Meninggalnya
korban pelecehan seksual (semestinya) membuka mata kita betapa kejadian kelakuan
keji para predator tengah mengintai dan mengancam anak-anak di bawah umur. Pelecehan
seksual menjadi catatan buruk dalam beberapa peristiwa yang memilukan dan
memalukan! Betapa tidak, berdasarkan catatan yang penulis dapatkan dari media
Mentawaikita.com, para pelaku predator seks pada umumnya adalah pemimpin, tokoh
masyarakat atau public figure.
Sungguh ironis, mereka yang seharusnya menjadi panutan, pelindung, pengayom
bagi masyarakat, bagi umat justru melakukan tindakan prilaku yang sangat tidak
terpuji.
Menurut Komnas
Perempuan, pelecehan seksual merupakan salah satu dari 15 jenis kekerasan
seksual. Pelecehan seksual adalah tindakan seksual melalui sentuhan fisik atau
non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitasi dari korban. Pelecehan
seksual bisa terjadi pada siapa saja tanpa melihat gender dan juga usia. Pelecehan
seksual bukan hal yang baru lagi di indra pendengaran kita, bahkan sudah
menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Pelecehan seksual bisa terjadi dimana
saja, di sekolah, di kampus, di mall, di jalanan, transportasi umum, bus,
angkutan kota dan prasarana umum lainnya tidak menutup kemungkinan terjadinya
hal tersebut.
Berdasarkan data
yang penulis telusuri dari berbagai media massa, kejadian yang memilukan dan
memalukan ini tiap tahun tidak perna absen sejak 2018 hingga 2020. Tahun 2018
terdapat 7 kasus pelecehan seksual di Sikakap. Tujuh kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak terjadi
sejak Januari hingga Desember tahun ini di wilayah Pagai Utara Selatan, sesuai
data Kepolisian Sektor Sikakap Kabupaten Kepulauan Mentawai, Mentawaikita.com,
Selasa (11/12). https://mentawaikita.com/baca/2485/tujuh-kasus-pelecehan-seksual-anak-terjadi-di-sikakap-sepanjang-januari-hingga-desember.
Semetara itu tahun
2019 pelecehan seksual anak di bawah umur kembali menggegerkan masyarakat. Pihak
keluarga korban tidak terima mendapat perlakuan tidak senonoh yang menimpa
anggota keluarganya sehingga melaporkan oknum ASN akibat pelecehan seksual yang
dilakukan kepada anak sesusia SMP di Siberut Utara https://mentawaikita.com/baca/3370/oknum-asn-diduga-pelaku-pelecehan-seksual-di-sikabaluan-ditahan-di-polres.
Mengawali tahun
2020, inisial SS mencabuli 5 orang anak di bawah umur. SS diduga telah
mencabuli lima orang anak dibawah umur, EO (9), EL(9), YS (9), MP (12) dan RF
(8). Perbuatan SS diketahui pertama sekali oleh guru, dimana guru SD tersebut
merasa curiga kepada salah seorang siswa, setelah siswa tersebut dipanggil dan
ditanya siswa tersebut langsung mengaku akibat sering melihat SS melakukan
perbuatan tidak senonoh terhadap teman-temannya, Kamis (16/1/2020) https://mentawaikita.com/baca/3802/diduga-cabuli-lima-anak-ss-diserahkan-ke-polres-mentawai.
Pada 5 Mei 2020
seorang oknum kades kembali menghebohkan masyarakat atas tindakan asusila kepada
anak di bawah umur. Pelaku meminta korban untuk melakukan hal tak senono.
Beruntung saat itu korban sedang haid dan berhasil melarikan diri, sehingga
aksi oknum kades tidak terjadi https://mentawaikita.com/baca/4280/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-oknum-kades-menunggu-koordinasi-polres-mentawai
Pada Juni 2020,
seorang pimpinan ponpes diduga melakukan pelecehan seksual terhadap santrinya
di bawah umur. Kejadian sebetulnya sudah terjadi sekitar November 2019, tetapi
karena korbant tidak mau melapor sehingga baru diketahui pada Juni 2020 yang
saat ini kasusnya sedang dalam proses, https://www.liputan6.com/regional/read/4276930/oknum-pimpinan-pesantren-mentawai-diduga-lecehkan-santri-di-bawah-umur
Kejadian serupa tentu masih banyak yang tidak bisa diuraikan
satu persatu. Catatan penting dalam peristiwa ini adalah pengetahuan terkait
kasus pelecehan seksual dianggap masih kurang mengakar di masyarakat sehingga
menyebabkan kasus pelecehan masih sering terjadi.
Kejadian-kejadian yang berhasil diliput media menjadi catatan sekaligus membuka
mata kita bahwa pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur mencederai
nilai-nilai kemanusiaan. Wajah kemanusiaan menjadi tercoreng, sementara itu
para pelaku tidak menjadi lebih hebat atau menjadi supermen dari manusia lainnya.
Nilai dan kultur Mentawai yang sangat luhur terhadap sesuatu yang tabuh pun
ikut tercoreng.
