SIKABALUAN- Panggerejan Panggre (65), salah seorang warga Dusun Nangnang Desa Muara Sikabaluan, Siberut Utara merasa tubuhnya lemas. Nasi putih dingin yang sedang dimakannya seakan tak mampu mengganjal perutnya yang lapar.
"Tak makelei mukom bare (Tidak biasa makan nasi)," katanya pada Mentawaikita.com, Jumat (15/10/2021).
Bila dibandingkan antara makan sagu dengan makan nasi, Panggerejan merasa lebih kuat dan tahan lapar saat makan sagu.
"Barana siburuk sagu lek kan ku. Atak mabesik tubungku. Jangjang lek kupukarajo (Dari dulu hanya makan sagu. Tidak ada badan yang sakit. Badan terasa ringan saat bekerja," katanya.
Namun karena mendapatkan tepung sagu saat ini cukup sulit karena sudah jarang dikonsumsi, saat ini masyarakat Mentawai sudah lebih banyak makan nasi karena mendapatkan beras lebih mudah, banyak dijual di warung.
"Mukom sagu maentek ita. Mareu tama laje (makan sagu kita kenyang. Lama laparnya)," katanya.
Keisa (50) salah seorang ibu rumah tangga di Sirilanggai Desa Malancan mengatakan untuk makanan sehari-hari di rumahnya tidak selalu makan nasi. Namun diselingi antara nasi dan sagu.
"Kadang hari ini sagu besok nasi. Atau kadang dalam sehari itu saya masak nasi dan sagu," katanya.
Kedua bahan makanan pokok tersebut, dikatakan Keisa tidak sulit didapat. Beras banyak dijual di warung yang ada di Sirilanggai atau di Sikabaluan sementara sagu bisa dibeli dari warga yang masih mengolahnya.
"Kalau mereka sedang menyagu saya beli satu karung. Bisa untuk satu atau dua bulan. Tergantung seringnya kita memasaknya," katanya.
Karolina (38), salah seorang guru di Sikabaluan mengatakan jika ingin memakan sagu, dirinya harus memesan dulu kepada orang yang mengolahnya di Bojakan atau pedagang dari Monganpoula yang biasa berjualan di Pasar Sikabaluan.
"Makan sagu enak jika ada sup ikan, sagunya dimasak dalam bamboo atau dibungkus daun sagu,” katanya.
Karolina membeli 1 kilogram tepung sagu seharga Rp10 ribu, biasanya bisa untuk empat hingga lima kali masak. Sedangkan untuk beras, biasanya habis dua tekong susu kental manis sehari.
Sagu dan Budaya Mentawai
Ketersediaan sagu tak hanya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam acara punen atau pesta adat, sagu menjadi makanan utama selain keladi, pisang. Karena dalam punen banyak hidangan ikan dalam bentuk sup. Misalnya sup babi dan ayam.
"Sagu tidak bisa dilepas dalam budaya orang Mentawai," kata Salim Tasirilotik, guru Budaya Mentawai di SDN 09 Muara Sikabaluan.
Lebihlanjut dikatakan Salim, meski mengikuti perkembangan zaman sagu sangat penting bagi orang Mentawai. Karena nasi tak bisa menggantikan sagu terutama dalam budaya orang.
Dalam setiap acara punen sagu menjadi makanan pokok utama. Seperti punen putalimogat (pernikahan) mulai dari acara persiapan punen hingga pemberian iban toga (ikan untuk anak) semua makanan pokok utamanya sagu dan keladi.
"Hanya karena ada acara jamuan dengan mengundang kenalan dan teman-teman saja yang memakai hidangan dengan makanan nasi. Selebihnya hanya sagu dan keladi," kata Salim.
Dahulu, sebelum pesta, warga Sikabaluan biasanya mengolah sendiri sagu namun sekarang cukup dipesan saja kepada orang yang mengolah sagu di daerah Sirilanggai, Monganpoula atau Bojakan, jelas Salim.
Nilai penting sagu dalam budaya Mentawai tak dapat terpisahkan karena sagu menjadi salah satu alak toga (mas kawin) dan tulou (denda adat). Misalnya di Dusun Nangnang dari lima macam alak toga seperti babi, periuk, kuali, parang/kampak dan sagu. Sagu yang diambil biasanya sanga mata (satu bidang ladang sagu yang terdiri dari puluhan batang sagu).
