik manusia itu meninggal maka simagre itu akan ikut meninggal, sementara roh simagre sendiri tidak akan mati dia akan terbang ke alam,” kata Ubbek Kerei (71), Sikerei Matotonan.
Ketcat juga akan dibagi ke dalam dua bagian, ketcat simaeru’ adalah jiwa yang meninggal karena sakit dan dipercayai memberikan hal yang baik seperti ramuan obat. “Tapi ketcat sikatai’, adalah jiwa yang mati tidak wajar, seperti mati karena dibunuh, atau berkelahi, bunuh diri, kecelakaan dan lain-lain,” kata Bekla Kerei (74).
Untuk mati yang tidak wajar itu biasanya masyarakat menguburkan mereka bukan di tempat umum tapi ada khusus kuburan mereka yang jauh dari pemukiman dan kuburan umum. “Ini dilakukan agat ketcat mereka tidak mengganggu orang hidup. Di lokasi kejadian harus diadakan pasibitbit (membersihkan), agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” tambah Bekla.
Penguburan bayi meninggal di Matotonan
Dengan dipercayai adanya ada roh setiap elemen di alam ini berarti ada kekuatan supranatural yang bisa menimbulkan paparan radiasi pada manusia, kekuatan supranatural tersebut sering disebut bajou. Agar tidak terjadi paparan radiasi di situlah letak arat sabulangan membuat sebuah aturan-aturan bagi manusia untuk menjaga hubungan manusia dan roh yang ditengahi oleh Sikerei. Kendati ada norma yang mengatur dalam arat sabulungan tetapi akan terjadi konflik atau terpapar bajou, meski masyarakat berhati-hati dalam sebuah aktivitas, seperti membuka perladangan, menebang pohon untuk bangunan, serta aktivitas lain yang berhubungan dengan alam. Atau pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan juga bisa terjadi konfrontasi dengan bajou.
Agar antara bajou dan manusia berjalan selaras, maka masyarakat Mentawai selalu melakukan upacara. Tujuan dari upacara ini dilakukan adalah untuk mendamaikan kembali antara dunia nyata dan dunia supranatural. Apabila antara dunia nyata dan dunia supranatural tidak berjalan selaras, bisa mencelakai kehidupan kelompok atau uma maupun diri sendiri dan kadang kala menyebabkan penyakit. Oleh sebab itu masyarakat Mentawai selalu melakukan upacara di dalam setiap kegiatannya tujuannya untuk menghormati semua makhluk yang ada di lingkungan mereka.
Seorang kerei sedang memanggil simagre yang sakit di sungai.
Agar tidak terjadi paparan bajou yang menyebabkan kisei (penyakit) tersebut tidak selalu terjadi atau yang sudah terjadi, sikerei (tabib) memiliki peran penting untuk menyelaraskan roh alam dengan manusia, bahkan bisa melakukan negosiasi, membeli bahkan mengusir bajou-bajou yang terpapar manusia. Sikerei sendiri bisa melakukan komunikasi dengan roh alam yang bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Namun ada juga orang biasa mengobati yang sakit akibat paparan bajou dengan kadar paparan menurut masyarakat. masih tergolong kecil itu bisa diobati masyarakat umum, biasanya orang tersebut dinamakan dengan siagai laggek.
Selain
menggunakan praktik ritual untuk pengobatan, masyarakat Matotonan juga masih
menggunakan obat-obatan tradisional dari tumbuhan. Pada proses pengolahan
tumbuh- tumbuhan yang dilakukan juga masih tergolong sederhana seperti
ditumbuk, diparut, direbus, digosok ke tubuh dan dimakan mentah. Hal tersebut
sejalan dengan dalam tulisan Tulius (2000) bahwa pengobatan yang dilakukan oleh
masyarakat Mentawai masih banyak memanfaatkan tumbuh–tumbuhan sebagai obat
tradisional untuk menyembuhkan orang sakit. Sehingga pengobatan yang dilakukan
penyembuh bergantung pada pemanfaatan tumbuh – tumbuhan yang ada di sekitar
mereka.
Referensi:
Herman
Sihombing. Mentawai. (Jakarta: Pradnya paramita, 1989)
Stefano
Coronese. Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta: Grafidian Jaya 1986)
Ermayanti.
Fungsi Kerei Dalam Kehidupan Masyarakat Mentawai.
Maskota
Delfi, Sipusisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan Penganut Islam Mentawai di
Siberut dalam Jurnal Al- Ulum Volume. 12, Nomor 1, Juni 2012
Juniator
Tulius, Komunitas Adat Nusantara, Mitigasi Tradisional dan Epistemologi Lokal
dalam Menghadapi Wabah: Kasus dari Komunitas Adat Mentawai.
Reimar
Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai (Jakarta, Balai Pustaka: 1991)
Mulhadi,
Landasan Yudiris Penghapusan Kepercayaan Tradisional Arat Sabulungan di
Mentawai, (Medan, USU, 2007).
Bambang
Rudito, Bebetei Uma Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuh Etnografi (Yogyakarta,
Gading dan ICSD).
Agung
W dkk, Turuk Sikerei (Jakarta: Badan Litbangkes dan Lembaga Penerbitan
Balitbangkes, 2014).
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta, Aksara Baru: 1986) hlm 163.
Kalangie,
Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui
Pendekatan Sosiobudaya (Jakarta: Kesaint Blanc: 1994)
Tulisan ini adalah ringkasan dari hasil riset
yang dilakukan Rus Akbar Saleleubaja, Tarida Hernawati Elisabeth, S.Sos, M.Hum,
Yuhema Firah. “Kajian Tanaman Obat Tradisional Mentawai Sebagai Kajian Kekayaan
Intelektual Orang Mentawai” didukung oleh Kemendikbud, Dana Indonesiana 2022
dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)