Persoalan tabu
dalam adat-istiadat Mentawai menjadi perosalan yang sangat serius bahkan nyawa
menjadi taruhannya. Sebagai ilustrasi, seorang menantu dengan mertua harus
menjaga sikap di depan mertuanya, seorang ipar kepada iparnya tidak boleh
berbicara sembarangan apa lagi mengarah kepada hal yang dianggap tabuh. Jika
itu dilakukan seorang ipar (lakun/lakut) atau menantu (taliku) seolah ia telah
menghina saudari/anak perempuan yang dinikahinya bahkan merasa seolah-olah ia
tengah menelanjangi anggota keluarga yang dinikahinya di depan keluarga
perempuan. Adab itu tidak boleh dilanggar oleh seorang menantu (taliku) atau
seorang ipar (lakun/lakut). Karena akan berujung pada proses denda adat bahkan
nyawa menjadi taruhannya. Hal ini pun turut menjadi pedoman bagi orang Mentawai
dalam pergaulan sehari-hari. Seharunya nilai-nilai kultur nilai agama dan
norma-norma sosial lainnya dapat menjadi pedoman bagi para tokoh agama, tokoh
masyarakat utamanya sebagai pengayom masyarakat
Peristiwa
menyedihkan atas meninggalnya korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh
oknum pendeta pada Minggu 28 Juni 2020 tentu saja sangat menarik perhatian
banyak orang. https://mentawaikita.com/baca/4482/korban-pencabulan-mantan-pendeta-di-mentawai-meninggal-dunia-setelah-depresi.
Para pembaca yang budiman, pernakah mengalami atau merasa dilecehkan? Disentuh
bahkan dipanggil dengan sebutan yang tidak senono? Pelecehan seksual bukan
hanya dalam bentuk kontak fisik namun dalam bentuk verbal, contohnya cat calling, itu sudah merupakan contoh
pelecehan terhadap perempuan secara verbal. Mendapat perlakukan semacam itu
tentu saja merupakan pengalaman yang sangat tidak mengenakan, terlebih bagi
mereka yang menjadi korban kekerasan seksual.
Penulis menduga
keras, korban nekat mengakhiri hidupnnya karena tidak mampu menahan rasa malu
yang selalu mengantuinya, merasa diri tidak berharga lagi, menanggung malu
tergadap keluarga dan masyarakat di sekitarnya yang kemudian korban mengalami
depresi berat. Keterangan dokter, KL (16) meninggal akibat minum racun jenis
roundup (Intoksikasi glisophate) pada Rabu, (10/6/2020). Korban melakukan
tindakan tersebut diduga karena mengalami depresi atas perbuatan pelaku
tindakan percabulan.
Berkaca pada
kejadian-kejadian pelecehan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur
penulis menggarisbawahi dua catatan penting. Pertama, tindakan preventif. Berangkat
pada kejadian tersebut, baik pemerintah, penegak hukum, sekolah, orang tua mau
pun masyarakat hendaknya melakukan tindakan preventif. Upaya untuk melakukan
pencehagan terjadinya pelecehan seksual yang dimulai dengan pengenalan sex education. Selama tidak ada kampanye
sex education terhadap anak, korban pelecehan seksual akan selalu ada. Sex
education bisa dilakukan di rumah (keluarga), di sekolah atau
komunitas-komunitas perlindungan perempuan dan anak. Soal tabu dan
adat-istiadat harus dikesampingkan dulu, tentu saja bukan tidak menghargai.
Dalam situasi seperti ini mendesak untuk dilaksanakan.
Kedua,
tindakan represif, penegak hukum juga
harus lebih tegas dalam mengimplementasikan produk hukum secara konsisten.
Pelaku kekerasan harus ditindak secara tegas, adil, dan beradasarkan pada
supremasi hukum. Selain itu, masyarakat juga harus berperan dalam mendukung
penerapan hukum secara tegas namun tetap kondusif dan tertib, serta tidak
menghakimi korban dan pelaku. Represif dapat dilakukan dengan kampanye ramah
anak (persuasif) dan tindakan pengendalian terjadinya pelecehan seksual oleh
para predator seks di bawah umur dengan membuat sanksi setimpal perbuatannya
agar ada efek jera bagi para pelaku (koersif). Dengan kata lain, selama tidak
ada tindakan yang membuat efek jera, maka predator seks dan korban pelecehan
akan selalu ada.
Hentikan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur! Perlu
digalakkan kampanye ini agar sex education di masyarakat terutama
remaja dan anak-anak menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Hal ini dapat
menjadi salah satu cara menyerukan dan menegaskan tentang buruknya pelecehan
seksual dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. Penting bagi masyarakat dan
generasi muda mendapakan sex education
sebab sebagian orang masih menganggap bahwa membicarakan mengenai seks adalah
hal yang tabu dan mengakibatkan kurang pahamnya mengenai pendidikan seksual.
Akhirnya,
perhatian serius terhadap kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur
menjadi catatan krusial untuk menciptakan kondisi lingkungan yang ramah anak.
Perlu disadari bersama bahwa upaya persiapan generasi yang akan datang sangat
penting untuk dilakukan. Tanpa pendampingan dan pembinaan yang serius, kita
akan kehilangan generasi emas yang optimis dan kepercayaan diri yang tinggi.
Sekali lagi, hentikan pelecehan seksual tehadap anak di bawah umur!