Desa Matotonan berada di bagian hulu sungai Rereiket yang melintasi empat desa hingga ke laut, daerah yang dilintasi Matotonan, Madobag, Muntei dan Muara Siberut, wilayah Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat.
Nama Desa Matotonan ini diambil dari nama tumbuhan yang disebut totonan atau kecombrang (etlingera elatier). Ma sendiri memiliki makna banyak, jika diartikan secara harafiah Matotonan merupakan tempat yang memiliki banyak tumbuhan totonan. Bahkan satu nama sungai kecil yang terletak di Dusun Maruibaga dimana sungai Totonan. Pusat Kecamatan berada di Desa Muara Siberut, dengan jarak tempuh dari desa menuju muara yang bisa melalui sungai dengan transportasi tradisional yang biasa disebut oleh masyarakat setempat yaitu pompong (sebuah sampan kecil yang diberi mesin) dan dilanjutkan dengan kendaaraan roda dua dan empat).
Desa Matotonan ini terdiri dari lima dusun yaitu Dusun Kinikdog, Dusun Matektek, Dusun Maruibaga, Dusun Onga dan Dusun Mabekbek. Lokasi pemukiman masyarakat setiap dusunnya masih berkelompok, ada tiga kelompok permukiman mengikuti alur sungai yang menjadi sarana akses baik ke mone (kebun), kapusainakat (tempat ternak babi) maupun ke daerah Madobag dan Monga (Desa Muara Siberut) yang merupakan pusat pemerintah kecamatan yang memiliki sekolah, serta akses ekonomi yang berhubungan dengan Kota Padang sebagai pusat provinsi Sumatera Barat. Tapi ada juga jalan beton yang dibangun untuk menghubungi antar dusun dan desa namun itu ukuran dua meter. Selain akses sungai bisa juga akses darat namun jalan kaki memakai waktu yang sangat lama.
Desa Matotonan memiliki luas sekitar 17.978 km2 dengan letak geografisnya sekitar S010 1260 30’’s- 010 33’ 15’’ Lintang Selatan E0990 33’ 351’’- 990 351’ 00’’ Bujur Timur. Pada tahun 2021 Desa Matotonan ini ditetapkan sebagai desa wisata.
Sementara batas wilayah desa tersebut, sebelah utara dengan Desa Saibi Samukop, Kecamatan Siberut Tengah, sebelah selatan dengan Desa Madobag Kecamatan Siberut Selatan, sebelah barat dengan Desa Sagulubbek Kecamatan Siberut Barat Daya, sebelah timur dengan Desa Saliguma Kecamatan Siberut Tengah.
Berdasarkan dari data profil desa terjadinya permukiman Matotonan ini berawal pada tahun 1935 terjadi perang suku di daerah Simatalu, yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut sekarang masuk wilayah Kecamatan Siberut Barat. Mereka terpaksa pindah lantaran perang antar suku tersebut berkecamuk di Simatalu, perpindahan itu dimulai pada tahun 1938 sebagian dari penduduk suku memilih pindah dari Simatalu ke Sarereiket. Suku (klan) yang pindah pertama adalah Satoleuru kemudian disusul klan Sabulat dan klan lainnya. Seperti Sarubei, Samalei, Sagoilok, Siritoitet, Satoutou dan lain-lain. Mereka tidak bertempat tinggal satu lokasi, melainkan berpencar-pencar, namun masih di wilayah Sarereiket dan belum terbentuk perkampungan dan pemerintahan.
Pada Jumat tanggal 13 Agustus 1940 terbentuklah kampung yang diberi nama Sarereiket berlokasi Moan Doat sekarang namanya Dusun Mabekbek sampai Moan Pora sekarang Dusun Kinikdog, dan pada waktu itu, ditunjuk lah sebagai Kepala Kampung dan Lori yang pertama. Kepala Kampung bernama Teu Tak Buat Monbe Sarubei, Kepala Lori bernama Tak Gerei Manai Sabulat, keputusan tersebut atas kesepakatan 25 orang dari perwakilan klan.
Pada tahun 1978 terjadi perluasan wilayah dengan membuka lokasi Bat Matotonan (Dusun Maruibaga) dikerjakan dengan swadaya masyarakat dibantu oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikenal waktu itu 133/ Marinir. Setelah selesai pembukaan lokasi baru masyarakat dapat bantuan rumah sosial perumahan tersebut dinamakan telemen dan sering juga disebut Barasi (bersih). Setelah selesai rumah, pada tanggal 10 Agustus 1980 nama kampung menjadi
Uma dan Pola Permukiman
Uma bagi Matotonan pusat semua kegiatan berkaitan dengan adat, baik itu upacara adat, ritual, sengketa bahkan dalam membuat sebuah kebijakan atau keputusan dalam satu klan dibicarakan bersama dengan anggota klan yang dipimpin oleh sikebbukat uma (orang yang dituakan), seperti dalam memutuskan pengobatan siapa yang mengobati apa yang harus disiapkan dibicarakan bersama, hal itu dilakukan karena membutuhkan tenaga dan materi yang banyak terutama babi sebagai konsumsi.
