SIPORA--Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBHP) oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 28032311111309002 untuk PT. Sumber Permata Sipora membuat sejumlah anggota komunitas adat Mentawai bereaksi. Dengan surat ini PT. Sumber Permata Sipora memperoleh izin untuk menebang Hutan Alam seluas 20.706 hektar di Pulau Sipora Kepulauan Mentawai.
Nulker Sababalat, pengurus Dewan Adat Saureinu di Desa Saureinu, Kecamatan Sipora Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai mengatakan 500 hektar kawasan hutan adat Saureinu diduga akan masuk dalam PBHP PT. SPS. Kawasan itu sudah ditetapkan sebagai hutan adat oleh KLHK. Ada seluas 5.739 hektar hutan adat 13 suku di Saureinu.
Dari data yang dihimpun Mentawaikita.com, Pulau Sipora luasnya 615 km persegi atau 61.518,05 hektar, maka berdasarkan UU No. 7 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan perubahannya dengan UU No. 1 tahun 2014, Pulau Sipora merupakan pulau kecil, dimana sumber daya alamnya tidak boleh dieksploitasi.
Namun Pemerintah Indonesia tetap menjadikan hutan di Pulau Sipora sebagai terget eksploitasi. Dari 61.518,05 hektar luas Pulau Sipora, pemerintah menunjuk 35.451,54 hektar sebagai Kawasan Hutan dan 26.066,51 sebagai Areal Peggunaan Lain (APL). Dari 35.451,54 hektar Kawasan Hutan pemerintah menetapkan fungsinya sebagai Hutan Lindung (HL) seluas 661,62 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas 28.900,23 hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 5.883,59 hektar.
Menurut Rifai, Ketua Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Pemerintah Indonesia tetap menjadikan hutan di Pulau Sipora sebagai target eksploitasi. Ini tergambar dari fungsi atau peruntukan daratan Pulau Sipora ke dalam Hutan Produksi (HP) seluas 28.900,23 hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 5.883,59 hektar, Hutan Lindung (HL) seluas 661,62 hektar dan sebagai Areal Peggunaan Lain (APL) seluas 26.066,51 hektar. Dengan pembagian fungsi yang demikian, maka pemerintah telah mengarahkan kawasan hutan dan APL seluas 60.850,33 hektar bisa dideforestasi, baik melalui skema PBPH maupun Izin Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan (IPKKNK).
Karena itu, selain PBPH PT. Sumber Permata Sipora, pemerintah juga telah mengadministrasikan kegiatan penebangan dan dan bisnis kayu dari Areal Penggunaan Lain seluas 345,77 hektar dengan menerbitkan akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) kepada perseorangan Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT). Selain tujuh akses SIPUHH yang sudah diberikan di Pulau Sipora, saat ini teridentifikasi 10 permohonan akses SIPUHH lain, baik di Pulau Sipora maupun pulau lainnya di Mentawai. Ada trend yang kuat, dimana pemilik modal, bermain mengatasnamakan masyarakat atau perseorangan pemegang hak atas tanah dalam pengurusan akses SIPUHH. Melihat proses akses SIPUHH yang cukup mudah, maka SIPUHH ini akan menjadi kedok untuk menjarah hutan di Sipora dan pulau lainnya di Mentawai.
Bisnis penebangan kayu baik melalui PBPH di dalam kawasan hutan maupun melalui akses SIPUHH di luar kawasan hutan, akan berdampak luas terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Selaku pulau kecil, maka karakter sungainya yang pendek akan meningkatkan potensi bencana ekologi seperti banjir - terutama dipemukiman yang dekat dengan muara-muara sungai pada saat hujan, kekeringan akibat turunnya kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air, juga meningkatkan pelumpuran di daerah pesisir yang akan berdampak pada sumber penghidupan di perairan.
