Sejak
dahulu orang Mentawai mempunyai daerah sendiri yang dikuasai berdasarkan
klaim uma (suku) secara turun temurun berdasarkan pertalian
darah (genealogis) yang mengikuti garis keturunan ayah.
Menurut
hukum adat yang berlaku di Mentawai, uma pemilik tanah disebut Sibakkat
Laggai atau Sibakkat Polak (pemilik tanah). Pemilik
tanah ini merupakan suku pertama yang menjadi penemu atau pembuka tanah dan
mendirikan pemukiman bersama beserta keturunannya di suatu wilayah tanah yang
belum dikuasai oleh uma lain atau orang lain.
Terkadang, tanah yang dimiliki oleh uma-uma Mentawai
dibiarkan kosong tanpa ditanami apapun. Meski begitu orang Mentawai tetap
membuat tanda sebagai tapal batas dengan menanam boblo (Cordyline
sp) dan surak (puring/Codiaeum variegatum). Tanda
ini sebagai batas (pasongan) dengan tanah milik suku lain.
Uma yang memiliki tanah tersebut bebas
menanam di tanah milik sukunya. Seseorang atau satu keluarga (lalep)
dari anggota uma yang sama berhak mengklaim tanah garapannya
masing-masing. Lalep memiliki arti khusus sebagai rumah namun
dalam pengertian luas mencakup sebuah rumah tangga di Mentawai yang merupakan
bagian dari anggota uma. Sebagai bentuk turunan hukum kepemilikan tanah di
Mentawai, tanah yang telah digarap atau diusahakan oleh salah satu keluarga (lalep)
tidak bisa diambil oleh keluarga lain meski mereka masih satu suku.
Tanah yang diklaim itu akan menjadi milik keluarga
itu secara turun temurun oleh anak-anaknya (muntogat) berdasarkan garis
keturunan ayah. Namun aturan masalah pewarisan tanah (rubeijat polak)
ini kemudian pada beberapa suku di Mentawai mengalami pergeseran. Jika dulu
sistem pewarisan harta keluarga termasuk tanah keluarga harus di tangan anak
laki-laki tapi sekarang (sekitar 2000-an) dapat diwariskan kepada anak
perempuan jika keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki di pulau
Siberut. Namun pewarisan kepada anak perempuan hanya dapat dilakukan sebatas
pada tanah yang menjadi tanah garapan ayahnya. Tanah kosong yang menjadi
wilayah kekuasaan suku anak perempuan itu tidak bisa diambilnya tanpa proses
penyerahan dari keluarga besar ayahnya.
Tanah yang telah menjadi rubeijat muntogat (bagian
dari keturunan) akan tetap menjadi miliknya meski mereka pindah ke kampung lain.
Namun tanaman yang di atasnya seperti durian, rambutan dan langsat dapat
diambil buahnya oleh anggota sukunya dan dibagi bersama dengan seluruh
anggota uma.
Jika ternyata keluarga atau lalep itu
tidak memiliki keturuanan maka hak untuk mengusahakannya akan jatuh kepada
keluarga lain yang terdekat yakni adik atau kakak laki-laki sipenggarap.
Pendatang (Sitoi/Sioiakek) yang ingin
mengusahakan atau mengolah tanah milik uma hanya memiliki hak
pakai, baik atas tanah usahanya maupun hak atas tanah tempat rumahnya berdiri.
Agar
pendatang memiliki hak mutlak (milik) atas tanah di tempat itu, mereka harus
memenuhi persyaratan dengan memberikan sejumlah barang (periuk, belanga, kain
maupun babi) kepada Sibakkat Laggai atau Sibakkat
Polak. Pemberian tersebut sebagai alat pembayaran semacam bukti jual beli
antara pemilik tanah dengan pendatang.
Sementara
pendatang sekadar ingin membuka sebuah usaha di atas tanah Sibakkat
Laggai atau Sibakkat Polak harus memperoleh izin
secara mutlak. Tetapi meski mendapat hak mengusahakan tanah tersebut, hak si
pendatang tadi hanya sebatas hasil dari usaha tanah tersebut bukan menjadi
pemilik tanah tersebut.
Hukum
tanah tersebut juga berlaku pada lahan-lahan kosong yang ada di hutan yang
belum ditanami yang menjadi Sibakkat Laggai atau Sibakkat
Polak.
Jika
Si Toi yang mengusahakan tanah sebelumnya meninggal atau pindah ke tempat lain
beserta keturunannya maka tanah tersebut kembali kepada Sibakkat
Laggai atau Sibakkat Polak tanpa syarat apapun.
Mengenai
batas tanah (pasongan) ini kadang menimbulkan masalah antar suku yang
saling berbatasan. Untuk memperjelas tersebut biasanya orang Mentawai yang
menjadi pemilik tanah akan menanam beberapa tanaman sebagai penanda pasongan.
Jika
kemudian hari terjadi perselisihan hak kepemilikan tanah maka penyelesaian yang
mereka lakukan bisa dengan cara membagi dua tanah tersebut, cara ini biasanya
dikenal dengan cara kompromi (Sihombing:1979:57).
Namun
ada kalahnya, suku yang tidak dapat membuktikan dasar klaim terhadap tanah
tersebut akan dihukum dengan cara melepaskan tanah tersebut dan mengusir mereka
di atas tanah tersebut. Tanaman yang mereka tanam sebelumnya akan menjadi
milik Sibakkat Laggai atau Sibakkat Polak yang
bisa memberi bukti klaimnya.
Biasanya
penyelesaian sengketa tanah ini dilakukan dalam rapat adat atau parurukat yang
dimediasi oleh tetua adat dari suku lain. Kemudian masing-masing pihak diberi
kesempatan untuk membuktikan dasar kepemilikannya.
Pembuktian
yang biasa mereka lakukan dengan cara mengurai silsilah keturunan mereka dan kapan
dan darimana tanah itu diperoleh dalam bentuk peradilan adat. Penjelasan itu
kemudian akan dinilai oleh para tetua adat yang lainnya dan selanjutnya
memutuskan persoalan tersebut.
Dalam
catatan Kruyt dalam buku Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai (1979:50),
adakalanya perselisihan soal batas tanah ini meruncing menjadi aksi pembunuhan
antar suku. Selain perselisihan tapal batas antar uma, perselisihan
ini juga dapat terjadi antara sitoi dengan Sibakkat laggai.,
Pelepasan
tanah milik suku dalam adat Orang Mentawai juga dapat terjadi sebagai alat
pelunasan sanksi adat (tulou) dan mas kawin.