Uma milik Ubbek Kerei atau Masin Dere
Uma adalah sebagai tempat musyawarah antar anggota kerabat, sehingga diperlukan suatu bangunan yang cukup luas dan cukup menampung seluruh anggota sekerabat. Dalam pengaturan kehidupan bersama, sikebbukat uma selalu memegang prinsip dan nilai-nilai yang utama sebagai dasar kehidupan bersama yakni: egaliter, solidaritas dan musyawarah.
Permukiman masyarakat di Matotonan biasanya dulunya tinggal berdampingan dengan uma, rumah anggota klan dinamakan dengan rusuk, biasanya mengelilingi atau memanjang, tapi saat ini tidak semua seperti itu. Rumah anggota klan sekarang disebut sapou itu dihuni oleh keluarga inti dan menyebar tempat tinggalnya setelah dibuat rumah sosial oleh pemerintah, tapi uma masih menjadi pusat dari sebuah klan. Ini terjadi karena warga yang tinggal di lokasi tempat dibangun rumah sosial bukan tanah milik orang bersangkutan tapi tanah dari klan lain. Tanah yang didiami warga Matotonan sendiri adalah tanah milik kaum dari klan Sarubei, Sabulat dan Siritoitet.
Bentuk bangunan uma di Matotonan saat ini sebagian sudah berubah bentuk, tidak lagi uma dahulu, sekarang udah berbentuk rumah sosial namun ciri kas dalam satu uma itu adalah katsaila dan puluhan tengkorak babi, monyet baik itu dari hasil ternak atau buruhan, kemudian dalam uma juga terdapat gong, kuali ukuran besar serta tuddukat (kentongan dari kayu).
Mata Pencaharian
Umumnya mata pencarian di Desa Matotonan bertani, namun bukan bertani menetap tergantung harga barang hasil pertanian meningkat. Seperti jika harga pinang kering naik menjadi Rp6.000 per kilogram maka mereka akan memanen pinang yang sudah ditanam sebelumnya, tapi jika turun menjadi dari Rp3.000 maka petani akan beralih ke pencarian lain.
Warga Matotonan sedanga mengola sagu
Mata pencaharian utama masyarakat Mentawai adalah bertani, berburu, beternak babi dan ayam. Bertani dengan menanam keladi, pisang, sagu, coklat, pinang, nilam, manau dan rotan. Seperti saat melakukan penelitian dilakukan harga manau naik maka warga pergi ke hutan mencari manau sampai berhari-hari kemudian dijual ke penampung di Matotonan. Kegiatan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka terutama beras dan lauk pauk, serta kebutuhan rokok.
Selain mata pencarian diatas, masyarakat Matotonan juga mengolah sagu (Metroxylon sagu) sebagai makanan pokok warga setempat. Sagu ditemukan tumbuh alami di rawa-rawa sekitar pemukiman. Cara mengolah sagu juga sudah terjadi perubahan, biasanya kalau memarut sagu dulu dengan parutan yang dibuat dari paku dan batang kayu, tapi sekarang sudah memakai mesin yang dibuat untuk mempercepat pekerjaan kemudian ada yang diremas menggunakan tangan ada juga diinjak yang masih tradisional yang sudah diwariskan oleh nenek moyang.
Untuk memenuhi kebutuhan upacara adat masyarakat juga memelihara ayam (gou’gou’), masyarakat biasanya memelihara ayam tidak sama dengan masyarakat luar. Bagi masyarakat Matotonan memelihara ayam umumnya dilakukan di pugougoubat (tempat beternak ayam), atau tempat peternakan babi.
Tempat beternak babi
Untuk pekerjaan kaum perempuan selain dalam rumah tangga, dia juga bekerja di kebun keladi yang dibuat seperti kolam terendam di situlah bidang pertanian untuk kaum perempuan. Keladi juga berfungsi sebagai makan seharian serta ritual, tapi kebun keladi juga sangat berarti sama masyarakat Mentawai. Kebun keladi juga sama pentingnya dengan babi dalam adat, sebagai alak toga (mahar), saki laggek (bisa beli ramuan obat), tulou (denda) dalam hal ini bukan keladinya yang diambil melainkan tanah dan isinya yang akan dijadikan sebagai alat barter.
Kaum perempuan menangguk ikan (paliggagra)
Perempuan juga mengerjakan paliggagra (menangguk ikan dan udang di sungai atau di kebun keladi), ini dilakukan untuk memenuhi ikan mereka. Mereka akan pergi pagi haru atau menjelang sore. Kalau pergi bersama maka hasilnya akan dibagi rata, sesampai di rumah sang istri akan memasak untuk keluarganya. Kemudian perempuan di Matotonan mengambil okbuk (bambu) ukuran kecil yang digunakan untuk memasak sagu, wadah memasak sagu selain bambu ada juga daun sagu yang sering disebut kapurut. Kalau ada acara lia di maka perempuan inilah yang akan mengambil bambu baik itu untuk tempat memasak sagu maupun tempat memasak daging babi dan ayam.
Tulisan ini adalah ringkasan dari hasil riset yang dilakukan Rus Akbar Saleleubaja, Tarida Hernawati Elisabeth, S.Sos, M.Hum, Yuhema Firah. “Kajian Tanaman Obat Tradisional Mentawai Sebagai Kajian Kekayaan Intelektual Orang Mentawai” didukung oleh Kemendikbud, Dana Indonesiana 2022 dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
Bersambung;