Jika
sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya dari luar
Mentawai ingin cepat meninggalkan Mentawai dan kembali ke kampung halamannya
terlebih di saat golongannya sudah tinggi, berbeda dengan Nurbani Agus, salah seorang ASN asal Sumatera Barat daratan
yang dari awal ingin ke Mentawai dan mengabdikan diri untuk Mentawai.
"Dari awal ikut tes CPNS 1990 saya
pilih formasi Mentawai meski pada waktu itu Mentawai masih gabung dengan
Padangpariaman, " kata Nurbani saat ditemui Mentawaikita.com, Rabu (5/12/2018).
Nurbani yang lebih akrab dipanggil Bani, mengungkapkan
keinginannya untuk mengabdikan diri di Mentawai tidaklah mudah. Selain mesti
harus mengikuti tes CPNS dua kali dan yang kedua kalinya dinyatakan lulus untuk
formasi guru di Mentawai, ternyata saat SKnya keluar malah di tempatkan
di tempat lain di bagian Sumbar daratan.
"Tahun 1990 ikut tes pertama namun
tidak lulus. Ikut tes kedua pada 1992 dan lulus namun tidak ditempatkan di
Mentawai. Saya kecewa pada waktu itu karena niat saya dari awal ingin mengabdi
di Mentawai," katanya.
Tak hanya berjuang ikut tes CPNS. Saat
sudah mengabdi selama 16 tahun sebagai ASN yang berprofesi sebagai
guru di bagian Sumatera Barat daratan, niatnya untuk pindah ke
Mentawai tidak juga mulus. Bahkan teman kerja, atasan dan lingkungan tempat
tinggal menganggapnya sudah gila dan memiliki masalah
keluarga.
"Penilaian miring terhadap saya
datang dari orang dekat, tapi saya hadapi dengan senyum karena mereka menganggap kalau yang dipindahkan dari
Sumatera Barat daratan ke Mentawai itu adalah orang-orang yang bermasalah. Tapi
saya tidak," katanya.
Pada
waktu lulus tes CPNS tahun 1992 ia ditugaskan di SDN 40 Batubasah, Sungai
Geringging. Saat menuju tempat tugas, Bani mengaku sedikit legah. Legah bukan
karena tempat tugasnya yang masyarakatnya sudah maju dan kondisi sekolah yang
baik namun karena daerahnya masih sangat jauh tertinggal.
"Saat di sana
untuk ke pusat kota itu sebulan sekali. Itupun naik angkutan gerobak yang
ditarik dengan kerbau. Tapi saya senang berada di sana
karena bisa mengabdikan ilmu yang diperoleh dari bangku pendidikan dan berbaur
dengan masyarakat," ujarnya.
Selama di Sungai Geringging,
Bani tak lagi ingat tentang Mentawai karena kondisi yang dihadapi sudah sesuai
keinginannya untuk mengabdi di daerah terpencil
yang belum memiliki akses transportasi memadai,
belum ada layanan telekomunikasi serta kondisi sekolah yang belum baik.
Niatnya ke Mentawai kembali muncul saat
dipindahtugaskan ke SDN 33 Lubuk Begalung tahun 2011. Ibu tiga anak ini merasa
berada di SDN 33 Lubeg sudah seperti berada di daerah perkotaan
yang pendidikan dan sekolahnya sudah maju.
"Saat jenuh pulang dari rumah saya
baca majalah, koran yang ada berita tentang Mentawai. Apalagi saya ada mendengar siaran Mentawai di Radio RRI program Mentawai
membangun. Saya ingat lagi tentang Mentawai," katanya.
Sejak saat itu, Bani mulai mencari cara untuk
bisa dimutasi ke Mentawai. Baik mencari alasan yang tepat kepada pimpinan di sekolah,
di Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Dinas Pendidikan dan juga wali kota Padang. Untuk mengurus dan mendapat izin
pindah, Bani menemui pimpinan instansinya secara pribadi terkait niat yang ada
dalam dirinya.
