UU Sumbar Diskriminasikan Mentawai

UU Sumbar Diskriminasikan Mentawai Penyerahan pernyataan sikap diterima langsung Jakop Saguruk. (Foto: Patris/Mentawaikita.com)

TUAPEIJAT-Disetujuinya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat dinilai mengabaikan karakteristik budaya yang dimiliki suku Mentawai sebagai salah satu etnis yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat.

 

Undang-Undang Provinsi Sumatera Barat jelas dominan mengatur falsafah syariat Islam dan penerapan syariat Islam diatur dalam pasal 5 huruf c. Hal itu menjadi salah satu karakteristik Provinsi Sumatera Barat yang berbunyi "Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku.

 

Terbitnya UU Provinsi Sumatera Barat tersebut telah memunculkan banyak protes yang dimulai dari media sosial, kemudian digelar diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa Mentawai, dan masyarakat khususnya di Kepulauan Mentawai.

 

Hari ini, Senin, (1/8/2022), di pusat ibukota kabupaten Mentawai, di Tuapeijat  5 organisasi kepemudaan di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang tergabung dalam Aliansi OKP Tolak Undang-undang Sumbar melakukan audiensi dengan anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai.

 

DPRD Mentawai menerima kehadiran OKP tersebut dan membuka ruang diskusi yang dipimpin Wakil Ketua, Jakop Saguruk yang bersama dihadiri  anggota DPRD lain. Selain audiensi mereka juga menyerahkan pernyataan sikap ke DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai terkait dengan Undang-undang Provinsi Sumbar.

 

Jakop Saguruk sebagai pimpinan rapat menyatakan DPRD sangat mendukung langkah yang telah dilakukan, bahwa DPRD Mentawai kata Jakop memiliki sikap yang sama bagaimana isi UU Provinsi Sumatera Barat harus mengakomodir karakteristik budaya Mentawai yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sumatera Barat.

 

“Kita sangat mendukung gerakan ini, bahwa Mentawai berada di wilayah Sumatera Barat kita akan berjuang, bersuara tentu tidak boleh juga ada yang tidak merasa nyaman ditetapkannya UU Sumatera, harapan kita dapat mengakomodir karakteristik Mentawai secara khusus,” kata Jakop.

 

Ditengah diskusi dengar pendapat di DPRD, Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Kabupaten Kepulauan Mentawai (ISKA), Dominikus Saleleubaja menyatakan bahwa UU Provinsi Sumatera Barat dipandang diskriminasi.

 

“Undang-undang ini kami pandang mendiskriminasikan Mentawai, UU yang mau mencoba menghilangkan Mentawai dari payungnya sendiri dari daerahnya sendiri, UU ini mestinya mengayomi semua suku bangsa yang ada di Kepulauan Mentawai, khususnya keberadaan suku Mentawai yang notabene berada di Provinsi Sumbar. Oleh karena ini tujuan kami sebagai masyarakat Mentawai agar menjadi pergumulan dan perhatian kita bersama agar UU ini dapat ditinjau kembali,” ujarnya saat audiensi.

 

Domi menginginkan ada pergerakan moral yang menyatakan kesetaraan kita yang setara suku bangsa lainnya. Kegelisahan kami bagaimana eksistensi orang Mentawai sama kedudukannya di muka hukum, UU Provinsi Sumbar itu yang kami katakan ada diskriminasi di sini seolah-olah kalau Sumbar sudah Minangkabau,” katanya.

Domi menambahkan, kesannya Mentawai ini tidak dianggap atau Mentawai secara tidak langsung mau dikeluarkan dari Sumbar. Kami merasa pengecualian itu tidak sepakat, dia harus berdiri sama dengan 5 c itu, seolah kalau pengecualian kita ini kelompok nomor dua lagi. Bagi kami eksistensi ini penting, kita tidak bicara soal kuantitas  (mayoritas dan minoritas) tapi bagaimana pengakuan negara ini terhadap suku Mentawai yang memiliki karakteristik sendiri,” jelas Domi.

 

Nikanor Saguruk, Ketua Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia Kabupaten Kepulauan Mentawai (PIKI) yang mengatakan UU Provinsi Sumatera Barat menurutnya,  secara umum, identitas Mentawai tidak ada diakomodir.

 

“Kekwatiran tidak hanya pengakuan identitas tetapi juga kita kan kehilangan budaya dan identitas, secara mayoritas itu silahkan tetapi memberikan ruang kepada minoritas harus menjunjung tinggi nilai budaya kita mereka juga harus akui, sangat jelas Mentawai dan Minangkabau itu berbeda, mestinya dalam UU itu juga harus mengakomodir keberadaan Mentawai yang berbeda dengan Minangkabau bukan persoalan pengecualian, tetapi Mentawai memiliki budaya tersendiri,” ujar Nikanor.

