SIKABALUAN-Sambil memberikan minuman kepada anaknya,
Srilaila Agustari. Tani Marjoni Sakerebau, warga Desa Muara Sikabaluan Kecamatan
Siberut Utara memberikan kekuatan dan sangat kepada anak perempuannya yang tengah
bersiap mengikuti prosesi pakilia pada Sabtu (13/2/2021) di halaman rumahnya.
Srilaila Agustari dipersunting Randika Segah, seorang pemuda asal
Kalimantantengah. Pakilia merupakan prosesi menerima keluarga baru di sebuah
uma atau keluarga di Sikabaluan, Mentawai.
Bukan tanpa
alasan Tani Marjoni memberikan kekuatan dan semangat pada putri sulungnya.
Selain prosesi yang sangat langka diikuti dan dilaksanakan di kalangan masyarakat yang beragama Islam, Ela, panggilan akrab Srilaila Agustari phobia
memegang ayam.
"Dia
takut memegang ayam", kata Tani Marjoni memberikan penjelasan kepada
beberapa anggota keluarga besarnya terkait anaknya yang tidak mau memegang ayam
untuk digenggam selama prosesi pakilia berjalan.
Pihak
keluarga Tani Marjoni dan anak sulungnya yang menikah bersepakat dan memutuskan
untuk melaksanakan prosesi Pakilia sebagai adat dan budaya pesta pernikahan di
Sikabaluan, meski prosesinya tak sesempurna yang dilakukan masyarakat lainnya
yang masih paham tahapan dan sukat
pakilia (pemberkatan). "Anak saya juga meminta dan merasa bangga
dengan memakai budaya Mentawai,” katanya.
Sebelum
hari pelaksanaan pakilia, pada Jumat (12/2/2021) di rumah Tani Marjoni
dilangsungkan akad nikah Srilaila Agustari anak dari Tani Marjoni dan Ridawati
dengan Randika Segah anak dari Dehes dan Endang Suharti. Sedangkan acara respsi
dilaksanakan pada Sabtu malam hingga minggu.
Pelaksanaan
prosesi pakilia di Sikabaluan khususnya di Dusun Nangnang biasa dilakukan.
Namun yang membuat tak biasa kali ini karena keluarga yang melaksanakan berasal
dari agama Islam. Karena di Dusun Nangnang yang biasa melaksanakan hanya yang
beragama Katolik.
Untuk
membacakan sukat pakilia, pihak keluarga meminta kepada Salim Tasirilotik,
seorang guru budaya Mentawai di SDN 09 Muara Sikabaluan. Karena di Sikabaluan
hanya satu orang yang biasa membawakan sukat pakilia, yaitu Taleku Sikaraja
yang sedang dalam keadaan sakit. Karena tidak hafal, sukat yang diucapkan
ditulis dalam selembar kertas dan dibawa oleh Salim saat akan mengawali prosesi
pakilia.
"Makna
yang terkandung didalamnya saya mengerti. Namun tidak hafal kata-katanya.
Mudah-mudahan ini awal dan akan terbiasa kedepannya,” kata Salim Tasirilotik
pada Mentawaikita.com, Minggu
(14/2/2021).
Untuk
atribut budaya lainnya tetap dipakai dan menyesuaikan kondisi di Sikabaluan. Pengantin dan pendampimg tetap memakai riasan kepala, kalung dan
ikat pangkal lengan, membawa ayam dan daun katsaila. Sementara pengantin
perempuan memakai baju lengan panjang untuk meminimalisir terbukanya aurat.
Ustad Thomas, salah seorang ustad di wilayah Desa Muara Sikabaluan yang ikut hadir dan terlibat membantu dalam acara pakilia mengatakan secara agama Islam dan budaya Mentawai tidak ada yang salah. Hanya bagi orang Mentawai yang beragama muslim selama ini tidak menjalankan prosesi budaya karena menghindari persinggungan budaya Mentawai yang dalam berbusana terbuka, sementara pada agama Islam melarang terbukanya aurat.
"Letaknya
hanya soal aurat. Maka pihak keluarga ini karena bangga dengan budaya Mentawai
dan ingin menjalankan prosesi adat dan budaya dengan meminimalisir terbukanya
aurat khususnya bagi pengantin perempuan,” katanya.
Diakui
Thomas, ada agama yang memang sangat terbuka dan berbaur dalam adat dan budaya,
namun ada agama yang menghargai dan mencintai budaya dengan batasan nilai
agamanya.
"Karena
tidak ada pilihan saja. Adat dan budaya itu sudah ada sejak dulu, sementara
agama memiliki nilai dan kaidah tersendiri. Cara menyelaraskan ini yang harus
kita pahami dan lihat dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Mentawai yang
memiliki agama,” katanya.