Konsep perlindungan perempuan dan anak sama memaknainya melindungi keberlangsungan hidup manusia, bangsa dan negara, kelak mampu bertanggung jawab akan keberlangsungan kehidupan masa mendatang. Bila dikerucutkan secara spesifik pada paguyuban/kekerabatan suatu suku bangsa menjadi bagian penting akan keberlanjutan dan mempertahankan kekerabatan yang sudah dan tetap eksis dalam bernegara. Kekerabatan itulah kemudian memberikan nilai tambah dan unik terhadap Indonesia dibanding di negara lain.
Komunitas kekerabatan dalam konstitusi yang dikenal dengan sebutan masyarakat adat. Dalam kekerabatan juga terdapat kelompok perempuan, terutama anak, bagian penting memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Jaminan mewujudkan kesejahteraan dengan pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif oleh amanat konstitusi.
Perlindungan terhadap perempuan dan anak, berimplikasi pada kewajiban pemangku kepentingan untuk melaksanakan amanat regulasi, karena berpotensi sasaran korban para pelaku kekerasan seksual dan berbagai kekerasan lainnya. Konsep dasar demikian, melalui negara menuangkan ke dalam konstitusi, bahagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Hak bawaan yang melekat pada insan manusia dirumuskan dalam regulasi termasuk meratifikasi konvensi internasional mengenai pemenuhan hak perempuan dan anak. Arah kebijakan Pemerintah Indonesia pada pemenuhan hak dasar manusia, selanjutnya melahirkan berbagai regulasi sampai pada pembentukan Komisi Perlindungan Perempuan dan Komisi anak.
Tampaknya, Komisi ini cenderung berkedudukan layaknya sebuah gerakan sosial, dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Bentuk gerakan sosial, sudah pasti tidak memiliki jaminan dan kepastian hukum, sekedar kebutuhan bersifat insidentil, yakni saat muncul kasus. Pada tataran implementatif menunjukan kompleksitas dan/atau dirumitkan! untuk sungguh-sungguh memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak oleh pemerintah, tampaknya juga sekedar sebuah retorika. Retorika, berarti isu perempuan dan anak sekedar memenuhi kepentingan atau kuota politik yang bersifat sementara, bukan substansial menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan.
Menurut data Komnas Perempuan, tahun 2019 yang dirilis per-Juni 2020 menunjukan trend penurunan 4.898 kasus atau turun 7 % dari tahun 2018. Sementara 2.341 kasus kekerasan pada anak naik tahun 2019 atau naik 65% tahun 2018. Di Sumbar kasus Perempuan dan Anak tahun 2020 mencapai 15 kasus (https://regional.kompas.com/read/2020/03/06/11290681/ kekerasan-pada-perempuan-dan-anak-di-sumbar-meningkat-2020-ada-15-kasus?page =all). Di Kepulauan Mentawai, menurut data yang dirilis dalam aksi solidaritas, digelar berbagai organisasi kepemudaan maupun organisasi sosial lainnya mencapai angka 47 kasus sejak tahun 2005. Data periode januari sampai juni 2020 di Mentawai, mencapai sepuluh lebih kasus atau Mentawai menyumbang + 85 % kasus di Sumatera Barat.
Namun pasti banyak kasus yang tidak sampai kepada proses penegakan hukum formal, disebabkan berbagai faktor, termasuk faktor keluarga yang enggan melapor. Bahkan data yang diselesaikan berdasarkan hukum adat Mentawai bisa dipastikan ruwet untuk diperoleh. Belum lagi data kasus upaya traffiking, memanfaatkan kemiskinan untuk tujuan pendidikan semata dan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi diluar dan lintas wilayah Kepulauan Mentawai.
Data pada salah satu lembaga negara (maaf tidak sebut nama), posisi secara geografis Kepulauan Mentawai berpotensi besar secara luwes mengelola, bereksplorasi dan memanfaatkan peluang menjalankan aksi berbagai kejahatan. Bahkan sudah menjadi sasaran transit bagi pelaku berbagai kejahatan antara arah utara pulau Sumatera ke arah selatan sampai pulau jawa. Potensi kondisi geografis dan berbagai keterbatasan infrastruktur maupun sumberdaya pendukung lainnya, berada di luar radar pengawasan. Kerentanan kasus perempuan dan anak menjadi obyek berbagai kejahatan menjadi sasaran empuk untuk dimainkan.