Ia bahkan mengaku pada saat itu belum
pernah menginjakkan kaki di Mentawai meski punya keinginan kuat untuk pindah
bertugas di Mentawai. Agar tidak terlanjur menyesal dipindahkan ke Mentawai,
kepala sekolah tempat Bani bertugas memberinya izin selama satu minggu untuk ke
Mentawai melihat kondisi dan sekaligus melihat tempat dimana bisa ia diterima agar dimutasikan ke tempat itu.
"Untuk rencana pindah ke Mentawai
saya sampaikan pada suami dan keluarga. Alhamdullilah mereka merestui rencana saya," katanya.
Saat pertama datang ke Mentawai, ujian
perjalanan laut yang dihadapinya bersama suami di atas KM. Pulau Simasin yaitu kejadian as baling-baling kapal patah
setengah perjalanan antara Padang-Mentawai. Yang akhirnya setelah beberapa jam
di tengah laut, tim Basarnas dan MV. Sikerei milik Pemda Mentawai datang membantu untuk melakukan
evakuasi.
"Tapi niat saya tidak berubah pada
saat itu. Saya tetap ingin mengabdi di Mentawai," katanya.
Di Mentawai, tepatnya di Sikabaluan, Bani
ketemu dengan kepala UPT Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Siberut Utara yang
pada saat itu dijabat oleh Jop (Camat Siberut Barat saat ini).
Dalam pertemuan itu Bani meminta untuk dicarikan sekolah yang masih memberikan
peluang mengabdi bagi dirinya agar rencana mutasinya dari Padang ke Mentawai
dapat terwujud.
"Saya akhirnya ketemu dengan Pak Jop yang mana kami satu angkatan di SPG (Sekolah
Pendidikan Guru) Xaverius Padang," kata Bani yang mengaku mendengar cerita
tentang Mentawai pada teman seperjuangannya saat berada di SPG Xaverius Padang
dan tamat tahun 1990.
Setelah mendapat surat pindah tugas pada
September 2013 dari Kota Padang ke Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Bani tidak serta merta ditugaskan di SD yang diharapkan sebelumnya. Ia ditugaskan
di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) selama empat bulan hingga akhir Desember 2013. Selama
berada di BKD, Bani selalu berada di kantor pada pukul
07.30 saat ASN lainnya belum masuk kantor.
"Saya sudah terbiasa untuk berangkat
dari rumah itu sekitar pukul 06.30 WIB karena takut terlambat. Saya awalnya takut terlambat
dan akhirnya terbiasa karena saya kalau terlambat atau absen melaksanakan tugas
rasanya saya terbeban dan tak terbayarkan bagi saya," katanya.
Tujuan Badan Kepegawaian Daerah Mentawai
dan Dinas Pendidikan menempatkan Bani di Dinas agar dapat dipantau dan diteliti
apakah pindah tugas dari Padang ke Mentawai karena persoalan kedisiplinan melaksanakan
tugas atau memang keinginan. Namun, semua itu ditepis dengan disiplin yang
diperlihatkan Nurbani Agus yang kini mengajar di kelas I SDN 01 Malancan
(Sirilanggai) Kecamatan Siberut Utara.
"Akhir Desember itu saya diminta
untuk di dinas saja atau di SD yang ada di Tuapeijat. Tapi saya
menolak tegas karena di Tuapeijat itu sudah seperti di
Kota Padang tempat saya mengabdi sebelumnya," katanya.
Pada Januari 2014, guru kelahiran 1 November 1970 ini ditugaskan di Siberut Utara dan direncanakan di SDN 09 Muara Sikabaluan. Namun, setelah melihat SDN 09 Muara Sikabaluan yang
terletak di pusat kecamatan, Bani menolak dan akhirnya ditempatkan
Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Siberut Utara di SDN 01 Malancan.
