Pasongan Bentuk Kearifan Orang Mentawai Meredam Konflik Tapal Batas

Pasongan Bentuk Kearifan Orang Mentawai Meredam Konflik Tapal Batas Ilustrasi tapal batas

Pasongan merupakan tapal batas atas kepemilikan suatu wilayah tanah atau ladang antara satu pihak dengan pihak lain. Penentuan Pasongan dalam kebiasaan orang Mentawai dilakukan dengan melibatkan pihak lain yang menguasai atau memiliki ladang dalam satu wilayah yang sama.

Penentuan tapal batas tersebut biasanya diikuti dengan perjanjian secara lisan namun mengikat antara para pihak apakah itu perseorangan maupun kelompok (suku). Sebagai syarat sebuah perjanjian tapal batas dalam kebiasaan di Mentawai harus memenuhi beberapa unsur yakni, pertama adanya kesepakatan. Kedua, orang-orang yang terlibat membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang berhak dan memiliki pengetahuan yang cukup dan dianggap dewasa. Kemudian ketiga objek yang diperjanjikan juga jelas. 

Hal ini hampir menyerupai syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Dalam hukum adat Mentawai, syarat karena sebab yang halal sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut meski tak spesifik diuraikan namun diakui. Menurut kebiasaan orang Mentawai perjanjian yang dilakukan pada hakikatnya didasarkan nilai-nilai baik yang dianut dalam kehidupan orang Mentawai.

Tanda tapal batas ditentukan berdasarkan kondisi geografis dengan memakai sungai atau bukit yang berada di sekitar wilayah itu. Bahkan terkadang memakai kayu besar yang tumbuh. Patok batas yang telah terpasang itu dikenal dengan istilah sok atau song.

Namun kebiasaan ini memiliki kelemahan yakni ketika terjadi pengolah tanah di wilayah itu dalam bentuk aktivitas apapun karena akan mengubah kontur wilayah yang menghilangkan tanda batas alam yang dulunya telah disepakati. Akibatnya akan ada sengketa tanah yang luas antara beberapa pihak secara perseorangan bahkan suku di Mentawai. 

Untuk mencegah konflik itu, hal yang lazim dipraktikkan oleh orang Mentawai yakni menanam tanaman atau pohon yang mudah tumbuh dan awet agar tanda itu tidak mudah hilang sehingga siapapun yang melihatnya dapat mengetahui bahwa wilayah tersebut telah masuk dalam penguasaan pihak lain.

Untuk menentukan patok batas ini biasanya orang Mentawai menanam Irip. Irip merupakan salah satu jenis kayu yang biasa yang sering dijumpai di ladang sagu masyarakat Mentawai. Pada masyarakat yang menempati daerah Rereiket, Pulau Siberut, kayu Irip merupakan salah satu kayu yang dicari dan berfungsi sebagai pembatas ladang sagu atau batas sempadan sagu dengan sagu yang dimiliki orang lain. 

Kayu Irip kebanyakan tumbuh di daerah rawa-rawa. Ada beberapa alasan yang mendasari kenapa orang Mentawai suka menjadikan jenis pohon ini sebagai pembatas, yakni tidak susah menanamnya. Untuk menanam kayu ini hanya dengan memotong kayu ini menjadi beberapa bagian dengan panjang sekitar 1 meter lalu ditancapkan di tanah. Kayu ini juga tak perlu perawatan.

Kemudian jenis daun dan batangnya memiliki perbedaan yang kontras dengan tanaman sekitar sehingga siapapun bisa langsung mengetahui bahwa dalam sebidang tanah atau ladang terdapat beberapa orang pemiliknya. 

Langkah awal menanam Irip dimulai dengan menentukan luas ladang yang akan digarap dan perbatasan dengan pemilik lain atau suku lain. Setelah jelas batasnya, kemudian sagu atau tanaman lain ditanami kemudian dilanjutkan memancang patok-patok berupa kayu Irip

Batas tersebut tidak boleh diganggu gugat oleh pihak lain sebab sudah ada kesepakatan menurut aturan adat yang dimiliki orang Mentawai. Penerobosan batas tanah atau tanaman orang lain akan menuai sengketa. Hal ini bisa terjadi karena awal dimulainya penanaman tidak dibicarakan dengan pihak lain atau pemilik tanah tempat tanaman itu ditanam.

Penyelesaian konflik ini kemudian dibahas dalam peradilan adat suku Mentawai yang melibatkan para Sikebbukat Uma (kepala suku) dan orang-orang yang memiliki kewibawaan secara adat serta pengetahuan luas soal hukum adat yang dimiliki.

Pembicaraan akan dimulai dengan cara merunut awal permasalahan kemudian masuk tahapan pembuktian. Pada tahapan pembuktian ini tidak pernah patokan yang jelas seperti yang dianut pada hukum pidana. Biasanya pihak yang akan dibenarkan dinilai dari kesesuaian cerita dan argumen yang dikemukakan sesuai aturan kebiasaan yang dipraktikkan.

Jika penerobos batas tersebut terbukti bersalah maka akan dikenai sanksi adat (tulou) dengan membayar sejumlah benda menurut aturan yang dianut.

Selain berfungsi sebagai patok, kayu Irip ini juga dijadikan bahan membuat kandang babi atau geli. Kayu ini juga dijadikan sebagai pagar untuk ladang keladi atau pisang yang ditanam di hutan aga tidak dirusak hewan di sekitar. Kayu Irip ini akan tumbuh sumbuh dan besar meski tidak dirawat oleh pemilik tanaman.

Dari dulu sampai sekarang khususnya daerah hulu setiap tanaman masih memiliki batas secara tradisi yang turun temurun. Kebiasaan menanam Irip selalu diturunkan dan diajari kepada generasi berikutnya agar mereka memahami praktiknya. Selain itu juga diajarkan bagaimana cara menghindari konflik dengan pihak lain akibat tapal batas yang tidak jelas.(hd/g)


BACA JUGA