Diskursus
atas tulisan Arsenius Sirirui (Sekretaris KAGAMA Kepulauan Mentawai) berjudul
“Perempuan dan Anak; Adaptasi Hukum Adat vs Hukum Formal”
Senang sekali membaca tulisan Arsenius di halaman opini Mentawaikita.com pada Senin (6/juli/2020) berjudul “Perempuan dan Anak; Adaptasi Hukum Adat vs Hukum Negara”. (https://mentawaikita.com/baca/4513/perempuan-dan-anak-adaptasi-hukum-adat-vs-hukum-formal).
Tulisan tersebut sangat
menarik dijadikan diskursus untuk mencari benang merah dan harmonisasi
eksistensi hukum adat dan hukum negara, karena faktanya hukum adat sering
diabaikan keberadaannya sebagai salah satu sumber hukum, atau malah sebaliknya
ketika suatu kasus diselesaikan secara adat, maka hukum negara seperti menutup
mata dan menganggap kasusnya sudah selesai.
Sandrayati Moniaga - Komisioner
Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM dalam diskusi webinar yang diadakan
Perempuan Aman berjudul “Pentingnya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat
“Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat” menjelaskan bahwa hukum
adat yang masih berlaku harus menganut nilai-nilai universal agar tidak
ditinggalkan oleh masyarakat adat (pengikutnya).
Maka melalui tulisan
ini penulis mencoba untuk menganalisisnya dan menjelaskan bahwa dalam
kasus-kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan dan anak, seperti
yang baru-baru ini menimpa Keisa (KL) (14) di Kabupaten Kepulauan Mentawai,
hukum adat dan hukum negara dapat saling berperan untuk meminimalisir
terjadinya kasus-kasus yang sama dikemudian hari, bukan malah saling
bertentangan satu sama lain (versus).
Kekerasan
Terhadap Anak merupakan Delik Biasa
Dalam hukum negara
Republik Indonesia (hukum pidana) kita mengenal delik (perbuatan/peristiwa
pidana) dalam penanganan kasus-kasus pidana. Delik menurut para ahli dalam KUHP
(Kitap Undang-Undang Hukum Pidana) terdiri dari berbagai macam pembagian, namun
yang sangat dikenal pada masyarakat umum adalah delik aduan dan delik biasa.
Apabila kita melirik
kepada kasus menimpa KL (14), kita dalam menilai bahwa pelaku RP (46) saat ini
dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah oleh UU No 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 dan diubah kedua kalinya
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 dan telah ditetapkan sebagai UU
dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU
No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak.
Dari rumusan Pasal 81
ayat (1), (3), (5), (6) dan (7) UU Perlindungan Anak yang dapat
disangkakan/dituntut kepada tersangka RP (46) seperti yang penulis jelaskan
dalam tulisan sebelumnya (https://mentawaikita.com/baca/4499/pemberatan-sanksi-pidana-bagi-pelaku-kekerasan-seksual-pemerkosaan-terhadap-anak),
terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh
korbannya. Dengan demikian, delik pemerkosaan terhadap anak merupakan delik
biasa dimana delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang
dirugikan (korban).
Maka kekerasan seksual
terhadap anak proses hukumnya tidak dapat dihentikan oleh hukum lain karena
merupakan delik biasa, termasuk hukum adat sendiri, hukum adat dapat menjadi
alasan pemberat untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku, misalnya seperti
dijelaskan dalam Arsenius dalam tulisannya, bahwa kebudayaan Masyarakat Adat
Mentawai mengenal tulou atau suili sebagai hukuman bagi pelaku
pelanggar aturan adat, bukan malah menjadi alasan untuk hukum negara tidak
bertindak, sebagaimana jamak kita temukan dibanyak kasus kekerasan seksual.
Menjaga
Eksistensi Hukum Adat
Dalam perjalanan
sejarah hukum nasional Indonesia, istilah hukum adat (adatrecht) pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum
berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul De Atjehers. Van Vollenhoven memopulerkan
adatrecht dalam bukunya Het Adatrecht van Nederland-Indie,
istilah ini akhirnya dikenal luas di berbagai kalangan.
Secara implisit kedua
ahli tersebut berpendapat bahwa untuk terus menjaga eksistensi hukum adat
sebagai objek hukum, negara harus mengakui subyek yang mengembangkan hukum
tersebut yakni masyarakat adat, agar tetap terus menjadi hukum yang eksis
ditengah-tengah kebudayaan masyarakat. Namun yang menjadi persoalan bagi
masyarakat adat saat ini adalah, sulit dan rumitnya legalitas dan pengakuan negara
terhadap masyarakat adat.
Khusus untuk Kabupaten
Kepulauan Mentawai pemerintahan daerah telah menerbitkan Peraturan Daerah
(Perda) No. 11 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai
kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Serta Peraturan
Bupati (Perbup) No. 12 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan
Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan
Mentawai.
Lewat kedua peraturan
tersebut dan memberikan otonomi kepada masyarakat adat, hukum adat di Mentawai
dapat terus terjaga, penting hari ini Pemerintah Daerah terus berusaha untuk
mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat adat di mentawai agar dapat menjadi
alasan-alasan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap
perempuan dan anak terkhusus di Mentawai.