Buah simalakama bagi Pemerintah setempat, perilaku beberapa kelompok masyarakat, perlu penataan dan mendapat perhatian serius. Salah satu desa/dusun di Kepulauan Mentawai, masa pendemi (Covid-19) dengan penerapan protokoler kesehatan, keberadaan berbagai jenis kapal yang berlabuh, menurut regulasi wajib memiliki sarana dan mematuhi protokoler kesehatan. Justru, kondisi demikian, masyarakat naik di atas kapal yang datang dari berbagai provinsi termasuk Jawa dengan berbagai alasan antara lain mengambil ikan, transaksi ekonomi dan berbagai alasan lainnya. Pola ini ternyata sudah berlangsung lama, sudah menjadi isu populer dan tidak asing bagi masyarakat setempat. Mirisnya lagi pengelola/anak buah kapal melebur bersama masyarakat setempat.
Secara logika berbaur dengan masyarakat, sesungguhnya tidak perlu diruwetkan, namun faktanya justru menyelinap berbagai kejahatan. Memang salah satu desa/dusun gambaran perilaku tersebut, sulit mengeneralkan gambaran kerentanan kejahatan. Setidaknya mampu mendeskripsikan pola ini dan tidak bisa dipungkiri akan dan/atau terjadi kemiripan pola dibeberapa lokasi lain dalam wilayah Kepulauan Mentawai. Dapat dibayangkan berbagai potensi kasus akan muncul, termasuk kasus perempuan dan anak.
Dewasa ini, penanganan kasus perempuan dan anak di Mentawai, cenderung menunjukkan pada konteks pencitraan, kemasan teknologi, terkesan lambat, kurang terkoordinasi yang menyebabkan salah satu kasus kekerasan seksual korban meninggal dunia. Kecenderungan menuangkan berbagai respon penanganan terhadap pelaku, termasuk publik/netizen menunjukan kesan biasa-biasa saja, justru tampak layaknya sinetron.
Berbagai bentuk reaksi dan kesan yang biasa saja terhadap pelaku, bukan tidak mungkin memiliki korelasi/faktor pendorong korban meninggal dunia. Korban, seyogyanya saat muncul kasus, secara cepat dan sigap memerankan psikolog yang bertugas menangani efek stres, malu, depresi dan sebagainya. Memanfaatkan potensi psikolog orang Mentawai dan di Mentawai, sesungguhnya sudah ditugaskan khusus untuk memberikan layanan trauma healing. Sesungguhnya sudah dapat pembelajaran trauma healing yang dilakukan bagi masyarakat Policoman tahun 2019. Bahwa kemudian berhasil atau tidak, akan tetapi upaya penanganan kasus terutama pada korban, dilaksanakan semaksimal mungkin.
Sebelumnya, tahun 2016, kasus terhadap perempuan berinisial J (19) di Asrama Kaum Tuapeijat, gagalnya upaya kekerasan seksual berujung pada pembunuhan, belum menemukan tersangka/pelaku. Sementara barang bukti sebagai petunjuk awal untuk menemukan pelaku sudah diamankan. Bila menurut tata penanganan menurut hukum formal dengan kemampuan yang luar bisa tenaga pengegak hukum, bukti awal akan mampu mendeteksi pelaku. Bandingkan kasus pembunuhan anak perempuan yang ditemukan dalam kardus di Kalideres Jakarta Barat Tahun 2015 (https://news.detik.com/berita/d-3107018/5-kasus-pembunuhan-fenomenal-di-jakarta-sepanjang-2015). Kasus dengan bukti awal tidak ditemukan, namun pada akhirnya tes DNA sperma pelaku, sehingga menemukan titik terang dan menetapkan tersangka.
Sebaliknya, pengungkapan kasus/pelaku, masyarakat, korban dan keluarga korban memiliki andil dan berperan penting agar mampu terungkap indentitas pelaku. Kondisi demikian, bisa saja menjadi fakta dan pemicu munculnya pengelolaan aksi yang dilakukan oleh berbagai organisasi kepemudaan dan organisasi sosial lainnya. Seluruh elemen penegak hukum, organisasi dan masyarakat ikut berpartisipasi melibatkan diri dalam aksi solidaritas perlindungan perempuan dan anak. Aspek positif, atas aksi solidaritas, menumbuhkan kesadaran bersama seluruh elemen masyarakat untuk terus ditingkatkan sampai pada turunnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sangat amat penting dan urgen mencurahkan tindakan serius kasus perempuan dan anak, potensi mempengaruhi terputusnya generasi bangsa. Sehingga kasus ini menjadi bagian dari exstra ondinary crime yang salah satu jenis sanksi adalah hukuman kebiri. Kebiri merupakan tindakan hukum dengan menyuntikan obat-obat kimia yang mengandung anafrodisiak, berfungsi menurunkan hasrat seksual dan libido. Tindakan kebiri kimia umumnya berlangsung tiga hingga lima tahun.
