PADANG-Dr. Rijel Samaloisa, dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa di Yogyakarta menyebut Mentawai tidak diperhitungkan dari sisi politik pemerintahan, hal itu dikatakannya terkait pengesahan UU Sumatera Barat.
Rijel, putra Mentawai kelahiran Bosua, Sipora Selatan, Mentawai mengatakan jika Mentawai diperhitungkan maka pasti akan dilibatkan dalam kajian regulasi kebijakan apalagi tema sangat penting menyangkut UU Provinsi Sumatera Barat. “Ini kan tidak ujuk-ujuk langsung UU tentang Provinsi Sumatera Barat, setahun yang lalu kan ada perdebatan tentang Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) , tetapi kita terjebak dan merasa ini sudah selesai, ternyata pada bulan Juni ini muncullah UU ini,” katanya, Senin (18/7/2022).
Berita Terkait:
UU Provinsi Sumatera Barat Menuai Polemik
Karena itu dia menyayangkan tidak ada respon dari Pemda Mentawai baik eksekutif dan legislatif bahkan tidak ada pernyataan apapun. Justru yang merespon tokoh masyarakat dan mahasiswa.
Meski demikian Rijel merasa UU ini tidak menjadi ancaman karena Mentawai sudah menjadi bagian dari Sumatera Barat sejak ratusan tahun sehingga eksistensinya sudah diakui walaupun di sisi kebijakan perpolitikan tidak begitu diakomodasi. “Saya kira sangat naïf kemudian Pemda Sumatera Barat atau para politisi mengenyampingkan Mentawai,” katanya.
Padahal menurut dia, selama ini orang Mentawai baik di pemerintahan maupun masyarakatnya bisa hidup harmonis dan berdampingan dengan etnis Minangkabau dan etnis lain di Sumatera Barat, harmonisasi ini sesungguhnya modalitas membangun Mentawai yang majemuk dan toleran, sikap ini harus dipertahankan bahwa perlu belajar soal toleransi dan pluralisme kepada Mentawai.
“Daerah lain perlu melihat Mentawai lebih terbuka dan kemudian menghargai keberagaman kita, tidak hanya budaya, tidak sukunya tapi termasuk keyakinan,” katanya.
Dia mengatakan, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, Mentawai yang berbeda dari sisi etnis, budaya hingga keyakinan adalah bagian dari Provinsi Sumatera Barat dan perbedaan itu harus diterima sebagai kebhinnekaan Indonesia.
Karena itu dia mengimbau warga Mentawai tidak reaktif terkait munculnya gejolak menjadi provinsi sendiri. Rijel justru berharap tokoh masyarakat dan Pemerintah Mentawai lebih memperjuangkan pemekaran kabupaten, misal Siberut menjadi dua kabupaten, Sikakap menjadi dua kota.
Pemekaran ini menurutnya lebih penting karena wilayah Mentawai yang cukup luas jika hanya menjadi satu kabupaten. Problem Mentawai sebagai wilayah 3T akan sulit teratasi jika kondisi masih seperti saat ini dimana anggaran kabupaten minim menjangkau semua kecamatan di empat pulau.
“Kita perlu dukungan politik untuk pemekaran daerah agar Mentawai lebih berkembang, jangan terlalu emosional karena UU ini. Saya kira perlu kita pikirkan ulang lagi karena bagaimanapun bagi saya untuk saat ini Sumatera Barat menjadi tempat kita berlindung, tempat kita bersama-sama,” katanya.
Rijel yakin tanpa disebutkan dalam UU Sumatera Barat, tapi secara kultural suku Mentawai diakui dan dilindungi sebagai bagian dari Sumatera Barat. Meski demikian, dia menghargai pihak-pihak yang akan mengajukan yudicial riview UU ini.