 

Nelsen Sakerebau anggota DPRD Mentawai berpendapat  UU tersebut penerapan ABS SBK bisa saja diterapkan di Mentawai secara tidak tidak langsung karena Mentawai masuk wilayah Sumatera Barat yang dalam UU Provinsi Sumatera Barat.

 

“Jangan disamakan, karakteristik kita berbeda, budaya Mentawai dan budaya Minang itu berbeda sekali. Melihat waktu langkah yang dapat kita lakukan adalah judicial review yang dapat kita lakukan, kita juga harus bersatu sampaikan ini kepada pemerintah pusat, kemudian langkah berikutnya adalah demonstrasi,” ujar Nelsen.

 

Pada pernyataan sikap  Aliansi OKP tersebut menyatakan bahwa dalam aspek yuridis formal dimasukkannya pengaturan mengenai adat istiadat dan agama dalam UU menjadi preseden buruk penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dan aspiratif. Sebab amanat konstitusi mengenai adat istiadat sudah diatur dalam  UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dan UU nomor 23 tahun 2012 tentang Pemda.

 

UU Provinsi Sumatera Barat mengabaikan asas bhinneka tunggal ika seyogyanya  materi muatan harus memperhatikan keragaman penduduk agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

 

UU ini telah mengabaikan penegasan naskah akademik agar memperhatikan pemberlakuan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, lahirnya UU bersumber dari kajian akademik semestinya kan Mentawai diatur pasal yang berbeda dengan kabupaten/kota  lainnya di Sumbar atau tidak memuat  rumusan yang mengatur tentang adat dan agama.

 

Arsenius Sirirui, Sekretaris Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Kabupaten Kepulauan Mentawai (ISKA) menjabarkan soal pandangan hukum bahwa yang berkaitan agama dari adat sudut pandang azas pembentukan perundang-undangan sebenarnya tidak boleh disebutkan dalam bentuk Undang-undang, bila itu ada tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya.

 

Mengenai UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar, kata Arse dalam naskah akademik itu juga disebutkan penegasan bahwa harus memperhatikan adat dan budaya kabupaten kepulauan Mentawai karena  memang Mentawai bukan berasal dari Minangkabau itu tegas dalam naskah akademik, namun kenyataannya Mentawai tidak diakomodir ketika UU ini disahkan.

 

“Yang dapat kita lakukan adalah judicial review, kemudian pilihan kedua bisa pasal 5c itu dikeluarkan dasarnya tidak memenuhi ketentuan atau teknik penyusunan peraturan perundang-undangan karena dia UU harus menyatakan bersifat umum, ketika mengakomodir bersifat khusus cukup di dalam Perda,” jelas Arse.

 

Usai audiensi Jakop Saguruk, selaku pimpinan rapat dengar pendapat  saat berbincang secara terpisah tindak lanjut terhadap pertemuan ini pihaknya bersama anggota DPRD lainnya akan merumuskan apa yang disampaikan terkait isi UUd nya karena DPRD Mentawai belum mengetahui naskah akademiknya.

 

“Bahkan sebelumnya kita tidak pernah ada tahu soal RUU Provinsi Sumatera Barat, tidak pernah ada konsultasi publik, tidak pernah ada disosialisasikan soal ini, pertemuan dengan masyarakat Mentawai belum ada dan kita tidak pernah ada hadiri soal ini, untuk itu DPRD akan kembali berdiskusi, dengan pergerakan kawan-kawan langkah lain harus kita uji MK. Karena Mentawai berada di wilayah Sumatera Barat kita akan berjuang, bersuara tentu tidak boleh juga ada yang tidak merasa nyaman ditetapkannya UU Sumatera, harapan kita dapat mengakomodir karakteristik Mentawai secara khusus,” kata Jakop.

 

Lima OKP tersebut yakni Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Kabupaten Kepulauan Mentawai (ISKA), Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia Kabupaten Kepulauan Mentawai (PIKI), Gerakan Angkatan Muda Indonesia (GAMKI), Pemuda Katolik dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

 

Isi pernyataan sikap 5 OKP tersebut, mereka mendesak pemerintah agar tidak memasukkan materi muatan dalam Undang-undang mengenai agama dan adat karena bersifat privasi dan sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila.

 

Kemudian mereka mendesak Bupati dan DPRD Mentawai melanjutkan pernyataan ini kepada pemerintah pusat dan menyatakan legal standing atas diundangkannya Undang-undang tentang Provinsi Sumbar.

 

Selain itu 5 OKP ini mendesak DPRD Mentawai agar melakukan berbagai upaya termasuk judicial review UU Provinsi Sumbar melalui jalur partai dan organisasi kemasyarakatan lainnya, dan mempersiapkan dan mengorganisir pengajuan gugatan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.


Kemudian meminta dan mengajak seluruh elemen masyarakat, tokoh masyarakat dan mahasiswa Mentawai di berbagai kota memberikan perhatian dan menyatakan memiliki legal standing dan menolak Undang-undang Provinsi Sumbar.

 

 

BACA JUGA