Beberapa negara sudah memberlakukan sanksi ini antara lain Amerika Serikat, Korea Selatan dan negara lainnya. Inggris sudah memberlakukan sejak tahun 1950-an. Namun Indonesia belum mendapatkan kesepakatan (resultante) untuk menerapkan dasar hukum terhadap kasus kejahatan luar biasa, meskipun secara legal formal sudah dibentuk melalui UU Nomor 17 Tahun 2016. Salah satu faktor sulitnya penerapan kebiri kimia adalah kesediaan dokter sebagai eksekutor dianggap melanggar kode etik kedokteran.
Menurut Eddy Omar S Hiariej, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan kejahatan serius yang kejam, mestinya juga dokter yang ditunjuk dan dilaksanakan atas perintah regulasi, bukan mencari alasan pembenar dan tidak boleh menolak. Kejahatan serius yang kejam atau kerap dikenal dengan kejahatan luar biasa, mestinya segala sumber daya kebijakan dan seluruh elemen yang berkepentingan, penanganan dilakukan juga dengan yang luar biasa. Berpijak pada konsep yang dipopulerkan Cicero, adegium solus populi suprema lex atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, pelaku kejahatan perempuan dan anak menyebabkan terputusnya generasi bangsa dan negara sebagai upaya memutus wabah predator, seyogiahnya tidak ada penolakan dan sudah keluar regulasi pelaksana sanksi kebiri.
Sanksi lain terhadap predator dengan pidana penjara paling rendah 5 tahun dan paling tinggi 15 tahun. Masa pidana penjara tersebut, predator akan memakai logika “lebih baik” melakukan kejahatan kepada lebih satu orang dan ancaman hukuman tetap minimal 5 tahun, karena memang sistim hukum Indonesia, pidana tidak boleh lebih dari 20 tahun penjara. Logika demikian, semestinya diperlukan strategi rumusan untuk mengantisipasi agar predator tidak menggunakan logika tersebut, terutama dalam aspek preventif.
Penanganan kasus, mestinya dilakukan dengan baik, cepat dan luar biasa agar mampu menunjukan kewibawaan dan independensi pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat, sehingga publik, terutama keluarga dekat korban menaruh kepercayaan, dengan menunjukkan trend positif penyelesaian kasus. Pada saat pelayanan keadilan bagi korban tidak memperoleh energi rasa keadilan, bisa berpotensi munculnya kasus baru yang akan mewabah predator-predator baru. Tidak bisa dipungkiri hingga saat ini belum ada data yang menunjukkan sanksi pidana menurut hukum formal dapat menurunkan dan/atau menghilangkan angka kekerasan.
Sesunguhnya dalam aspek regulasi, perlindungan perempuan dan anak termasuk sanksi predator sebagai bagian dari upaya preventif sudah ada di berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan upaya preventif dalam aspek kesetaraan gender memuat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, keterwakilan perempuan di Komisi Pemilihan Umum dan lain sebagainya. Pengaturan ini dimaksudkan agar dari domain kebijakan, perempuan lebih fokus mengurus kebijakan perlindungan bagi kaumnya dengan asumsi lebih mampu memahami arah kebijakan. Pembentukan lembaga/kementerian sampai pada perangkat daerah yang mengurusi perempuan dan anak.
Fakta bahwa berbagai upaya negara/pemerintah masih belum memberikan perkembangan penurunan kasus secara signifikan. Upaya untuk terus ditindaklanjuti secara serius oleh semua pihak, terlebih Pemerintah Daerah sampai struktur pemerintah terkecil di daerah, yakni dusun sebagai upaya melaksanakan kewajiban daerah melaksanakan amanat regulasi.
Masyarakat di level dusun, terutama bagi orang Mentawai memiliki upaya preventif terhadap kasus perempuan dan anak, selalu berkaitan akan nilai dan makna yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat sejak nenek moyang orang Mentawai. Sejak kelahiran seorang anak, proses pertumbuhan dan sampai kematian pun memiliki pantangan (keikei) dan larangan (suru’). Wujudnya, selalu diawali dan diakhiri dalam bentuk punen/lia atau prosesi ritual adat.
