Mentawai Menjadi Solusi Dunia Jika Membenahi Beberapa Sektor

Mentawai Menjadi Solusi Dunia Jika Membenahi Beberapa Sektor Direktur YCM Mentawai, Rifai menyampaikan catatan refleksi pada HUT Kabupaten Kepulauan Mentawai ke-23. (Foto : Patrisius/MentawaiKita.com)

TUAPEIJAT-Peringatan hari jadi Kabupaten Mentawai secara otonom sejak 1999 kini masuk pada usia 23 tahun yang diperingati setiap 4 Oktober. Perjuangan Mentawai menjadi salah satu kabupaten di Sumatera Barat tidak lepas dari adanya tindakan diskriminatif yang menguras potensi sumber alam yang tidak adil yang mestinya untuk kesejahteraan masyarakat Mentawai.

Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai menyampaikan refleksi 2 dekade Mentawai menjadi kabupaten di Sumatera Barat  sebelum dan sesudah adanya UU Nomor 49 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Direktur Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, Rifai Lubis yang diundang menjadi narasumber pada seminar Refleksi 2 Dekade Kabupaten Kepulauan Mentawai menyampaian kondisi sebelum dan sesudah menjadi Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 1999.

Rifai menyampaikan bahwa sebelum ada UU Nomor 49 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai pada renstra pertama yang dimiliki setelah ini menjadi kabupaten, Mentawai daerah yang selama ini mengalami diskriminasi dan eksklusi, eksklusi yang dimaksudkan dia bisa disebut sebagai pengingkaran juga sebagai pemikiran dari entitas-entitas politik dominan. 

Pada waktu itu juga terjadi perampasan hutan dan tanah-tanah adat. “Saya pikir salah satu energi besar yang kemudian menjadi kekuatan bagi masyarakat Mentawai untuk menuntut menjadi kabupaten, dan memanfaatkan momentum reformasi itu adanya perampasan hutan dan tanah-tanah adat yang dirasa itu tindakan yang tidak adil bagi Mentawai,” ujar Rifai 

Kondisi infrastruktur dan layanan publik pada waktu itu sangat minim, pada bidang budaya pada waktu itu budaya yang unik yang berbeda dominan dengan budaya-budaya lainnya itu menjadi asal stigma dan pembeda bukan sesuatu yang memperkaya struktur kebudayaan nasional kita dan pada waktu itu dipandang  menjadi dasar stigma dan diskriminasi.

Adanya perampasan hutan dan tanah-tanah adat secara sepihak oleh negara. Negara juga secara sepihak menetapkan status hutan dan non hutan dan kalau hutan pada waktu itu meneruskan semangat UU Kolonialis maka kalau sudah ditetapkan dia sebagai kawasan hutan otomatis itu menjadi hutan negara tidak ada hutan adat di  dalamnya.

Ketika negara menetapkan status hutan secara sepihak  kata Rifai maka negara juga secara sepihak menetapkan fungsi dan peruntukan  mana hutan, produksi, hutan lindung,  hutan konservasi lalu kemudian di atas fungsi dan peruntukan itu secara sepihak negara juga memberikan izin konsesi-konsesi kepada korporasi-korporasi tanpa perlu meminta persetujuan kepada masyarakat adat yang secara sosiologis menjadi pemiliknya.

Pada waktu itu juga kata Rifai, Mentawai menjadi kabupaten beberapa perusahaan ditutup sebagian karena sebagian pulau Siberut sebagian ditetapkan sebagai taman nasional.

Soal infrastruktur waktu itu masih sangat minim, pada renstra yang dimiliki Mentawai pada saat itu dimana layanan pendidikan dan kesehatan itu masih terbatas  seperti SMP hanya ada 3 di seluruh Mentawai dimana Mentawai masih menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman.

Kemudian pada 1999 itu,  SMA masih ada 2, Puskesmas juga baru ada di pusat ibukota kecamatan pada waktu itu ada di Kecamatan Siberut Utara, Kecamatan Siberut Selatan, Kecamatan Sioban dan Kecamatan Sikakap.

“Kalau kemudian sekarang kita melihat sarana pendidikan menyebar ke pelosok  yang lebih jauh termasuk dan SMP kita sudah berkembang lebih banyak, puskesmas yang saat ini sudah cukup banyak, saya pikir tanpa kabupaten mustahil terjadi secepat itu,” ujar Rifai.