Manfaat sagu bagi Orang Mentawai tak hanya bagian batangnya saja, namun hampir semua bagiannya bisa digunakan. Misal daunnya, diolah menjadi tobat (atap rumah), menjadi bahan kerajinan tangan, kulit sagu untuk kayu bakar setelah dikeringkan.
Di Malancan, dikatakan Ramayati, sagu digunakan untuk menjamu tamu undangan dari luar wilayah Desa Malancan. Misalnya kunjungan tim dari kecamatan, kabupaten dan daerah lainnya. Sagu yang dihidang biasanya sagu yang dimasak dalam daun sagu.
"Biasanya sebelum mereka datang mereka pesan. Apalagi kunjungan tim penggerak PKK," katanya.
Sagu Lebih Unggul dari Nasi
Jika disuruh memilih antara sagu dengan nasi, Keisa lebih memilih sagu karena harganya lebih murah dan tahan untuk dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
"Sagu lebih unggul," katanya.
Untuk satu karung tepung sagu isi 10 kg dibeli dengan harga Rp50 ribu, bisa bertahan dua minggu hingga satu bulan bila dimasak dua kali dalam satu hari seperti untuk makan siang dan makan malam. Sedangkan beras, dengan harga sama hanya bisa dikonsumsi untuk dua hingga tiga hari. Karena untuk sekali memasak beras dalam sehari menghabiskan 1 kg untuk dimasak siang dan malam.
Meski kebun sagu mulai berkurang namun untuk di Sirilanggai masih tergolong banyak. Hanya masyarakat yang mengolahnya hitungan jari dan tidak rutin seperti ditempat lain.
Sebut saja Markus Siripribu (60), warga Dusun Sirilanggai yang masih mengolah sagu. Sagu yang diolahnya selain untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk dijual kepada masyarakat yang membutuhkan.
Menurut dia, satu batang sagu yang sudah tua bisa menghasilkan 15 hingga 25 karung tepung sagu ukuran karung beras 10 kg. Sedang waktu mengolah satu batang sagu bisa tiga hari hingga satu minggu. Bila memarut sagu menggunakan mesin parut maka waktu mengolahnya lebih singkat. Bila memarutnya masih secara tradisional maka membutuhkan waktu dan tenaga yang agak lama.
Untuk satu batang sagu bila dikonsumsi satu keluarga bisa bertahan empat hingga enam bulan. Bila diselingi dengan makanan lainnya seperti beras, pisang atau keladi maka satu batang sagu bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga enam hingga delapan bulan.
"Namun karena sekarang ada tren dimana makan nasi lebih terlihat mewah terutama anak-anak dan remaja", katanya.
Guna mendapatkan beras dalam kehidupan sehari-hari, Markus menjual atau menukarkan sagu yang diolahnya kepada masyarakat lainnya yang mau membeli sagu atau menukar sagu dengan beras.
"Apalagi anak-anak sekarang lebih senang makan nasi," katanya.
Markus menjual tepung sagu per karung antara Rp50 ribu hingga Rp70 ribu, tergantung pembeli. Bila pembeli datang langsung menjemput maka harga Rp50 ribu per karung, sementara bila diantar ke Malancan dan Sikabaluan bisa dijual dengan harga Rp70 ribu per karung.
Meski ada yang dijual, Markus tidak rutin mengolah sagu karena mengingat tidak begitu banyak orang yang makan sagu. Meskipun ada namun tidak mengkonsumsi sagu secara rutin didalam keluarga.
"Ibaratnya nasi sudah makanan pokok, sagu sebagai tambahan saja," katanya.
Kebutuhan sagu akan meningkat bila ada pesta adat atau saat Natal dan tahun baru karena sagu dapat diolah menjadi salah satu bahan membuat kue seperti kue sapik, kembang loyang, sagun-sagun bakar serta beberapa jenis kue lainnya.
Selain dua momen itu. Markus kadang mengolah sagu menjelang tahun ajaran baru untuk menambah biaya kebutuhan anak sekolah seperti membeli seragam, sepatu, tas dan alat tulis.
