Mendayung Sampan Sendiri ke Sekolah
MENTAWAI-Matahari menyembul di langit Teluk Sinaka Dusun Sinaka Kecamatan Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Senin (3/10/2022) pagi. Kelihatannya cuaca cukup bersahabat pagi itu setelah beberapa hari hujan turun terus menerus.
Nurpiyanti (13) bersama tiga temannya memegang dayung menuju sampan kecil di bibir teluk. Ketiganya menyandang tas ransel. Hujan lebat yang mengguyur Sinaka malam sebelumnya membuat sampan sudah dipenuh air. Satu sampan lainnya tertelungkup. Nurpiyanti kemudian menimba air dalam sampan keluar dengan sebilah papan.
Nurpiyanti dan anak-anak Dusun Sinaka bersiap-siap berangkat ke sekolah (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
“Kami biasanya kalau pergi sekolah itu sejak dulu kami naik sampan, tapi kadang numpang sama orang lain yang searah kami pergi sekolah,” tuturnya.
Nurpiyanti dan anak-anak Dusun Sinaka lainnya bersekolah di SD 06 Sinaka yang berada di Dusun Korit Buah, dusun tetangga yang berjarak sekira 1,5 km dari kampung dan hanya bisa ditempuh melalui laut atau teluk. Tidak ada transportasi umum, terkadang anak-anak diantarkan orang tua ke sekolah, namun tak jarang anak-anak harus mandiri mendayung sampan sendiri. Terkadang kalau hujan atau badai, mereka tidak berangkat sekolah. Karena jauh, anak-anak dari Sinaka diberi toleransi terlambat masuk kelas hingga pukul 09.00 WIB.
Jangan dibayangkan mereka pergi sekolah memakai seragam. Biasanya anak-anak memakai baju biasa, seragam disimpan dalam kantong kresek atau dalam tas sekolah. Setelah sampai di hanggar perahu Korit Buah, barulah mereka mengganti baju dengan seragam dan memakai sepatu.
“Kalau kita pakai sekarang takut kotor dan basah kena air laut,” tutur Nurpiyanti.
Kemudian Nurpiyanti dan teman-temannya memiringkan sampan dan menyeretnya ke air, tak lama keempatnya menaiki sampan dan mendayungnya menuju Korit Buah. “Biasanya kami berangkat banyak, tapi karena musim hujan tidak ada yang mau ke sekolah, sebab nanti di sampan bisa basah semua pakaian kami,” katanya.
Anak-anak Sinaka menyiapkan sampan untuk alat transportasi ke sekolah. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
Nurpiyanti bersama sekira 13 anak Sinaka lainnya harus menghadang bahaya setiap kali ke sekolah. Tidak hanya risiko terkena badai dan hujan atau pun sampan terbalik, namun pantai Sinaka juga dihuni buaya.
“Tahun ini sudah lupa bulannya, sekira pukul 20.00 WIB, ada yang menyenter ke pantai melihat ada buaya, matanya merah setelah terkena sorotan senter, kemudian dilanjutkanya pengecekan kiranya benar buaya ada, tubuhnya sekira sepanjang tiga meter,” tutur Anto Saogo, Kepala Dusun Sinaka.
Buaya itu sedang berada di tepi pantai usai memakan ikan-ikan busuk yang dibuang dari kapal bagan lantaran tidak ada es. “Kita memang mengkhawatirkan buaya, namun belum ada solusi untuk anak-anak yang sekolah di Korit Buah, sebab sekolah di sini yang dipindahkan ke sana,” jelas Anto.
Tak hanya anak usia SD, bahkan anak-anak usia PAUD juga harus menghadang bahaya tiap kali ke sekolah. Ada sekira 14 anak Dusun Sinaka yang bersekolah PAUD di Korit Buah, tiga hari dalam seminggu.
Mereka berangkat ke sekolah biasanya ditemani ibunya. Tak jarang, anak-anak dan ibunya harus menginap di Korit Buah agar tidak bolak balik. Mereka menginap di rumah kerabatnya sembari membawa bekal.
Gedung SD 08 Sinaka yang dipindahkan ke Dusun Korit Buah. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
“Kita harus mendampingi anak-anak kita karena usianya masih kecil, namun kita segan pula sama keluarga kita di sana kita menumpang. Itu karena peraturan pemerintah sekarang anak-anak wajib PAUD untuk masuk sekolah,” kata Elis Samaloisa, seorang ibu warga Dusun Sinaka.
Karena harus menemani anaknya sekolah PAUD, ibu-ibu tak bisa lagi membantu suaminya ke sawah atau ladang. “Kita harus korbankan itu demi masa depan anak-anak,” ujarnya.
Direlokasi Karena Rawan Bencana
Idris Maulana, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sinaka, yang bermukim di Dusun Sinaka menceritakan, sebenarnya Dusun Sinaka dulunya adalah pusat desa Sinaka, bahkan bangunan yang dulu kantor desa masih ada. Termasuk sekolah dasar, juga masih ada bangunannya.
Permukiman warga Dusun Sinaka yang berada dekat pantai yang diambil dari udara (Foto: Buyung /YCMM)
Setelah tsunami di Pagai pada Oktober 2010, pemerintah kemudian memindahkan warga Sinaka ke Korit Buah, lokasi pemukiman baru yang berada di atas bukit karena Dusun Sinaka yang berada di depan teluk dan dataran yang rawan tsunami. Dengan demikian, fasilitas sekolah dasar juga dipindahkan ke Korit Buah.
Idris dulu pernah mengusulkan adanya SD filial di Sinaka agar anak-anak tak harus mendayung sampan ke Korit Buah. Namun upaya itu tidak ada tindak lanjut karena minimnya respon warga.
“Tahun 2020 sampai 2021 dulu pernah saya usulkan sekolah filial dari kelas 1 sampai dengan kelas 3 dan itu sudah mendapat persetujuan dari kepala cabang pendidikan Pagai Selatan, namun kendalanya adalah masyarakat yang kurang berperan untuk menyumbangkan kayu sebagai bahan mebeler seperti kursi dan meja, sedangkan bangunan sekolah kan ada,” tuturnya.
Perumahan warga Dusun Sinaka. (Foto: Rus Akbar Saleleubaja/Mentawaikita.com)
“Jadi saran dari Cabang Dinas Pendidikan, mebeler sekolah itu seperti kursi dan meja diswadayakan saja untuk dibuat. Saya malah mengusulkan kalau ada uang dikumpulkan bersama-sama biar nanti saya akan membantu mengolahnya,” katanya.
Namun usulan tersebut tidak mendapat respon warga meski sudah sudah berkali-kali disampaikan Idris. “Padahal saya sudah berbohong kepada pengawas bahwa itu sudah siap ternyata saat Tim pengawas sudah turun dan melihat kondisi, mebeler tak ada,” katanya.