PADANG- Draft Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat yang telah memasuki konsultasi publik pada 11 Januari lalu oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat tak mengakomodir pengaturan dan persoalan tanah ulayat di Mentawai meskipun pada Pasal 27 itu, perda tanah ulayah di Mentawai penyusunannya diserahkan kepada Pemda Mentawai.
“Menurut saya Ranperda yang tidak langsung mengatur soal Mentawai sebagai bentuk pengakuan dari perumusnya bahwa mereka minim pengetahuan terkait tanah ulayat di Mentawai karena itu mereka tidak ingin salah memformulasikan norma-norma, oleh karena itu mereka memberikan ruang kepada Mentawai. Menurut saya kesadaran itu harus disambut oleh Mentawai dan membuktikan bahwa Mentawai punya kapasitas untuk merumuskan norma-norma yang aplikatif sesuai dengan karakter sosial budaya yang ada di daerah Mentawai,” kata Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai, Rabu (18/1/2023).
Oleh sebab itu terbuka ruang bagi Mentawai untuk membuat pengaturan yang bisa saja norma-normanya berbeda dengan isi ranperda ini.
“Mentawai harus membuat pengaturan itu, ruang yang dibuka oleh provinsi harus dimanfaatkan oleh Pemda Mentawai untuk membuat perda yang dapat melindungi tanah-tanah ulayat di Mentawai,” kata Rifai.
Menurut dia, Mentawai harusnya lebih maju sebab telah memiliki Perda Pengakuan Uma Sebagai Masyarakat Hukum Adat yang telah mengatur bagaimana proses identifikasi dan penetapan wilayah hukum adat. Harusnya perda itu kemudian dapat mengatur supaya desa punya kewenangan mengalokasikan anggaran untuk mengidenfitikasi tanah-tanah ulayat yang ada di wilayahnya untuk nanti diakui oleh bupati sebagai masyarakat hukum adat siapa.
“Nanti SK dan peta-petanya saja yang didaftarkan dalam buku tanah di BPN,” katanya.
Rifai memandang perlu perda tanah ulayat ini di Mentawai sebagai acuan melakukan penatausahaan tanah ulayat yang telah dipetakan dan disahkan oleh Bupati.
Senada dengan Rifai, Direktur LBH Padang, Indira Suryani menyebutkan ada kelemahan yang terdapat dalam Ranperda Tanah Ulayah Sumbar ini.
Menurut hasil diskusi dengan Masyarakat Sipil Sumatera Barat, Indira mengatakan terdapat sembilan poin kelemahan yang menjadi catatan penting dalam draft Ranperda Tanah Ulayat, pertama, kedudukan tanah ulayat sebagai tanah cadangan mesti dikonstruksi ulang. Sebab kenyataannya banyak tanah ulayat sebagai sumber daya yang digunakan untuk sumber ekonomi maupun yang tidak digunakan.
“Sehingga hal ini tidak sesuai dengan realitanya yang ada,” kata Indira Suryani.
Kemudian kedua di dalam Ranperda, pemanfaatan tanah ulayat bagi investasi ada dua yakni saham dan bagi hasil. Untuk menjaga keberlanjutan dan perlindungan perlu dibatasi jual beli saham di pasar modal. Mestinya saham tetap sama dan semakin meningkat bukan menurun.
“Aktivitas bisnis seperti ini di tanah ulayat harus jelas, tidak sekadar menguntungkan seseorang namun seluruh pihak yang menjadi pemilik tanah ulayat ini menjadi sejahtera,” jelasnya.
Ketiga, Ranperda belum mengakomodir tanah ulayat di Mentawai mestinya itu juga diakomodir karena Mentawai juga memiliki tanah ulayat. Ranperda jangan berlaku diskriminatif terhadap Mentawai karena bagian dari Sumatera Barat.
“Kita kurang sepakat kalau soal pengaturan soal tanah ulayat di Mentawai hanya diletakkan pada aturan peralihan (Pasal 27) disuruh mengatur sendiri, Mentawai punya tanah ulayat juga maka Perda juga harus mengakomodir hal itu juga, sebab Sumatera Barat itu terdiri dari 19 kabupaten/kota, meski Mentawai memiliki tata cara yang berbeda tetapi mesti diakomodir juga dalam perda, ini tidak inklusif,” ujarnya.
Keempat, identifikasi tanah ulayat oleh pemegang izin tanpa ada sanksi yang jelas dan peran serta pemerintah daerah. Padahal ini menjadi titik sentral untuk inventaris tanah ulayat yang saat ini dikuasai oleh pihak-pihak diluar masyarakat adat.
Kelima, pemulihan tanah ulayat yang berada di kawasan hutan belum diakomodir di dalam Ranperda ini. Saat ini yang ada mekanisme hutan adat yang tersedia. Mestinya ruang ini ditangkap untuk pemulihan hak ulayat dalam kawasan hutan.
“Jika memang kita ingin melindungi tanah ulayat maka Ranperda mesti mendorong kabupaten/kota untuk membuat kabupaten/kota untuk mensahkan perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Mentawai,” ujarnya.
Keenam, di dalam Ranperda tidak mengakomodir keberadaan dan peran bundo kandung terhadap tanah ulayat. Padahal di Minangkabau menganut Matrilineal System dan kelompok perempuan dan anak perempuan yang peling menderita ketika ulayat sudah tergadai ataupun dialihkan kepada pihak lain. Penguatan paradigma inklusif mesti diperkuat didalam Ranperda termasuk perlindungan perempuan, anak dan disabilitas dalam pemanfaatan tanah ulayat;
Ketujuh, di dalam ranperda belum memperkuat mekanisme FPIC (Free Prior Informed Consent) dalam pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat. Prinsip ini seringkali dilanggar oleh berbagai pihak sehingga memunculkan konflik struktural di akar rumput.
Kedelapan, di dalam Ranperda ada kata dikuasai dan dimiliki. Makna menguasai dan dimiliki dua hal yang berbeda. Kepemilikan tanah ulayat adalah bersama-sama (Komunal) sehingga mesti menghindari pemaknaan kepemilikan ulayat pada jabatan tertentu karena bisa melegitimasi penjualan dan penggadaian tanah ulayat sepihak yang dikooptasi jabatan tertentu seperti mamak.
Kesembilan, Ranperda masih inkosistensi terkait penyelesaian tanah ulayat. Di dalam Perda Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Nagari penyelesaian sengketa tanah ulayat ada di Pengadilan Adat namun di Ranperda ini diselesaikan oleh KAN. Belum ditemukan formulasi yang baik dalam situasi ini dengan memperhatikan kondisi sosiologis dan memperhatikan konflik kepentingan para pihak.
Di sisi lain, Indira melihat keuntungan yang diambil dari Perda ini bagi masyarakat adat yakni pada beberapa pasal berupaya meletakkan inventarisir pemilik dan penguasa tanah ulayat. Sebab selama ini yang menjadi cekcok terkait tanah ulayat ini adalah tidak ada inventarisir yang pasti antara siapa pemilik, pengguna maupun pengelola. Ini selalu menjadi masalah dikemudian hari.
Dan ketika negara hadir untuk melakukan identifikasi dan pendokumentasian sehingga orang bisa memiliki kepastian sehingga saat melakukan pemanfaatan atau pengalihan hak tidak terjadi lagi persoalan hukum.
“Selama ini seseorang hanya pengelola namun mengaku-aku sebagai pemilik tanah, ini menjadi masalah sebab selama ini belum ada lembaga khusus melakukan identidikasi dan inventarisir soal tanah ulayat ini,” katanya.