"Kadang saya sampai bawa ke Malancan untuk menjual sagunya," katanya. Jarak Malancan dengan Sirilanggai sekira 15 km dilaluinya dengan berjalan kaki sambil menggendong karung sagu.
Cetak Sawah Gagal
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai pernah mencanangkan program cetak sawah 1.000 hektar pada 2012 lalu untuk mendorong swasembada beras, sebab sudah banyak Orang Mentawai yang menkonsumsi nasi.
Sebenarnya program sawahnisasi di Mentawai ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an akhir termasuk di Siberut Utara. Program ini semakin lama membuat sagu sebagai makanan pokok mulai tersingkir digantikan beras.
Sirilanggai termasuk sebagai salah satu daerah sasaran program ini dengan target 30 hektar luas sawah. Pemerintah memberikan dana untuk mengolah sawah, pengadaan obat-obatan, bibit dan peralatan kerja. Pada pelaksanaan perdana ini sawah berhasil dan beruntung. Namun ketika dilanjutkan pada penanaman kedua, sawah gagal panen sehingga sawah ditinggal pada 2014. 2015 kembali dilanjutkan penanaman dan hasilnya cukup menggembirakan.
"Kami hasilnya untuk seperempat hektar sekira 100 kilogram berasnya. Tidak memuaskan namun ada hasil dari pada sebelumnya," kata Barnabas Saerejen anggota kelompok sawah Sipoinungnungan.
Lebihlanjut dikatakan Barnabas, biaya yang dikeluarkan untuk mengolah sawah tak sebanding dengan hasil yang didapat sebab dia harus mempekerjakan dua orang tenaga kerja untuk membersihkan lahan hingga penanaman.
"Kami kerjakan selama 14 hari hingga penanaman. Tenaga kerja itu satu hari Rp50 ribu per orang diluar biaya makan dan minum. Itu belum termasuk saya dan istri," katanya.
Tak hanya mengeluarkan biaya. Waktu tersita lebih banyak tersita ke sawah sehingga tak sempat lagi mengurus ladang pinang dan ternak babi. Aktivitas membersihkan ladang dilakukan usai menanam padi. Namun saat padi mulai berbuah, dia kembali fokus ke sawah.
"Misalnya melakukan penyemprotan, mengusir hama hingga panen", katanya.
Sementara Afdal Martin, anggota kelompok sawah Pusoatan yang ada di Malancan mengatakan gagalnya panen sawah karena kelompok masyarakat yang tidak fokus dan kurangnya pemahaman akan bersawah.
"Pengerjaannya tidak serentak. Ada yang memulai dan ada yang tidak. Ini jadi rawan terserang hama," katanya.
Bila berfokus untuk bersawah hasilnya akan memuaskan. Misalnya pada 2020 Malancan pernah melakukan pengiriman beras ke Tuapeijat untuk dijual secara perorangan. Ada yang menjual hingga 300 kilo gram per orang.
"Waktu itu untuk mempromosikan Desa Malancan pemerintah desa pengadaan karung beras dengan nama Desa Malancan," katanya.
Namun pada awal 2021 bercerita lain lain. Hasil panen gagal. Faktor kegagalan panen karena kemarau dan bibit yang tidak unggul karena bibit yang digunakan masih bibit dari hasil panen padi sebelumnya.
Juni Ardi Sakela'asak, anggota kelompok sawah Sinaki yang ada di Malancan mengatakan saat 2020 ia berhasil mendapatkan 100 kg beras. Ada yang dijual di sekitar Malancan dan ada yang di luar Malancan sesuai yang dipesan oleh kerabat. Harga jual antara Rp11 ribu hingga Rp12 ribu per kg.
"Untuk kebutuhan keluarga bisa terbantu sekira satu hingga dua bulan," katanya.
Tapi pada panen awal tahun 2021 terjadi kegagalan karena musim kemarau yang terjadi diakhir tahun 2020 hingga menjelang panen 2021 karena bibit yang ditanam pada umumnya bibit yang berusia panen empat bulan. Terjadinya kegagalan panen awal tahun membuat masyarakat terlambat untuk mengolah sawah sehingga penanaman.baru dilakukan pada Oktober 2021 yang menurut perkiraan akan panen pada Januari 2022.