Di Sirilanggai, Nurbani tak terkejut
melihat rumah dinas tempat ia tinggal yang tak layak pakai pada waktu itu. Juga
tidak ada lampu penerangan listrik dan layanan internet serta telekomunikasi.
Semua dijalaninya dengan baik, baik di lingkungan sekolah
maupun lingkungan masyarakat.
"Pada prinsipnya di mana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung," ujar
Nurbani yang pada 1 Oktober 2018 mendapatkan kenaikan golongan IV B.
Saat ini, selain kesibukkan untuk mengajar
sebagai guru kelas I, Nurbani ikut membantu kegiatan YCM (Yayasan Citra
Mandiri) Mentawai mengkoordinir program
pemberdayaan perempuan dalam kegiatan kelompok memasak bahan pangan lokal dan
kerajinan tangan yang berbahan dari hutan di sekitar
masyarakat.
"Kita sudah beberapa kali berkumpul
bersama untuk membuat keripik dari pisang, keladi dan ubi serta kerajinan
tangan. Saat ini masih sebatas pada pengenalan dan ibu-ibu dari tiga dusun ada terlihat rasa semangat," jelasnya.
Terkait dengan pengalaman untuk membuat
keripik dari ubi, pisang, kata Nurbani sudah
dilakukannya jauh sebelum datang ke Mentawai. Untuk mendapatkan pengalaman cara
memperoleh keripik yang garing, lembut dan tahan dengan banyak bertanya pada
orang yang punya pengalaman membuat keripik serta melihat langsung di dapur
pengolahan orang membuat keripik.
"Kita tidak ada belajar khusus. Tapi
banyak bertanya dan mempraktikkannya secara
berulang dan mengevaluasi hasil yang sudah kita buat," katanya.
Saat pindah ke Mentawai tepatnya saat
bertugas di Sirilanggai, keripik pisang dan ubi ini dibuat oleh Nurbani bersama
suaminya, Yerli. Dengan membeli bahan baku dari masyarakat diolahnya menjadi
keripik seperti yang dijual di toko dan swalayan di Padang. Untuk penjualannya
diawali di sekitar Sirilanggai. Karena makin banyaknya yang
minat, penjualannya diperluas ke pusat kecamatan.
Karena makin banyaknya yang meminati
keripik buatan Nurbani bersama suaminya, akhirnya ia memutuskan membuat nama
kemasan keripik yang dibuatnya. Bani memilih nama "Bayer" singkatan
Bani dan Yerli. Selain namanya, Bani juga mencantumkan nama Sirilanggai tempat
ia memproduksi keripik yang dibuatnya.
Namun dari nama yang dibuatnya malah
membuat hasil penjualan keripiknya menurun drastis dan tidak laku sama sekali.
"Orang mengira bahwa keripik itu dibuat oleh orang Sirilanggai karena saya
buat nama Sirilanggai pada kemasan. Meski saya jelaskan langsung orang tidak
yakin lagi. Image orang Mentawai membuat masakan tidak steril perlu diubah,"
katanya.
Meski usaha keripiknya yang sudah berjalan
selama enam bulan mati, namun Bani tetap mensyukuri karena ada pengalaman dari
sana. Karena dari keripik ini, Bani makin aktif
pada kegiatan PKK dan kegiatan di masyarakat
khususnya dari berbagi ilmu membuat keripik.
Nurbani mengaku
sangat merasa senang dan bahagia ketika ilmu dan pengalaman yang diperolehnya
dapat berbagi dengan anak didik dan masyarakat sekitar karena disanalah letak
kebahagiaan sebagai seorang pengabdi.
"Soal
senior dan junior di sekolah itu tidak ada. Semua guru itu sama dan selama
saya di SDN 01 Malancan sesama guru saling membantu dan saling mengingatkan
karena tak ada yang sempurna di dunia ini," kata guru yang telah memperoleh
sertifikat calon kepala sekolah.