Tiktik atau tato bagi orang Mentawai khususnya di daerah Simatalu, Kecamatan Siberut Barat tak hanya sebagai identitas, pranata sosil, busana dan perhiasan seseorang. Namun kesenian itu sebagai kebanggan dan harta yang akan dibawa mati karena melekat abadi di dalam tubuh seseorang.
“Tiktik tak hanya sebagai pakaian atau perhiasan, tapis sebagai harta yang akan dibawa mati, “ kata Netti Siritoitet (61), warga Simatalu yang kini tinggal di pengungsian Tamairang, Desa Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara.
Netti mengatakan harta benda seorang wanita Simatalu berupa kalung, gelang, pakaian adat, alat menangkap ikan, peralatan dapur, kebun dan ladang yang dimiliki jumlahnya sangat banyak dan luas. Namun tidak akan menjadi kebanggan dan tidak dibawa saat meninggal nanti.
“Tiktik juga tidak habis dan tidak pudar serta lepas dari tubuh, dia abadi,” ujarnya.
Tapi membuat tiktik bukanlah persoalan mudah karena menghabiskan waktu yang panjang dan harus mampu menahan rasa sakit saat jarum tinta ditusukkan ke kulit. “Saya saja karena merasa sakit, tidak semua tubuh saya yang sempat ditiktik hingga saat ini, namun yang ada saat ini di tubuh saya menjadi kebanggaan,” katanya.
Netti sendiri baru membuat merajah tubuhnya setelah anak pertamanya lahir sebab seorang perempuan Simatalu yang sudah dewasa harus ditato, apalagi sikerei. Bagian tubuh Netti yang sempat ditato berupa tangan sebelah kanan dan kaki kanan. Sedangkan kaki dan tangan sebelah kirinya tidak sempat ditato sebab ia tak mampu menahan sakit.
Beuket Sakerebau (53), Orang Simatalu dari Dusun Lubaga, Desa Bojakan yang juga menetap di Sikabaluan, menyebutkan tato merupakan pakaian dan hiasan tubuh yang unik dan abadi.
“Apalagi kami seorang sikerei, kami akan terlihat lebih berwibawa saat melaksanakan ritual pengobatan dengan mukerei,” ujarnya.
Tiktik menurut Beuket sebagai tanda pengenal, misalnya saat seseorang jago berburu maka akan terlihat motif tato pada bagian tubuhnya. Adanya beberapa perbedaan motif tato antar daerah di Mentawai membuat seni merajah tubuh ini menjadi tanda pengenal asal kampung dengan hanya melihat tatonya.
Meski Simatalu Lubaga, Bai’, Suruan, Muntei dan Paipajet berasal dari wilayah yang sama dan berdekatan namun terdapat perbedaan corak tato yang dimiliki. Menurut Beuket, perbedaan tato Simatalu Lubaga dan Simatalu Paipajet terdapat pada jumlah garis di bagian betis. Simatalu Lubaga memiliki jumlah garis yang lebih banyak sedangkan Paipajaet tidak banyak.
Kemudian tato perempuan dan laki-laki memiliki pola yang beda. Untuk laki-laki tato bagian dada bercorak jantung yang kecil melambangkan keberanian dan maskulinitas, sementara perempuan sebagai perlambang hasil tangkapan berupa ikan kecil maupun besar.
Untuk membuat tato dibutuhkan bahan tempurung kelapa berguna sebagai pembuat arang pewarna tinta, daun pisang yang kering untuk media mengurasi rasa sakit, air tebu sebagai tinda pelarut sekaligus penahan agar luka tato tidak berdarah. Kemudian lidi kelapa sebagai alat membuat sketsa tato dan kayu sekaligus jarum tato. Daun pisang dan abu dari sisa pembakaran arang akan dibalurkan dan digosok pada bagian tubuh yang dirajah untuk mengurangi rasa sakit. Sebelum jarum besi dikenal, Orang Simatalu menggunakan kayu karai sebagai jarung dengan cara meruncing bagian ujungnya.
Jika peralatan sudah siap kemudian dibuat sketsa tato dengan menggunakan jelaga. Sketsa tato yang dibuat sebelumnya kemudian menjadi patokan Sipatiktik (pembuat tato)membuat tato dengan cara menokok jarum yang telah dikaitkan pada sebatang kayu kecil dalam gerakan yang cepat. Saat masih memakai kayu karai, tempat mengaitkat jarum dan penokoknya tato terbuat dari tulang.
Beuket Sakerebau menjelaskan pembuatan tato tidak diselesaikan sehari sebab harus memperhitungkan kondisi orang yang ditato. “Yang paling sakit itu pada bagian badan dan paha, kita akan demam beberapa hari karena merasa ngilu dan perih,” jelasnya.
Tak banyak yang tersisa lagi dari kenangan semangat dan kebanggaan tato Simatalu dibenak Beuket dan Netti. Mereka melihat kebanggaan akan tato mulai memudar. Anak-anak muda Simatalu tak memakai tato saat ini.
“Karena sudah ada sekolah sehingga mereka malu kalau ada tiktik, apalagi sekarang sudah ada baju yang dijual sasareu yang dapat memperindah penampilan mereka,” kata Netti.