TUAPEJAT – Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai menargetkan usulan penetapan hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun ini. Saat ini, panitia verifikasi, validasi dan pemetaan wilayah adat sedang bekerja. Hal itu dinyatakan Wakil Bupati Mentawai Kortanius Sabeleake dalam wawancaranya dengan wartawan usai rapat dengan panitia verifikasi dan validasi di Tuapeijat, Rabu (8/5/2019).
"Sebenarnya sekarang kita sedang membahas langkah awal
secara teknis untuk memfasilitasi tim melakukan verifikasi dan validasi wilayah
hutan adat," ungkapnya.
Panitia
verifikasi dan validasi tersbeut melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan
organisasi masyarakat sipil. "Ada beberapa OPD yang menjadi panitia
untuk memfasilitasi kegiatan verifikasi, validasi dan pemetaan wilayah hutan
adat yang langsung di SK-kan oleh Bupati," ungkap Korta.
Menurut
dia, semua usulan penetapan wilayah adat yang sudah diajukan kepada Bupati
Mentawai akan diverifikasi dan dikaji secara akademis, jika sudah memenuhi maka
akan diusulkan penetapan hutan adatnya kepada Menteri LHK.
Sedikitnya
saat ini menurut Korta, ada 10
ribu hektar lebih dari 11
wilayah uma yang sudah dipetakan, berada di Sipora Selatan, Siberut
Tengah, Siberut Selatan
dan Siberut Utara.
" Ada empat kecamatan
yang baru terpetakan dari 11 uma, kalau di Kecamatan Sipora Selatan letak hutan
adatnya di Kecamatan Sipora Utara
dan yang baru terpetakan lagi di Kecamatan Siberut Utara, nah, jika ini secara
administrasi dan akademisinya kita lihat sudah memenuhi standar, tahun ini akan sudah harus kita usulkan ke
kementrian (LHK),
" katanya.
Ia juga mengatakan, saat ini sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2017
Tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
" Pemda Mentawai telah mengakui
dan melindungi uma dan kita akan usulkan
legitimasinya di kementrian," sebutnya.
Pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat menurut Korta harus direalisasikan, jika
tidak maka masyarakat Mentawai juga terancam kehilangan suku dan
hak-haknya, karena tanah adat merupakan identitas suatu suku di Kepulauan Mentawai.
" Orang Mentawai susah untuk berkompetisi di luar, kita
lihat saja dari km 0-km 9 Tuapejat tidak ada terlihat masyarakat Mentawai yang berjualan,
meskipun itu jualan goreng pisang misalnya, padahal modalnya tidak terlalu
besar, tetapi masyarakat Mentawai
tidak bisa berkompetisi, lalu kita masyarakat Mentawai hidup dengan lahan, untuk itu kita melindungi
tanah masyarakat adat," ungkapnya.
Ia berharap masyarakat
tidak menjual aset berupa tanah karena bila
masyarakat sudah kehabisan lahan yang dijual kepada orang lain, dikhawatirkan
akan menjadi buruh di lahannya
sendiri. "Sekarang
kita bisa melihat, masih ada tidak lahan masyarakat di pulau-pulau kecil,
faktanya telah banyak dimiliki oleh orang luar Mentawai bahkan orang asing, lalu ke depan masyarakat Mentawai mau hidup dengan apa,"
ujar Korta.