Benang Merah Hukum Adat dan Hukum Negara dalam Kasus-Kasus Kekerasan Seksual

Surya Purnama

Surya Purnama ( Legal Officer Yayasan Citra Mandiri Mentawai )



Benang Merah Hukum Adat dan Hukum Negara dalam KasusKasus Kekerasan Seksual Foto ilustrasi dari Pixabay.com

Diskursus atas tulisan Arsenius Sirirui (Sekretaris KAGAMA Kepulauan Mentawai) berjudul “Perempuan dan Anak; Adaptasi Hukum Adat vs Hukum Formal”

Senang sekali membaca tulisan Arsenius di halaman opini Mentawaikita.com pada Senin (6/juli/2020) berjudul  “Perempuan dan Anak; Adaptasi Hukum Adat vs Hukum Negara”. (https://mentawaikita.com/baca/4513/perempuan-dan-anak-adaptasi-hukum-adat-vs-hukum-formal).

Tulisan tersebut sangat menarik dijadikan diskursus untuk mencari benang merah dan harmonisasi eksistensi hukum adat dan hukum negara, karena faktanya hukum adat sering diabaikan keberadaannya sebagai salah satu sumber hukum, atau malah sebaliknya ketika suatu kasus diselesaikan secara adat, maka hukum negara seperti menutup mata dan menganggap kasusnya sudah selesai.

Sandrayati Moniaga - Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM dalam diskusi webinar yang diadakan Perempuan Aman berjudul “Pentingnya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat “Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat” menjelaskan bahwa hukum adat yang masih berlaku harus menganut nilai-nilai universal agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat adat (pengikutnya).

Maka melalui tulisan ini penulis mencoba untuk menganalisisnya dan menjelaskan bahwa dalam kasus-kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan dan anak, seperti yang baru-baru ini menimpa Keisa (KL) (14) di Kabupaten Kepulauan Mentawai, hukum adat dan hukum negara dapat saling berperan untuk meminimalisir terjadinya kasus-kasus yang sama dikemudian hari, bukan malah saling bertentangan satu sama lain (versus).

Kekerasan Terhadap Anak merupakan Delik Biasa

Dalam hukum negara Republik Indonesia (hukum pidana) kita mengenal delik (perbuatan/peristiwa pidana) dalam penanganan kasus-kasus pidana. Delik menurut para ahli dalam KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana) terdiri dari berbagai macam pembagian, namun yang sangat dikenal pada masyarakat umum adalah delik aduan dan delik biasa.

Apabila kita melirik kepada kasus menimpa KL (14), kita dalam menilai bahwa pelaku RP (46) saat ini dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah oleh UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 dan telah ditetapkan sebagai UU dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak.

Dari rumusan Pasal 81 ayat (1), (3), (5), (6) dan (7) UU Perlindungan Anak yang dapat disangkakan/dituntut kepada tersangka RP (46) seperti yang penulis jelaskan dalam tulisan sebelumnya (https://mentawaikita.com/baca/4499/pemberatan-sanksi-pidana-bagi-pelaku-kekerasan-seksual-pemerkosaan-terhadap-anak), terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pemerkosaan terhadap anak merupakan delik biasa dimana delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Maka kekerasan seksual terhadap anak proses hukumnya tidak dapat dihentikan oleh hukum lain karena merupakan delik biasa, termasuk hukum adat sendiri, hukum adat dapat menjadi alasan pemberat untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku, misalnya seperti dijelaskan dalam Arsenius dalam tulisannya, bahwa kebudayaan Masyarakat Adat Mentawai mengenal tulou atau suili sebagai hukuman bagi pelaku pelanggar aturan adat, bukan malah menjadi alasan untuk hukum negara tidak bertindak, sebagaimana jamak kita temukan dibanyak kasus kekerasan seksual.

Menjaga Eksistensi Hukum Adat

Dalam perjalanan sejarah hukum nasional Indonesia, istilah hukum adat (adatrecht) pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul De Atjehers. Van Vollenhoven memopulerkan adatrecht dalam bukunya Het Adatrecht van Nederland-Indie, istilah ini akhirnya dikenal luas di berbagai kalangan.

Secara implisit kedua ahli tersebut berpendapat bahwa untuk terus menjaga eksistensi hukum adat sebagai objek hukum, negara harus mengakui subyek yang mengembangkan hukum tersebut yakni masyarakat adat, agar tetap terus menjadi hukum yang eksis ditengah-tengah kebudayaan masyarakat. Namun yang menjadi persoalan bagi masyarakat adat saat ini adalah, sulit dan rumitnya legalitas dan pengakuan negara terhadap masyarakat adat.

Khusus untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai pemerintahan daerah telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 11 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Serta Peraturan Bupati (Perbup) No. 12 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Lewat kedua peraturan tersebut dan memberikan otonomi kepada masyarakat adat, hukum adat di Mentawai dapat terus terjaga, penting hari ini Pemerintah Daerah terus berusaha untuk mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat adat di mentawai agar dapat menjadi alasan-alasan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terkhusus di Mentawai.

BACA JUGA