JAKARTA– Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi mengatakan persoalan perubahan iklim sudah sangat sering diperbincangkan, namun solusinya jarang diungkapkan.
“Sumber emisi terbesar di Indonesia berasal dari sektor berbasis lahan termasuk kebakaran lahan dan hutan. 33% emisi dari sektor energi dan 53% dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan,” kata Zenzi saat menjadi pembicara kegiatan Editor Meeting secara virtual yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Sabtu (12/3/2022)
“Sumber emisi terbesar di Indonesia berasal dari sektor berbasis lahan termasuk kebakaran lahan dan hutan. 33% emisi dari sektor energi dan 53% dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan,” kata Zenzi.
Dari semua provinsi di Indonesia, lima kontributor teratas untuk emisi karbon di sektor kehutanan pada tahun 2010 berturut-turut adalah Riau, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, tempat ekspansi perkebunan kelapa sawit terjadi.
“Menurut penelitian terbaru dengan melihat penggerak penggundulan hutan di tingkat global, ditemukan bahwa antara tahun 2011-2015 di Asia Tenggara laju deforestasi mencapai 39 juta hektar. Penyebab utama deforestasi adalah konversi hutan menjadi komoditas, terutama minyak sawit. Persentase tersebut mencapai 79% antara 2011-2015,” katanya.
Dengan melihat mendesaknya masalah perubahan iklim ini, menurut Zenzi masalah ini harus terus dibicarakan dan dicari solusinya termasuk dalam pertemuan G20 di Bali tahun ini.
Presidensi G20 Indonesia tahun ini bertemakan Recover Together, Recover Stronger akan mengangkat tiga isu prioritas mengenai lingkungan. Ketiga isu tersebut yaitu dukungan pemulihan lingkungan yang lebih berkelanjutan; meningkatkan tindakan berbasis darat dan laut untuk mendukung perlindungan lingkungan dan tujuan iklim; serta meningkatkan mobilisasi sumber daya untuk mendukung perlindungan lingkungan dan tujuan iklim.
Menurut dia, ada tujuh agenda prioritas yang akan dibags dalam G20 mendatang, tiga diantaranya bisa masuk dalam pebicaraan soal mengatasi perubahan iklim yakni pembahasan soal pembiayaan berkelanjutan, cross border payment, dan perpajakan internasional.
Pada kesempatan yang sama, Co Chair Youth20 (Y20) Gracia Paramitha mengatakan bahwa isu perubahan iklim selalu menjadi agenda tahunan G20 sejak tahun 2009. Namun demikian, menurut Gracia yang akan dibicarakan pada pertemuan internasional akan fokus pada energi transisi bukan iklim.
“Kenapa yang dibicarakan bukan iklim, melainkan energi? Karena sebelumnya pada KTT G20 di Roma, energi disebutkan sebagai salah satu dari tiga besar penyebab krisis iklim terutama dari sektor pertambangan dan mineral. Makanya jadi jargon, bukan di G20 saja namun perhelatan global lainnya,” kata Gracia.
Dikatakan, poin penting dari pembahasan transisi energi di antaranya yaitu akses energi, teknologi energi bersih dan pendanaan.
Sementara itu Supervising Assignment Editor CNN Indonesia TV Irvan Imamsyah, mengatakan penting bagi media untuk dapat membingkai isu perubahan iklim menjadi isu yang lebih dekat dengan masyarakat.
“Kita butuh mengkontraskan agar isu-isu yang dibahas oleh pemimpin G20 bisa terhubung dan mendapatkan atensi masyarakat yang terdampak langsung oleh perubahan iklim. Saat ini, isu perubahan iklim masih dianggap sebagai isu elit dan tidak mudah dipahami oleh masyarakat,” kata Irvan.
Plt. Ketua Umum SIEJ, Joni Aswira Putra dalam sambutannya mengatakan SIEJ berharap kegiatan editor meeting ini dapat mendorong media untuk semakin menyuarakan isu perubahan iklim pada G20 dengan pengemasan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
“Bagi publik, G20 ini masih elitis sekali. Seringkali jurnalis kurang maksimal menerjemahkan isu ini ke dalam informasi yang popular dan mudah dipahami masyarakat,” ujar Joni.