PADANG—Sudah 76 tahun Indonesia merdeka masyarakat adat
masih terus berjuang memperoleh pengakuan dan kedaulatan atas wilayah adatnya. Menteri
LHK pada 2019 mencanangkan target 6,5 juta hektar hutan adat di Indonesia dapat
ditetapkan. Namun hingga Juli 2021, sesuai siaran pers KLHK, capaian penetapan
hutan adat di Indonesia baru 59.442 hektar.
Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya dikutip dari siaran pers pada Senin (16/8/2021), perlu adanya sinergi antar kementerian dan lembaga karena persoalan masyarakat hukum adat tidak bisa dituntaskan KLHK saja karena ada manusia, budaya maupun kawasan bukan hutan yang berada di kewenangan yang berbeda.
“Selain itu perlu pemahaman Pemerintah kabupaten/kota sebagai garda terdepan dalam upaya perlindungan MHA dan kearifan lokalnya melalui upaya-upaya identifikasi dan verifikasi MHA yang ada di wilayahnya,” kata Siti.
Rendahnya capaian target penetapan hutan adat menurut Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Rifai, karena proses pengakuan masyarakat hukum adat berbelit-belit dan harus melalui proses yang sangat panjang.
“Masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum harus diakui melalui peraturan daerah tingkat kabupaten/kota yang lahir secara politik. Jika kepentingan masyarakat hukum adat bertentangan dengan kepentingan politik (lokal) bisa saja perda tidak akan disetujui,” katanya Senin (16/8/2021).
Dia mencontohkan proses lahirnya perda pengakuan masyarakat hukum adat di Mentawai yang disebut Perda Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Mentawai butuh sekitar lima tahun untuk diketok palu. Setelah disahkan pun proses keluarnya SK pengakuan dan penetapan dan masyarakat hukum adat pun butuh sekira 3 tahun.
“Karena pengakuan ini penting, kalau betul-betul ingin mengakui masyarakat hukum adat, maka permudahlah prosesnya, sederhanakan prosedurnya karena banyak daerah di tempat lain tidak dapat mengajukan penetapan hutan adat karena belum ada perda pengakuan masyarakat hukum adat,” katanya.
Prosedur yang disederhanakan, misalnya tak perlu harus ada perda untuk pengajuan penetapan hutan adat, namun menurut Rifai cukup dengan SK Bupati saja. Penyederhanaan prosedur ini dapat dimasukkan dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat. “Selain itu, percepat pembahasan RUU Masyarakat adat dan segera tetapkan,” katanya.
Rumitnya pengakuan terhadap masyarakat adat menurut Rifai mencerminkan bahwa masyarakat adat sebagai sebuah entitas di Indonesia masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Padahal tujuan kemerdekaan Indonesia salah satunya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Ini adalah janji (pendiri) negara kepada seluruh komponen bangsa Indonesia,” katanya.
Keadilan yang muaranya untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia juga dijelaskan dalam UUD 45, yang menyebut tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum. “Bagaimana caranya? Dalam Pasal 33 UUD 45 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh negara, dalam konteks ini dikuasai bukan berarti memiliki, namun sumber daya alam yang ada digunakan sebesar-besarnya untuk masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Namun menurut Rifai, selama ini fokus negara untuk mengurus warganya agar sejahtera baru kepada perseorangan, hal ini dapat dilihat dari kebijakan soal badan usaha dimana perseorangan atau perkumpulan perseorangan dapat mengajukan badan usaha untuk mengakses berbagai izin pemanfaatan atau pengelolaan hutan.
“Untuk masyarakat adat masih terabaikan, kalau pun ada pengakuan kepada masyarakat adat harus bersyarat misalnya harus melalui proses penetapan MHA yang sebelumnya harus ada perda pengakuan,” ujarnya.
Inilah yang disebut Rifai sebagai bentuk ketidakadilan negara kepada masyarakat hukum adat, jika perorangan untuk mengurus izin badan usaha cukup mendatangi notaris dan memenuhi semua persyaratan untuk mengakses izin pengelolaan hutan, masyarakat hukum adat harus menjalani proses berliku. Mulai dari kewajiban ada perda, proses identifikasi dan verifikasi.
Momentum Percepat
Pengakuan MHA
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-76 hari ini harus menjadi momentum bagi pemerintah mempercepat pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan hutan adat.
Menurut Askurnis, Kepala Bidang Pengorganisasian YCMM, luas wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah diakui dan ditetapkan Bupati Mentawai di 11 uma atau suku dampingan YCMM baru 7.000 hektar lebih dari 20 ribu hektar lebih yang sudah dipetakan. Wilayah yang sudah dipetakan itu akan segera diusulkan untuk ditetapkan.
“Sementara hutan adat yang sudah diusulkan YCMM 6.746,98 hektar ke Kementerian LHK namun proses penetapan mandek karena verifikasi belum bisa dilakukan dengan alasan pandemi,” kata Askurnis menambahkan.
Untuk mempercepat capaian penetapan hutan adat di Mentawai, Rifai mengusulkan Pemda Mentawai melalui dinas/OPD terkait memfasilitasi proses identifikasi masyarakat hukum adat karena masyarakat akan sulit melakukan identifikasi secara mandiri. Selain itu, dana desa dapat didorong untuk mengakomodir anggaran proses pengakuan masyarakat adat di wilayah desa terkait, dan terakhir, dapat juga mengundang lembaga lain memfasilitasi proses pengakuan itu.
Sementara hutan tingkat pusat, Rifai berharap KLHK memperbaharui peta hutan adat dan wilayah indikatif dengan target luasan bertambah. Lalu delegasikan percepatan penetapan hutan adat ke Dinas Kehutanan Provinsi misal untuk proses verifikasi.
“Tantangan yang dihadapi masyarakat adat Mentawai masih besar, meski ada perda namun prosedurnya yang cukup detil dapat menjadi hambatan bagi masyarakat adat melakukan identifikasi secara mandiri,” ucapnya.
Pemda Mentawai menurutnya harus menyadari hal itu karena jika Pemda berkomitmen untuk melindungi masyarakat adat Mentawai, akan berkejaran dengan waktu. “Ingat, jika Pemda Mentawai tidak cekatan mengeluarkan SK Pengakuan maka akan kalah dengan izin-izin eksploitasi hutan yang akan dikeluarkan pemerintah pusat yang muaranya pada konflik dan kemiskinan,” katanya.