Kemudian Rifai merefleksi Mentawai setelah UU No. 49 tahun 1999 , bahwa eksklusi di Mentawai menjadi sangat jauh berkurang setelah adanya UU No.49 tahun 1999. Menjadi penting kata Rifai dengan adanya produk hukum ini, Mentawai bisa diperlakukan setara dengan kelompok yang lain.

Catatan khusus yang terkait dengan eksklusi disampaikan Rifai, bahwa jika Mentawai sudah bebas dari eksklusif, tapi ternyata eksklusi itu masih terjadi di dalam masyarakat Mentawai sendiri. Terlihat bawah dalam gerak laju pembangunan ada kelompok-kelompok sosial tidak diperlakukan sama dengan kelompok yang lain.

“Kalau selama ini kita berjuang untuk membuat Mentawai setara dengan daerah lain maka mulai dari sekarang melihat apakah ada persoalan ketidaksetaraan di dalam Mentawai menjadi Mentawai yang otonom yang mandiri, dimana hak semua warga negara memperoleh hak yang sama tidak boleh ada satu masyarakat Mentawai yang tertinggal terhadap pembangunan. Tentu ini harus menjadi catatan, bahwa kelompok marjinal itu tidak tertinggal dalam laju pembangunan,” kata Rifai.

Setelah UU Nomor 49 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai, kata Rifai beberapa kali terjadi perebutan lahan, penyebabnya memang tidak ada penyelesaian yang bersifat struktural atas penetapan status fungsi peruntukan dan pemanfaatan lahan.

“Kita tahu 82 persen masih menjadi kewenangan pusat dan itu secara sepihak pusat memberikan konsesi kepada siapa pun dan belum ada upaya struktural menyelesaikan itu, luas daratan Mentawai dari 600.000 Ha, itu 246.000 sudah menjadi hutan produksi dan sekitar 140.000 itu sudah dibebani izin, dan ini tidak pernah kita selesaikan setelah menjadi kabupaten saya pikir ini menjadi beban yang harus diselesaikan ke depan,” kata Rifai.

Jika hal tersebut tidak menjadi fokus penyelesaian kata Rifai, sepanjang dia menjadi hutan produksi maka masih terbuka peluang pusat untuk kemudian memberikan izin-izin kepada kawasan hutan. 

“Kalau itu terus berlanjut tentu saja ancaman terhadap kepemilikan hutan masyarakat adat mereka kehilangan modalitas untuk merencanakan ekonomi keluarga pada tanah yang dimiliki,” katanya.

Contoh lain yang masih ditemukan setelah Mentawai menjadi kabupaten, masih ada kelompok penyandang disabilitas yang belum menjadi perhatian serius. 

“Entah mereka punya kekuatan politik atau tidak mereka warga Mentawai yang harus dilayani kabupaten ini sehingga tidak menjadi beban gerakan pembangunan Mentawai berikutnya,” katanya

Lalu soal keamanan dan kekerasan anak di Mentawai masih sangat buruk. Di Mentawai ada banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, kalau kemudian informasi ke permukaan polisi hanya menangani pada aspek pidananya saja baru menghukum pelaku tetapi bagaimana dengan pemulihan korban itu nyaris belum dilakukan.

“Padahal yang lebih terpenting pemulihan korban bagaimana korban tidak kehilangan masa depan, ketika korban-korban ini kehilangan masa depan  tentu saja akan menjadi beban mencapai cita-cita mencapai kesejahteraan,” kata Rifai.

Kemudian soal perlindungan dan jaminan sosial bahwa kita berada di daerah yang rawan bencana gempa dan tsunami, kita belum melihat program yang terstruktur dan masif sampai ke tingkat desa untuk mengurangi resiko bencana dan upaya-upaya mitigasi struktural hingga ke tingkat desa belum maksimal.

“Saya mau mengatakan bahwa Mentawai itu bisa menjadi solusi bagi dunia,  karena kenapa saya sebut selain memiliki produksi seni budaya yang unik dan eksotik, Mentawai itu memiliki tata produksi dan tata konsumsi yang ekologis, sistem ini harus ditawarkan untuk diadopsi indonesia dan dunia sebagai jalan keluar dari model pembangunan resesif,” ujar Rifai.

BACA JUGA