Salah satu yang dipraktekkan oleh orang Mentawai, pasangan muda yang sedang menjalin asmara, saat berkunjung kerumah perempuan, dilarang duduk berdua terpisah dengan keluarga perempuan yang sedang ada di rumah. Bertamu dan bergabung bersama keluarga perempuan. Pola ini masih dipraktekkan beberapa wilayah di Pulau Siberut. Namun wilayah lainnya sudah sulit dipraktekkan, bahkan muncul anggapan “kuno” atau tidak zamannya lagi. Animo ini menunjukan terjadinya pergeseran terhadap energi dari hukum adat.
Dampak dari pelanggaran tersebut, penerapan tulou atau suili bersifat elastif dan stuasional, bisa saat proses sebelum putalimougat. Biasanya saat membicarakan mas kawin (ala’ toga) atau bisa beberapa waktu/hari, setelah waktu/hari pasangan muda pulang berkunjung dirumah perempuan. Tulou atau suili umumnya dalam bentuk materi seperti ladang, ternak, bahkan mungkin tanah. Suili lebih tepat dan lebih sering digunakan oleh masyarakat pulau Siberut, untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena masuk kategori kasus yang bersifat tabu bagi orang Mentawai. Beberapa daerah di Mentawai menyebutnya masiraurau atau masisuili dengan pendekatan pengertian menghabiskan/memiskinkan.
Sekilas memang agak menunjukan makna yang menentang kebijakan pemerintah terkait pembangunan kesejahteraan atau ekonomi. Namun dalam prakteknya ternyata sipatalaga yang sudah memiliki kapasitas mempertimbangkan agar kebijakan pembangunan ekonomi mampu direspon aturan adat yang sudah ada sejak nenek moyang orang Mentawai. Salah satu langkah menurut hukum adat Mentawai, bila keluarga pelaku tidak memungkinkan untuk membayar denda, maka uma/kelompok kekerabatannya yang akan ikut membayar tulou.
Makna masiraurau sesungguhnya domain efek sosial, materi hanya sebagai perantara untuk menerapkan sanksi sosial. Sanksi sosial ternyata juga berdampak terhadap keluarga korban, melalui sipatalaga, karena materi dari hasil masiraurau sesuatu yang tabu. Sebab itu, tidak jarang bagi keluarga korban akan menjual atau mengganti yang diputuskan Sipatalaga dengan benda lain kepada orang lain. Tabu, materi mesti bersih dari segala perbuatan atas penguasaan materi.
Kasus perempuan dan anak, baik pelaku maupun korban yang mampu memberikan fungsi kontrol sosial sebagai hukum, berperan sebuah rekayasa sosial yang mampu menjadi kontrol sosial. Rekayasa sosial yang diterapkan orang Mentawai sejak nenek moyang, sesungguhnya menjadikan rujukan bagai pembentuk hukum. Menurut Sarjipto Rahardjo sanksi sosial memiliki kemampuan untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan kejahatan. Karena rekayasa sosial yang dipraktekan seluruh kekerabatan/uma, saling mengawasi dan memiliki hubungan sosial akan melahirkan konsep saling membutuhkan akan kenyamanan dan kedamaian.
Kemampuan sanksi sosial menurunkan kasus/sengketa dan positif adanya, mestinya tetap dipelihara, dijaga dan dikembangkan menjadi sumber kebijakan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa. Sanksi sosial dari tulou selama hidup, kekerabatan/uma dalam suatu komunitas/wilayah tetap bersemayam dalam pikiran dan ingatan mereka.
Pada saat sipatalaga melaksanakan tugas, masyarakat akan menunggu hasil dan otomatis menjadi buah bibir sampai dengan waktu yang tidak bisa dipastikan. Waktu yang tidak bisa dipastikan kemudian berperan konsep rekayasa sosial. Sipatalaga tidak menemukan petunjuk atau hasil untuk menangani kasus terutama perempuan dan anak, dapat meminta berbagai pertimbangan dan masukan semua pihak kepada pola penanganan final dengan melaksanakan tippu sasa.