Lebih lanjut Rifai menambahkan, selain memperburuk kondisi iklim lokal dan global, izin penebangan kayu ini juga merupakan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah, sekaligus bentuk pengingkaran terhadap konstitusi, karena mengabaikan sekaligus merampas tanah dan hutan adat masyarakat adat di Pulau Sipora. Karena apa yang disebut sebagai hutan negara oleh pemerintah, faktanya adalah kebun atau ladang tua milik masyarakat yang mereka kelola menjadi pumonean, sebagai agroforest khas budaya agraria masyarakat adat Mentawai. Perampasan hutan-hutan adat ini, akan menyebabkan hilangnya ruang geografis bagi praktik budaya pengelolaan hutan masyarakat adat Mentawai yang berkelanjutan, sebagai salah satu contoh budaya hutan yang mendukung mitigasi perubahan iklim.
Masih menurut Rifai, dengan pemberian izin ini Pemerintah Indonesia telah mengingkari komitmen iklimnya, yang berjanji akan mengurangi emisi dari sektor lahan dan hutan. Dengan asumsi stok karbon dalamsatuhektar hutan sekunder sebanyak 95.798 ton, sekitar 63.801.468 ton karbon akan terlepas setiap tahun akibat pemberian izin ini. Hal ini memperberat pencapaian FOLU Net Sink 2030 sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia.
Karena itu YCMM meminta, pertama; PT. SPS membatalkan rencana Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan di Pulau Sipora, kedua; Tim Uji Kelayakan Lingkungan mengeluarkan rekomendasi ketidaklayakan lingkungan hidup atas rencana usaha PT. SPS, ketiga; Pemerintah Indonesia melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatalkan PBPH a/n PT. SPS dan keempat; Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai segera menetapkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya di seluruh Mentawai.
Dr. Wilson Novarino, seorang ahli Biologi dari Universitas Andalas pada Rabu (19/07/2023) menyebutkan, Macaca pagensis, Presbytis potenziani, Hylobates klossii dan Simias concolar, empat primata endemik di Sipora akan terancam oleh aktivitas penebangan kayu dalam skala luas. Habitat dan wilayah jelajah mereka makin sempit, karena hutan akan terfragmentasi. Sementara beberapa jenis dari primata endemik tersebut, mencari makan dan bergerak dari satu pohon ke pohon lain. Bukan dengan cara turun dan berjalan di lantai hutan
Afridianda Tasilipet, Ketua BPH AMAN Mentawai menyebutkan, saat ini di Sipora terdapat 6.907 hektar hutan adat yang sudah ditetapkan pemerintah, dan dua muntogat sedang mengajukan penetapan hutan adat kepada KLHK. Seharusnya tidak ada pemberian izin atas hutan adat yang sudah ditetapkan dan atas wilayah adat yang sedang diusulkan sebagai hutan adat.
“Jika pemerintah masih tetap menerbitkan izin, pemerintah sedang memicu konflik dan konfrontasi dengan masyarakat adat,” katanya Kamis (20/07/2023).
Secara ekonomi pemberian izin ini memperparah kemiskinan. Masyarakat kehilangan komoditas ekonomi yang selama ini mereka tanam dan panen di atas tanah yang menjadi konsesi PBPH. Jimmy, seorang pemuda di Sioban, areal PBPH PT. Sumber Permata Sipora adalah perladangan masyarakat dengan berbagai komoditas ekonomi, terutama tanaman cengkeh sebagai sumber pandapatan tahunan yang utama bagi masyarakat.
“Jika PBPH PT. Sumber Permata Sipora atas hutan-hutan kami berlangsung selama 30 tahun, maka dampak kehilangan sumber ekonominya akan kami rasakan lebih dari 30 tahun. Jika kemiskinan kami akan berlangsung selama itu, maka kami tidak akan bisa menjangkau pendidikan terbaik buat anak-anak kami. Padahal pendidikanlah investasi terbaik kami buat pondasi kemajuan Mentawai,” lanjut Jimmy, Rabu (19/07/2023).