Tippu sasa sulit diterjemahkan memaknainya ke dalam bahasa Indonesia, dan pelaksanaan dengan memotong jenis rotan yang sebelumnya sudah dilalui proses, lebih tepat disebut Ilia atau sejenis prosesi ritual adat. Dalam praktek sipatalaga sedapat mungkin untuk tidak mengabulkan prosesi tippu sasa sebagai putusan final dan mengikat. Penyelesaian kasus/sengketa selalu dengan konsep Sipatalaga (i) yang ditunjuk dan/atau ditetapkan baik keluarga korban atau kesepakatan para pihak. Dalam perkembangannya, Pemerintah Desa berperan ganda terutama kepala dusun, selain berposisi sebagai kepala dusun akan tetapi juga berposisi sebagai Sipatalaga.
Memahami beberapa kasus perempuan dan anak di Mentawai, umumnya disebabkan oleh permasalahan mendasar yakni kesejahteraan dan pendidikan, bukan menafikan faktor lain tetap memiliki korelasi. Keberadaan sumber daya alam, bukan menjadi alasan bagi orang Mentawai hidup dibawah garis kemiskinan. Secara logika sederhana, ukuran atau kriteria miskin di Mentawai tidak bisa dibandingkan dengan daerah lain. Umumnya tidak ada yang tinggal di kolong jembatan, makan yang tidak layak dan seterusnya, namun sebaliknya mereka memiliki tanah, kelapa, pisang, ternak dan kekayaan lainnya. Pada saat anak melanjutkan pendidikan, sumber ekonomi yang dimiliki tidak bisa dijadikan uang sebagai alat transaksi. Sebaliknya, dapat menjadikan uang, namun harga dengan tenaga tidak seimbang, sehingga perubahan kebutuhan hidup, belum mampu memfasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Pemahaman akan kebutuhan dasar kesejahteraan bukan saja terhadap materi, akan tetapi kesejahteraan terkait dengan kebebasan jiwa, pikiran, kenyamanan. Kekekangan hidup dan kemampuan menghadapi perubahan lingkungan secara simultan terus berkembang, akan memicu kondisi perilaku berubah pada pengendalian diri terhadap naluri tindakan kekerasan. Pandangan bahwa Pemerintah kerapkali mengabaikan hak-hak kelompok kekerabatan menangani perempuan dan anak, sesunggunya merupakan konsekuensi hidup berbangsa dan bernegara. Saling membuka diri dan arah penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis melalui berbagai kebijakan, sesunguhnya ruang bagi terjadinya adaptasi dan integrasi untuk saling berkontribusi pemberlakuan hukum adat dan hukum formal.
Terkait penanganan kekerasan perempuan dan anak merupakan kasus yang luar biasa, kontribusi kedua sistem hukum tersebut dapat dilakukan secara represif dan preventif. Perlu diingat bahwa keberadaan kedua sistem hukum memiliki tujuan yang sama baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun hukum yang mensejahterakan. Ini sesungguhnya memaknai kontribusi sebagai hukum, bukan sebagai peraturan formal yang seringkali pembentuk hukum sendiri membingungkan atau mengalami stagnan saat diimplementasikan.
Adaptasi hukum dapat dianalogikan juga pada makna kata ‘dapat” dalam peraturan formal. Kata “dapat” oleh pejabat administrasi diberi wewenang dua pilihan untuk melaksanakan perintah peraturan formal. Di saat kebutuhan hukum adat atau korban merupakan sebuah prioritas untuk dipenuhi dan memenuhi rasa keadilan, maka pilihan pejabat administrasi wajib melaksanakan pada koridor asas mensejahterakan rakyat.
Dalam sistem hukum adat pun terutama hukum adat Mentawai sebagaimana digambarkan di atas, membuka diri dan ruang berlakunya hukum formal bentukan pemerintah. Kebijakan progresif mengimplementasi adaptasi dan integrasi hukum, agar memiliki energi menurunkan dan bahkan menghilangkan kekerasan perempuan dan anak di Mentawai. Menajamkan kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah terkait perempuan dan anak yang terintegrasi dengan sektor lain.
Salah satunya adalah urusan pemerintahan bidang kepemudaan, di dalam perlindungan perempuan dan anak terdapat pemuda dengan mensyaratkan umur 16 tahun sampai 30 tahun. Kategori pemuda tersebut, ada peran pra-pemuda yang juga menjadi tanggunjawab bersama untuk di prioritaskan dan menjamin implementasi program pembangunan berkelanjutan sebagai respon Aksi Solidaritas Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak di Kepualuan Mentawai. Pace Bene .